Selasa, 03 Februari 2015



Disusun OLeh : Sandra Parulian


ASBAB AL -NUZUL

A.   PENDAHULUAN
         
          Alquran  adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Quran juga merupakan mukzizat yang Allah sendiri yang menjaga keabadiannya (Allah sendiri yang menjamin kemurnian Al-Qur’an Q.S. Al An’am (6) ayat 115 )
            Alquran diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar Alquran pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Alquran turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbab Al-nuzul.
Asbab Al-nuzul merupakan suatu aspek ilmu yang harus diketahui, dikaji dan diteliti oleh para mufassirin atau orang-orang yang ingin memahami Alquran secara mendalam.
            Berdasarkan pemahaman para ahli tafsir mengenai pentingnya mempelajari Asbab Al-nuzul maka ilmu ini perlu dikembangkan untuk dipahami oleh umat manusia. Bahkan sekarang Asbab Al-nuzul telah dijadikan salah satu kajian  dalam ‘Ulumul Alquran.

B.PEMBAHASAN

a.     Pengertian Asbab Al-nuzul


            Secara bahasa Asbab Al-nuzul terdiri dari dua kata yaitu Asbab, jamak dari sabab yang berarti sebab atau latar belakang, sedangkan Nuzul merupakan bentuk masdar dari anzala yang berarti turun. Pengertian asbab an-nuzul secara istilah adalah sesuatu yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat, yang mencakup suatu permasalahan dan menerangkan suatu hukum pada saat terjadi peristiwa-peristiwa.[1]
            Menurut Quraish Shihab berdasarkan kutipan dari al-Zarqani, asbab an-nuzul adalah suatu kejadian yang menyebabkan turunnya suatu ayat atau beberapa ayat, atau suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan turunnya suatu ayat.
M. Hasbi Ash Shiddieqy mengartikan Asbab Al-nuzul sebagai kejadian yang karenanya diturunkan Alquran untuk menerangkan hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana yang didalamnya Alquran diturunkan serta membicarakan sebab yang tersebut itu, baik diturunkan  langsung sesudah terjadi sebab itu ataupun kemudian lantaran sesuatu hikmah.[2]
            Nurcholish Madjid menyatakan bahwa asbabun adalah konsep, teori atau berita tentang adanya sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari Alquran kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa satu ayat, satu rangkaian ayat maupun satu surat.
            Subhi Shalih menyatakan bahwa Asbab Al-nuzul itu sangat berkenaan dengan sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu     pertanyaan  yang menjadi sebab turunnya  ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa.[3]
            Az-Zarqani berpendapat bahwa Asbab Al-nuzul adalah keterangan mengenai suatu ayat atau rangkaian ayat yang berisi tentang sebab-sebab turunnya atau menjelaskan hukum suatu kasus pada waktu kejadiannya.
            Dari pengertian tersebut di atas dapat ditarik dua kategori mengenai sebab turunnya suatu ayat. Pertama, suatu ayat turun ketika terjadi suatu peristiwa. Sebagaimana  diriwayatkan Ibn Abbas tentang perintah Allah kepada Nabi SAW untuk memperingatkan kerabat dekatnya. Kemudian Nabi SAW naik ke bukit Shafa dan memperingatkan kaum kerabatnya akan azab yang pedih. Ketika itu Abu Lahab berkata, “Celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?”, lalu ia berdiri. Maka turunlah surat Al-Lahab.
            Kedua, suatu ayat turun apabila Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Alquran yang menerangkan hukumnya. Seperti pengaduan Khaulah binti Sa’labah kepada Nabi SAW berkenaan dengan zihar yang dijatuhkan suaminya, Aus bin Samit, padahal Khaulah telah menghabiskan masa mudanya dan telah sering melahirkan karenanya. Namun sekarang ia dikenai zihar oleh suaminya ketika sudah tua dan tidak melahirkan lagi. Kemudian turunlah ayat, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya”, yakni Aus bin Samit.

            Asbab Al-nuzul menggambarkan bahwa ayat-ayat Alquran memiliki hubungan dialektis dengan fenomena sosio-kultural masyarakat. Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa Asbab Al-nuzul tidak berhubungan secara kausal dengan materi yang bersangkutan. Artinya, tidak bisa diterima pernyataan bahwa jika suatu sebab tidak ada, maka ayat itu tidak akan turun.
            Komaruddin Hidayat memposisikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa kitab suci Alquran, sebagaimana kitab suci yang lain dari agama samawi, memang diyakini memiliki dua dimensi, yaitu historis dan transhistoris. Kitab suci menjembatani jarak antara Tuhan dan manusia. Tuhan hadir menyapa manusia di balik hijab kalamNya yang kemudian menyejarah.

b.   Sumber dan Cara Mengetahui Asbab Al-nuzul

          Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui Asbab Al-nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka nal itu bukan sekadar pendapat (ra’yu), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi mengatakan:”Tidak halal berpendapat mengenai Asbab Al-nuzul Kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”[4]
            Inilah jalan yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu mengenai Asbab Al-nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Muhammad bin Sirin mengatakan:”Ketika ku tanyakan kepada ‘Ubaidah mengenai satu ayat Alquran, dijawabnya:”Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-orang yang mengetahui mengenai apa Alquran itu diturunkan telah meninggal.”
            Maksudnya, para sahabat. Apabila seorang tokoh ulama semacam Ibn Sirin, yang termasuk tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan, orang harus mengetahui benar-benar Asbab Al-nuzul. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam Asbab Al-nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan Asbab Al-nuzul. As-Suyuti berpendapat bahwa bila ucapan seorang tabi’in secara jelas menunjukkan Asbab Al-nuzul, maka ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi’in itu benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan Sa’id bin Jubair serta didukung oleh hadis mursal yang lain.
            Keabsahan asbab an-nuzul melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak semua riwayat shahih. Riwayat yang shahih adalah riwayat yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan para ahli hadits. Lebih spesifik lagi ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa pada saat wahyu diturunkan. Riwayat dari tabi’in yang tidak merujuk kepada Rasulullah dan para sahabat dianggap dhaif (lemah).
            Dalam periwayatan asbab an-nuzul dapat dikenali melalui empat cara yaitu:[5]
1). Asbab an-nuzul disebutkan dengan redaksi yang sharih (jelas) atau jelas ungkapannya berupa (sebab turun ayat ini adalah demikian), ungkapan seperti ini menunjukkan bahwa sudah jelas dan tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.
2). Asbab an-nuzul yang tidak disebut dengan lafaz sababu (sebab), tetapi hanya dengan mendatangkan lafaz fa ta’qibiyah bermakna maka atau kemudian dalam rangkaian suatu riwayat, termasuk riwayat tentang turunnya suatu ayat setelah terjadi peristiwa. Seperti berkaitan dengan pertanyaan orang Yahudi pada masalah mendatangi isteri-isteri dari dhuburnya. Maka turun surat Al-Baqarah ayat 223, artinya:”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki, dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya, dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
3). Asbab an-nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Turunnya ayat tersebut setelah adanya pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia diberi wahyu oleh Allah untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan ayat yang baru diturunkan tersebut.
4). Asbab an-nuzul tidak disebutkan ungkapan sebab secara tegas.

            Tetapi menggunakan ungkapan dalam redaksi ini dikategorikan untuk menerangkan sebab nuzul suatu ayat, juga ada kemungkinan sebagai penjelasan tentang kandungan hukum atau persoalan yang sedang dihadapi.
            Berbeda pendapat dalam menggolongkan cara yang keempat sebagai asbab an-nuzul, ada yang mengatakan sebagai penjelasan hukum, bukan sebagai sebab turunnya ayat. Menurut Supiana berdasarkan kutipan dari al-Zarkasyi berpendapat bahwa kebiasaan para sahabat dan tabi’in telah diketahui apabila mereka mengatakan “ayat ini nuzul tentang ini” maksudnya adalah menerangkan bahwa ayat ini mengandung hukum tertentu, bukan untuk menerangkan sebab turun ayat. Namun, satu-satunya jalan untuk menentukan salah satu dari dua makna yang terkandung dalam redaksi itu adalah konteks pembicaraannya. Maka perlu diteliti apakah ia menunjukkan sebab nuzul atau bukan, dalam hal ini sangat menentukan qarinah dari riwayat tersebut.
            Selanjutnya ia menjelaskan, jika terdapat dua redaksi tentang persoalan yang sama, salah satu ada nash menunjukkan sebab turunnya ayat, sedangkan yang lain tidak demikian, maka redaksi yang pertama diambil sebagai sebabnya dan redaksi yang lain dianggap sebagai penjelasan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.
            Jika ada dua riwayat yang menyebutkan sebab nuzul yang berlainan, maka yang mu’tamad ialah riwayat yang sanadnya lebih shahih dari yang lain. Jika kedua sanadnya sederajat, maka dikuatkan riwayat yang peristiwanya menyaksikan kasus dan kisah. Jika tidak mungkin dilakukan tarjih (dipilih yang lebih kuat), maka dikategorikan ke dalam ayat yang memiliki beberapa sebab nuzul dengan terulangnya kasus dan peristiwa.
 
    c.   Metode Penelitian dan Pentarjihan Asbab Al-nuzul
          Penelitian dilakukan terhadap riwayat yang mengemukakan asbab an-nuzul, karena banyak riwayat tidak memenuhi syarat keshahihannya. Adakala banyak ayat yang turun pada peristiwa yang sama, disebut:

Dan adakala sebaliknya yaitu banyak terjadi peristiwa pada satu ayat yang turun, disebut:

Apabila asbab an-nuzul suatu ayat diterangkan oleh beberapa riwayat, maka muncul beberapa kemungkinan sebagai berikut:
  1. Kedua riwayat tersebut yang satu shahih dan yang lain tidak.
  2. Kedua riwayat tersebut shahih, tetapi salah satunya ada dalil yang memperkuat dan yang lain tidak.
  3. Kedua riwayat tersebut shahih dan tidak ditemukan dalil yang memperkuatkan salah satunya tetapi dapat dikompromikan.
  4. Kedua riwayat tersebut shahih dan tidak ada dalil yang memperkuatkan salah satunya dan kedua-duanya tidak mungkin dikompromikan.
Untuk menjelaskan permasalahan beberapa riwayat diatas adalah:
  1. Apabila kedua riwayat shahih, yang pertama menyatakan sebab turunnya ayat dengan tegas, sedangkan yang kedua tidak, maka diambil riwayat yang pertama.
  2. Apabila kedua riwayat shahih, salah satunya ditarjihkan, sedangkan yang lain diriwayatkan oleh perawi yang menyaksikan sendiri, maka dipilih riwayat yang lebih rajih (kuat).
  3. Apabila kedua riwayat menerangkan sebab riwayat yang lebih rajih dan yang lebih shahih, sedangkan lain shahih tetapi marjuh (dipandang lebih lemah), maka diambil riwayat yang shahih lagi rajih.
  4. Apabila kedua riwayat shahih dan tidak dapat dikompromikan, maka harus ditetapkan ayat yang berulang kali diturunkan. Berulang kali turun menunjukkan sangat penting dan untuk mempermudah diingat.

    d.    Kedudukan Asbab Al-nuzul dalam Pemahaman Alquran
          Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat mempunyai peran yang sangat signifikan dalam memahami Alquran. Di antara fungsi dan manfaatnya adalah mengetahui hikmah ditetapkannya suatu hukum. Di samping itu, mengetahui asbab al-nuzul merupakan cara atau metode yang paling akurat dan kuat untuk memahami kandungan Alquran. Alasannya, dengan mengetahui sebab, musabab atau akibat ditetapkannya suatu hukum akan diketahui dengan jelas.[6]
            Berikut ini paparan dua kisah yang dapat dijadikan dasar bagi kita, betapa tanpa mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, banyak mufasir yang tergelincir dan tidak dapat memahami makna dan maksud sebenarnya dari ayat-ayat Al-Quran.
            Pertama, kisah Marwan ibn Al-Hakam. Dalam sebuah hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim diceritakan bahwa Marwan pernah membaca firman Allah SWT, yang artinya:”Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan suka dipuji atas perbuatan yang belum mereka kerjakan terlepas dari siksa. Bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ali Imran: 188)
            Setelah membaca ayat tersebut, Marwan berkata, “Seandainya benar setiap orang yang merasa gembira dengan apa yang telah dikerjakannya dan suka dipuji atas apa yang belum dilakukannya akan disiksa, maka semua orang juga akan disiksa.” Secara tekstual, apa yang dipahami Marwan adalah benar. Namun, secara kontekstual tidaklah demikian. Ibn ‘Abbas menjelaskan bahwa ayat tersebut sebetulnya turun berkenaan dengan kebiasaan Ahl Al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam berbohong. Yaitu, jika Nabi Muhammad SAW bertanya tentang sesuatu, mereka menjawab dengan jawaban yang menyembunyikan kebenaran. Mereka seolah-olah telah memberi jawaban, sekaligus mencari pujian dari Nabi dengan apa yang mereka lakukan. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
            Kedua, kisah ‘Utsman ibn Mazh’un dan ‘Amr ibn Ma’dikarib. Kedua sahabat ini menganggap bahwa minuman keras (khamar) diperbolehkan dalam Islam. Mereka berdua berargumen dengan firman Allah SWT, yang artinya:”Tidak ada dosa atas orang-orang yang beriman dan beramal saleh mengenai apa yang telah mereka makan dahulu.” (QS. Al-Maidah: 93). Seandainya mereka mengetahui sebab turunnya ayat tersebut, tentu tidak akan berpendapat seperti itu. Sebab, ayat tersebut turun berkenaan dengan beberapa orang yang mempertanyakan mengapa minuman keras diharamkan? Lantas, apabila khamar disebut sebagai kotoran atau sesuatu yang keji (rijs), bagaimana dengan nasib para syahid yang pernah meminumnya? Dalam konteks itulah, QS. Al-Maidah turun untuk memberi jawaban. (HR. Imam Ahmad, Al-Nasai, dan yang lain)
            Begitu juga dengan firman Allah SWT yang artinya:”Maka ke arah mana saja kamu berpaling atau menghadap, di sana ada Wajah Allah (Kiblat/ Ka’bah). (QS. Al-Baqarah: 115). Seandainya sebab turun ayat tersebut tidak diketahui, pasti akan ada yang berkata, “Secara tekstual, ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan shalat tidak wajib menghadap kiblat, baik di rumah maupun di perjalanan.” Pendapat seperti ini, tentu saja bertentangan dengan ijma’(konsensus para ulama). Namun, apabila sebab turunnya diketahui, menjadi jelas bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan pelaksanaan shalat sunnah di perjalanan (safar). Selain itu, juga berkenaan dengan orang yang melakukan shalat berdasarkan ijtihadnya, kemudian sadar bahwa dia telah keliru dalam berijtihad.
            Asbab Al-nuzul memiliki kedudukan (fungsi) yang penting dalam memahami/menafsirkan ayat-ayat Alquran, sekurang-kurangnya untuk sejumlah ayat tertentu. Ada beberapa kegunaan yang dapat dipetik dari mengetahui Asbab Al-nuzul, diantaranya:
    1. Mengetahui sisi-sisi positif (hikmah) yang mendorong atas pensyari’atan hukum.
    2. Dalam mengkhususkan hukum bagi siapa yang berpegang dengan kaidah:” bahwasanya ungkapan (teks) Alquran itu didasarkan atas kekhususan sebab, dan
    3. Kenyataan menunjukkan bahwa adakalanya lafal dalam ayat Alquran itu bersifat umum, dan terkadang memerlukan pengkhususan yang pengkhususannya itu sendiri justru terletak pada pengetahuan tentang sebab turun ayat itu.[7]
           

C. PENUTUP
            Mempelajari asbab an-nuzul sangat penting bagi yang ingin mengkaji ilmu tafsir, bahkan sebuah kewajiban bagi ahli tafsir. Cara mengetahui asbab an-nuzul pertama, dengan riwayat yang shahih, yakni riwayat yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ahli hadits. Kedua, menggunakan lafadh fa at-ta’qibiyah bermakna maka atau kemudian. Ketiga, dipahami dari konteks yang jelas. Keempat, tidak disebutkan secara tegas terhadap redaksi. Ada ulama yang berpendapat sebagai penjelasan tentang hukum.
            Metode penelitian dan pentarjihan asbab an-nuzul harus dilakukan penelitian terhadap riwayatnya, karena ada dua kategori dalam sebab penurunannya. Pertama, banyak turun ayat pada satu peristiwa, sedangkan yang kedua, banyak terjadi peristiwa pada satu ayat yang turun.
            Kedudukan asbab an-nuzul dalam pemahaman Alquran sangat membantu dalam memahami Alquran, apabila tidak niscaya banyak kekeliruannya. Kebanyakan ulama untuk menjadikan pedoman hukum lebih sepakat pada “umum lafadh” daripada “khusus sebab”, karena mempunyai tiga macam dalil yaitu: pertama, lafadh syar’i saja yang menjadikan hujjah dan dalil. Kedua, kaidah tersebut ditanggungkan kepada makna selama tidak ada pemalingannya dari makna tersebut. Ketiga, para sahabat dan mujtahid kebanyakan tanpa memerlukan qias atau mencari dalil apabila berhujjah dengan lafadh yang umum dari sebab ya


[1] http://www.al-aziziyah.com/.../147-asbab-an-nuzul-sebagai-langkah-awal-memahami-al-quran.html-Tembolok
[2] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an,(Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm.30.
[3] Subhi Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (terjemah Nur Rakhim dkk), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 160.
[4] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 1992), hlm.107.
[5] http://www.al-aziziyah.com/.../147-asbab-an-nuzul-sebagai-langkah-awal-memahami-al-quran.html-Tembolok
[6] Muhammad ibn ‘Alawi Al-Maliki, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an: Ringkasan kitab Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Pustaka, 2003), hlm. 21-22.
[7] Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 111.


At-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i
Mukarram
Pendahuluan
Dalam konteks historisitas keberadaan kitab suci umat beragama, tidak ditemukan kitab suci manapun yang memiliki dimensi yang memuat setiap segmen yang berkaitan dengan manusia dengan segala kompleksitasnya secara komprehensif yang menandingi muatan Al-Qur’an, Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang hubungan hamba dengan Tuhannya tetapi juga berbicara tentang ke”manusia”an manusia, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, hukum, sosial dan semacamnya. Dan semua hal itu banyak diuraikan dalam kitab-kitab tafsir yang dikarang oleh para mufassir.
Mengetahui latar belakang dari seorang mufassir serta metode yang digunakan dalam tafsirnya merupakan salah satu faktor yang penting dalam memahami sebuah kitab tafsir karena kehidupan seorang mufassir mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan dan sosial-politik yang ada pada masanya, juga kecenderungan dan karakteristiknya merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan karya tafsir dari mufassir  tesebut, baik dalam metode atau aliran yang digunakan dalam kitab tafsirnya. Oleh karenanya mengenal kepribadian seorang mufassir mempunyai peranan yang penting untuk memahami sebuah kitab tafsir.
Salah satu mufassir yang muncul pada dekade abad 20-an adalah Syaikh Muhammad Abduh dengan kitab karya tafsirnya  al-Manar, dimana ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan dengan gaya bahasa yang menarik dan makna diungkap dengan redaksi yang mudah dipahami.[1]

I.       Pengertian Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i
Al-adabi wa al-ijtima’i terdiri dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i. Kata al-adaby dilihat dari bentuknya termasuk mashdar  dari fi`il madhi aduba, yang berarti sopan santun, tata krama. Kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya. Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada perilaku dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural.[2]
Sedangkan secara terminologis, Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi mendefinisikan  tafsir al-Adaby wa al-Ijtima’iy adalah tafsir yang menyingkapkan balaghah, keindahan bahasa al-Quran dan ketelitian redaksinya, kemudian mengaitkan kandungan ayat-ayat al-Quran dengan sunatullah dan aturan hidup kemasyarakatan, yang berguna untuk memecahkan problematika umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya. Tidak jauh berbeda dengan apa yang didefinisikan Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi, Syekh Manna’ Qathan memberikan definisi tafsir Adabi Ijtima`I sebagai : “Tafsir yang diperkaya dengan riwayat salaf al-Ummah dan dengan uraian tentang sunatullah yang berlaku dalam masyarakat. Menguraikan gaya al-Quran dengan menyingkapkan maknanya dengan ibarat-ibarat yang mudah serta berusaha menerangkan masalah-masalah yang musykil dengan maksud untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam serta mengobati penyakit masyarakat dengan petunjuk al-Quran.” Jadi dapat kita simpulkan bahwa tafsir Adabi Ijtima`I adalah  tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.[3]
Dari definisi- definisi tersebut di atas, dapat diketahui beberapa hal, sebagai berikut:
a.       Tafsir ini menekankan penelitiannya pada keindahan gaya bahasa al-Quran serta ketelitian redaksinya, yang didalamnya terkandung hikmah mendalam yang dapat memberikan sentuhan iman dan rangsangan intelektual.
b.      Dalam tafsir ini makna yang dicakup oleh ayat al-Quran dikaitkan dengan sunatullah serta peran dan kedudukan akal sangat penting.
c.       Tafsir ini mengungkapkan sunatullah yang berlaku pada umat terdahulu yang di pandang penting untuk mendorong pembangunan demi kemakmuran masyarakat. Pemahaman dan pemamfaatan sunatullah harus dilandasi dengan nilai moral yang bersumber dari alQuran.
d.      Disamping mempergunakan daya intelektual, tafsir ini juga menggunakan riwayat-riwayat (atsar) dan sejarah. Hingga dapat dikatakan bahwa tafsir ini menggabungkan antara pendekatan akal, atsar dan sejarah.

II.    Corak penafsiran Adabi Ijtima`i.
Corak penafsiran pada aliran tafsir ini meliputi beberapa hal pokok yaitu;
 pertama, memandang bahwa setiap surat merupakan satu kesatuan, ayat-ayatnya mempunyai hubungan yang serasi. Salah satu yang menonjol dalam tafsir ini adalah berusaha membuktikan bahwa ayat-ayat dan surat dalam alQuran merupakan satu kesatuan yang utuh.
Kedua, keumuman kandungan al-Quran. Menurut Muhammad Abduh, kandungan al-Quran bersifat universal dan berlaku terus sampai hari kiamat. Di dalamnya terdapat pelajaran-pelajaran, janji dan ancaman, berita gembira dan siksa, serta ajaran tentang aqidah, akhlak dan ibadah yang dapat berlaku semua umat dan bangsa, bukan umat tertentu saja.
Ketiga, al-Quran sumber utama aqidah dan syariat Islam. Untuk menetapkan suatu ketetapan hukum harus kembali kepada sumber yang pertama yaitu al-Quran. Muhammad Abduh sebagai tokoh utama aliran tafsir ini mengecam sementara mufassir yang menganggap bahwa sebagian ayat alQuran musykil hanya tidak sejalan dengan pendapat aliran (mazhabnya).
Keempat, menerangi taklid buta. Salah satu corak dari tafsir ini adalah berusaha menghilangkan taklid buta dalam masyarakat Islam, karena dianggap menyebabkan  umat Islam beku, tidak dinamis dan tidak mencerdaskan masyarakat.penggunaan daya pikir  atau nalar dan metode ilmiah. Di dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang mengajak manusia melakukan nadzar (pengamatan) terhadap alam semesta serta mengambil pelajaran dari pertanda kekuasaan Allah di alam semesta ini dan keajaiban pencipta-Nya.
Kelima, peranan akal atau nalar dalam pemahaman al-Quran. Salah satu corak dari tafsir  ini adalah penggunaan interpretasi oleh akal. Muhammad Abduh berpendapat bahwa al-Qutan sangat menghargai akal pikiran dan memberikan kedudukan yang terhormat. Karena itu, dalam alQuran banyak ayat yang menyuruh menggunakan akal pikiran seperti; afala ta’qilun, afala tatafakkarun dan sebagainya. Penggunaan daya pikir  atau nalar dan metode ilmiah. Di dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang mengajak manusia melakukan nadzar (pengamatan) terhadap alam semesta serta mengambil pelajaran dari pertanda kekuasaan Allah di alam semesta ini dan keajaiban pencipta-Nya.[4]
Keenam, Tidak merinci persoalan yang disinggung secara mubham. Di dalam Alquran sering ditemui lafazh tak terinci, misalnya menyangkut “sapi” yang disebut dalam S. Al-Baqarah (2): 67 atau “anjing” yang menyertai “Ashabul Kahfi” (S. Kahfi: 18). Terhadap ayat/lafazh semacam ini Abduh tidak merinci atau menjelaskannya.
Ketujuh, Sangat kritis dalam menerima hadis Nabi. Dilatar belakangi oleh sikap Muhammad Abduh yang sangat rasional, dia berpendapat bahasa sanad belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Abduh menyatakan bahwa sumber ajaran agama adalah Alquran dan sedikit dari sunnah yang bersifat amaliyah dan sedikit pula jumlah hadis mutawatir, maka Alquran harus dijadikan sumber madzhab dan pendapat dalam agama.
Kedelapan, Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat-sahabat dan menolak Israiliyyat. Muhammad Abduh sangat berhati-hati dalam menerima pendapat-pendapat sahabat Nabi, apalagi jika pendapat tersebut berselisih satu sama lainnya, sehingga untuk menguatkan salah satunya dibutuhkan pemikiran yang mendalam.
Kesembilan. Mengaitkan penafsiran Alquran dengan kehidupan sosialAyat-ayat ditafsirkan selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan. Abduh menilai keterbelakangan masyarakat Islam disebabkan oleh kebodohan dan kedangkalan pengetahuan mereka akibat taqlid dan pengabaian peranan akal.[5]

III. Biografi Singkat Muhammad Abduh dan Rashid Ridho
Al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang berorientasi pada sastra-budaya dan kemasyaratan. Tokoh utama corak penafsiran ini serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Syaikh Muhammad Abduh, yang kemudian di kembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya, Sayyid Rasyid ridha.[6]
Syaikh Muhammad Abduh adalah : Muhammad Abduh  bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di kabupaten Bukhairah, Mesir pada 1849 M. Ayahnya adalah seorang petani keturunan Turki, dan ibunya keturunan Arab yang memiliki hubungan darah dengan dengan suku Arab asal keturunan kholifah Umar bin Khottob. Sejak kecil ia di ketahui sebagai anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Di usia kanak-kanaknya ia telah mampu menghafalkan Al-Qur'an dalam waktu hanya dua tahun. Selanjutnya ia di kirim ke masjid al-Ahmady selama 2 tahun untuk mempelajari Bahasa Arab, Nahwu dan berbagai pengetahuan kebahasaan, ternyata metode taqlidiyah yang digunakan waktu itu tidak memuaskan keinginan Muhammad Abduh, hingga akhirnya ia meninggalkan tempat tersebut.[7]
Kemudian ia lari ke desa Syibral Khit, di sana beliau bertemu dengan pamannya Syaikh Darwisy Khidr, ia mempunyai pengetahuan mengenai Al-Qur'an dan menganut paham tasawuf Al-Syadziliah, atas saran dan ketekunan Darwisy, Akhirnya Muhammad Abduh bersedia kembali melanjutkan sekolahnya ke kota Thanta pada tahun 1865 M. Pada periode ini Muhammad Abduh sangat di pengaruhi oleh cara dan paham sufi yang ditanamkan oleh pamannya.[8]
Kemudian beliau melanjutkan sekolahnya ke Al-Azhar dan menamatkan kuliahnya pada tahun 1877 M. Di tempat inilah ia berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, antara lain : (1) Syaikh Hasan Al-Thawil yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles, dan sebagainya. (2) Muhammad Basyuni, seorang yanag banyak mencurahkan perhatian pada bidang sastra, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikkannya. Pada tahun 1871 M, Jamaluddin Al-Afghoni datang ke Mesir, ia pun berkenalan dan menjadi muridnya, dari tokoh ini ia mempelajari berbagai macam ilmu, Jamaluddin Al-Afghani mampu mengalihkan kecendrungan Muhammad Abduh dari tasawuf dalam arti yang sempit dan dalam tata cara berpakaian dan dzikir kepada tasawuf dalam arti yang lain, yaitu perjuangan untuk perbaikan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran-ajaran Islam.[9]
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada Jumadil 'Ula 1282 H. Dia seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari sayyidina Husain bin Ali.
Di masa kecil, ia memulai studinya di taman pendidikan dikampungnya (kuttab); disana diajarkan membaca Al-Qur'an, menulis, dan dasar-dasar berhitung. Setelah tamat, Rasyid Ridha di kirim oleh orang tuanya ke Tripoli (Lebanon) untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah, mereka yang belajar di sana di persiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Karena itu Rasyid Ridha tidak tetarik untuk terus belajar di sana. Setahun kemudian ia pindah ke sekolah Islam Negeri, sekolah ini didirikan dan di pimpin oleh ulama Syam ketika itu, yakni Syaikh Husain Al-Jisr. Syaikh inilah yang kelak mempunyai andil sangat besar terhadap perkembangan pikiran Rasyid Ridha.
Majalah Al-'Urwah al-Wustsqa yang diterbitkan Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris, yang tersebar ke seluruh dunia Islam, ikut di baca pula oleh Rasyid Ridha dan memberi pengaruh yang sangat besar pada jiwanya, sehingga mengubah sikap pemuda yang berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda yang penuh semangat untuk melaksanakan agama secara utuh serta membela dan membangun negara dengan ilmu pengetahuan dan industri.[10]

IV. Pemikiran Muhammad Abduh
Abduh mengemukakan dua pandangan terhadap kitab tafsir dan penafsiran pada masanya dan pada masa-masa sebelumnya16, yaitu:
Pertama, ia menilai kitab-kitab tafsir pada saat itu tidak lain kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda dan pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Alquran. Sebagian kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku karena penafsiranya
hanya mengarahkan kepada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i‟rab dan penjelasan lain menyangkut segi tehnis kebahasaan, oleh karena itu kitab-kitab tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, bukunya kitab tafsir yang sesungguhnya. Menurut Abduh; Allah Swt. tidak akan menanyakan kepada kita tentang hal tersebut, masyarakat pun tidak membutuhkannya, yang mereka butuhkan adalah petunjuk-petunjuk yang dapat mengantarkan mereka kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Walaupun demikian ada beberapa tafsir yang dikecualikan yaitu tafsir Al-Zamakhsyari (al-kasysyaf), tafsir ini dinilainya sebagai kitab terbaik untuk pelajar dan mahasiswa. Abduh menyebutkan pula tafsir Al-Thabari, Abu Muslim al-Asfahani, Al-Qurthubi,sebagai kitab-kitab terpercaya di kalangan penuntut ilmu karena pengarang-pengarangnya telah melepaskan dari belenggu taqliddan berpartisipasi dalam menciptakan iklim ilmiah di tengah-tengah masyarakat mereka.
Kedua, dalam bidang penafsiran, Abduh menggaris bawahi bahwa dialog Alquran dengan masyarakat Arab Ummiyyin(awam/yang tidak bisa baca tulis) bukan berarti ayat-ayatnya hanya tertuju kepada mereka semata, tetapi berlaku umum untuk setiap masa dan generasi. Karena itu menjadi kewajiban setiap orang pandai atau bodoh untuk memahami ayat-ayat Alquran sesuai dengan kemampuan masing-masing.Jalan pikiran Muhammad Abduh ini menghasilkan dua landasan pokok menyangkut pemahaman atau penafsirannya terhadap ayat-ayat Alquran, yaitu
peranan akal dan peranan kondisi sosial.[11]
a.       Peranan Akal
Abduh berpendapatbahwa metode Alquran dalam memaparkan ajaran-ajaran agama berbeda dengan metode yang ditempuh oleh kitab-kitab suci sebelumnya; Alquran memaparkan masalah dan membuktikan dengan argumentasi-argumentasi, bahkan menguraikan pandangan-
pandangan penentangnya bahkan seraya membuktikan kekeliruan mereka. Menurut Abduh ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika dan juga ada ajaran agama yang sulit dipahami dengan akalnamun tidak bertentangan dengan akal. Dengan demikian walaupun harus dipahami dengan akal, Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi Saw (wahyu).
b.      Peranan Kondisi Sosial
Ajaran agama menurut Abduh dalam garis besar terbagi dua yaitu rinci danumum. Yang rinci ialah sekumpulan ketetapan Tuhan dan Nabi-Nya yang tidak dapatmengalami perubahan dan atau perkembangan sedangkan yang umum merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannyasesuai dengan kondisi sosial. Abduh mengusulkan agar ulama menghimpun diridalam satu organisasi yang didalamnya mereka dapat mendiskusikan soal-soalkeagamaan dan mencari illat(motif) dari setiap ketetapan, sehingga suatu hukum yangditetapkan berdasarkan satu kondisi tertentu, hendaklah kondisi tersebut dijelaskan.Bila kondisinya berubah, maka ketetapan itu juga dapat berubah.Dalam memahami ayat-ayat Alquran, terlebih yang menyangkut hukum,landasan ini tidak pernah diabaikan. Melalui kedua hal tersebut di atas, Abduh berusaha menjadikan hakikat ajaran Islam yang murni menurut pandangannya sertamenghubungkan ajaran terebut dengan kehidupan masa kini.Salah satu metode analisis penafsiran adalah “adabi ijtima‟i" (budayakemasyarakatan), corak ini menitik beratkan penjelasan ayat-ayat Alquran pada segiketelitian redaksinya, menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk Alquran bagi kehidupan, serta menghubungkanpengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia
Contoh penafsiran Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar tentang hidayah (هداية). Abduh menjelaskan bahwa Allah memberikan hidayah kepada manusia untuk memperoleh kebahagiannya melalui empat macam hidayah[12]
1. Hidayah al-Wijdan al Thabi‟iy wa al-Ilham al-Fithriy
Contohnya, bayi ketika lahir merasa haus/lapar mampu bereaksi atas perasaan tersebut.
2. Hidayah al-Hawas wa al-Masya‟ir
Hidayah kedua ini merupakan perpanjangan tangan dari hidayah pertama dalam menjangkau di luar dirinya. Terkadang hewan-hewan, kemampuan inderanya lebih sempurna dan lebih cepat berfungsinya dibanding indera manusia.
3. Hidayah al-Aql
Hidayah akal ini lebih tinggi dari hidayah pertama dan kedua. Akal mempunyai kemampuan menilai dan mengontrol kekeliruan indera dan bisa menjelaskan sebab-akibatnya. Sebagai ontoh, penglihatan terhadap suatu benda yang besar menjadi kecil pada jarak jauh. Benda yang lurus terlihat bengkok ketika dimasukkan ke dalam air.
4. Hidayah al-Din
Hidayah ini mampu mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu dapat mengelabui dan mengalahkan akal. Meyakini hal-hal yang ghaib, adanya kehidupan kedua setelah kematian dan rangkaian peristiwa-peristiwa lainnya.

V.    Beberapa contoh tafsir adabi wa ijtima'i dalam tafsir Al-Manar.
1.      Mensinergikan ayat Al-Qur'an dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Pada surat Al Ashr ayat 3 (وتواصوا بالصبر  ) dalam penggalan ayat yang pendek ini, beliau menafsirkannya dengan panjang lebar, menyinggung semua lini kehidupan, diantaranya beliau berkata : (…lemahnya ilmu pengetahuan di kalangan ummat Islam saat ini, salah satu sebabnya adalah minimny rasa sabar di hati umat ini, demikian juga kikir, pelitnya orang yang mempunyai harta dikarenakan minimnya sabar di hatinya, seandainya dia sabar untuk memerangi hayalan tentang kefaqiran yang diciptakan setan pasti dia tidak akan berbuat bakhil…)[13]
2.      pada surat Al-infithar ayat : 13,(إن الأبرار لفي نعيم ) beliau mengupas arti al-birr (kebaikan ) dan kreteria abraar, beliau berkata : (tidak dianggap sebagai orang yang baik, sehingga dia bisa mencukupi dirinya sendiri dan bisa memberikan kontrobusi kepada masyarakat, jangan tertipu dengan orang-orang yang malas, yang mengira dirinya  sudah sampai pada maqam abraar dengan rakaat-rakaat mereka di tempat sepi, atau tasbih-tasbih yang mereka dengungkan tanpa memahami makna dari tasbih itu, atau jeritan-jeritan mereka yang kurang pantas bagi seorang mu'min…)[14]Abduh ingin mengkritik dan menyadarkan masyarakat pada saat itu yang diwarnai oleh ajaran sufi, yang lebih menekankan pada aspek ruhani (dzikir, wirid, dan memperbanyak puasa) yang mengakibatkan kelesuhan perekonomian dan kemunduran umat.   

VI. Penutup
Dari pemaparan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan penting, antara lain sebagai berikut, Muhammad Abduh terlahir dengan memiliki kecerdasan. Semakin tumbuh dewasa semakin nampak ketidakpuasan terhadap apa yang diketahui dan dialaminya. Hal ini terlihat dari pencarian sumber ilmu pengetahuan dan pelajaran yang baru, yang berbeda dengan metode keilmuan sebelumnya. Pertemuan dengan Jamaluddin al-Afgani menjadi tonggak sejarah baru. Abduh tampil untuk menjadi seorang pemikir dan pembaharu. Ketertarikan terhadap teologi Mu‟tazilah memicu Abduh untuk mengusung rasionalitas dalam memahami ajaran-ajaran agama. Pemikiran-pemikiran Abduh ini dituangkan dalam pengajaran dan karya-karya ilmiah. Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang tokoh Islam yaitu Sayyid amaluddin al-Afghani, Syekh Muhamamd Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Tokoh ketigalah yang mendominasi penyusunan tafsir tersebut. Gaya pemikiran dan penafsiran Muhammad Abduh antara lain menerapkan dua landasan pokok yaitu, mengukuhkan peranan akal dan pentingnya kondisi sosial kemasyarakatan. Dua landasan pokok tersebut lebih jauh dijabarkan dalam Sembilan prnsip pemikiran dan penafsiran dalam karya-karya Abduh dan sebagian karya murid-muridnya.
Daftar Pustaka
al-Qattan, Manna’ Khalil , Studi Ilmu-ilmu Islam (Surabaya, Litera AntarNusa, 2013)
Supiana, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002)
Syihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), ctk. I
Usman. Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Teras. 2009)
Abdullah, Dudung, Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir alManar, Ar-Risalah,vol.11, nomor 2, November 2011
Shihab, M. Quraish, Studi kritis tafsir Al Manar (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994) cet.ke-1,
Jalaluddin, Usman Said, filsafat pendidikan Islam :Konsep dan perkembangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999)
Shihab, M. Quraish, Rasionalitas Al-Qur‟an,Studi Kelas Atas Tafsir Al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
Adz- Dzahabi, Muhammad Husein, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Beirut : Dar Al-Arqam



[1] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Islam (Surabaya, Litera AntarNusa, 2013), h.512.
[2] Supiana, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 316-317.
[3] Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), ctk. I, hlm. 108
[4] Usman. Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Teras. 2009). Hal. 204.
[5] Dudung Abdullah, Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir alManar, Ar-Risalah,vol.11, nomor 2, November 2011.
[6]M. Quraish Shihab, Studi kritis tafsir Al Manar (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994) cet.ke-1, hal 11.
[7]Jalaluddin dan Usman Said, filsafat pendidikan Islam :Konsep dan perkembangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hal 154.
[8] M. Quraish Shihab, Studi kritis..Op.cit  hal 13.
[9] Ibid hal 14-15
[10] Ibid  hal 61-63
[11] M. Quraish Shihab,Rasionalitas Al-Qur‟an,Studi Kelas Atas Tafsir Al-Manar(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h.11.
[12] Muhamamd Rasyid Ridha,Tafsir Al-Manar (Kairo: Dar Al-Manar, 1367 H), h. 62.

[13] Muhammad Husein Adz- Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Beirut : Dar Al-Arqam, tt hal 391-392
[14] Ibid. hal.393
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!