Disusun Oleh : Iqbal
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Al-Qur’an
adalah kallamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman
hidup umat manusia agar bisa selamat di dunia dan di akhirat. Maka dari itu,
kita sebagai umat manusia harus bisa memahami isi kandungan ayat-ayat Al-Qur’an
agar dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk bisa memahami isi
kandungannya lahirlah ilmu tafsir.
Ilmu tafsir
menurut beberapa ulama dibagi menjadi empat macam yaitu, tafsir Tahlili,
tafsir Ijmali, tafsir Muqaran, dan tafsir Mawdlu’i.
Namun, yang akan kita bahas kali ini yaitu tentang tafsir Tahlili.
Tafsir Tahlili adalah
ilmu tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an secara detail dari mulai ayat demi ayat,
surat demi surat ditafsirkan secara berurutan, selain itu juga tafsir ini
mengkaji Al-Qur’an dari semua segi dan maknanya. Tafsir ini juga lebih sering
digunakan daripada tafsir-tafsir yang lainnya.
Beberapa
ulama membagi tafsir Tahlili menjadi beberapa macam yaitu, tafsir ma’tsur,
tafsir ra’yi, tafsir Shufi, tafsir Fikih,
tafsir Falsafi, tafsir ‘Ilmi, dan
tafsir Adab Al-Ijtima’i. Dan untuk lebih jelasnya tentang
tafsir Tahlili akan dibahas pada bab selanjutnya.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan tafsir Tahlili?
2. Bagaimana ciri-ciri
dari tafsir Tahlili?
3. Apa
Contoh tafsir Tahlili?
4. Apa
keistimewaan dan kelemahan tafsir Tahlili?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tafsir Tahlili
Tafsir Tahlili merupakan
metode tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan
makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[1]
Selain itu, ada juga yang menyebutkan tafsir tahlili adalah
tafsir yng mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya. Seorang
pengkaji dengan metode ini menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, ayat demi ayat dan
surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushhaf Utsmany. Untuk
itu ia menguraikan kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki,
sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur i’jaz,
balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang diistinbathkan
dari ayat, yaitu hukum fikih, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma
akhlak, aqidah atau tauhid, perintah, larangan, janji, ancaman, haqiqat,
majaz, kinayah, dan isti’arah. Di samping itu juga
mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan
sesudahnya . Dengan demikian sebab nuzul ayat atau sebab-sebab turun ayat,
Hadits-hadits Rosulloh SAW dan pendapat para sahabat dan tabi’in-tabi’in sangat
dibutuhkan.
Maka,
tafsir tahlili merupakan ilmu tafsr yang menafsirka ayat-ayat
Al-Qur’an secara berurutan dari ayat per ayat sesuai urutan pada mushaf utsmani,
menjelaskan setiap ayatnya secara detail yang meliputi beberapa hal antara
lain, isi kandungan ayatnya, asbab al nuzulnya, dan lain-lain.
Metode tafsir Tahlili ini sering dipergunakan oleh kebanyakan
ulama pada masa-masa dahulu. Namun, sekarangpun masih digunakan. Para ulama ada
yang mengemukakan kesemua hal tersebut di atas dengan panjang lebar (ithnab),
seperti Al-Alusy, Al-Fakhr Al-Razy, Al-Qurthuby dan Ibn Jarir Al-Thabary. Ada
juga yang menemukakan secara singkat (ijaz), seperti Jalal al-Din
Al-Shuyuthy, Jalal al-Din Al-Mahally dan Al-Sayyid Muhammad Farid Wajdi. Ada
pula yang mengambil pertengahan (musawah), seperti Imam Al-Baydlawy,
Syeikh Muhammad ‘Abduh, Al-Naysabury, dll. Semua ulama di atas sekalipun mereka
sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan metode Tahlili,
akan tetapi corak Tahlili masing-masing berbeda.[2]
Para ulama
telah membagi wujud metode tafsir Tahlili menjadi tujuh macam,
yaitu tafsir bil Ma’tsuri, tafsir bir Ra’yi,
tafsir Shufi, tafsir Fikih, tafsir Falsafi,
tafsir ‘Ilmi, tafsir Adab al-ijtimi’i.
1.
Tafsir Tahlili bentuk Ma’tsuri / tafir
bi al-Ma’tsuri (riwayat)
Tafsir bil
Ma’tsuri yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat-ayat lain,
dengan sunnah Nabi SAW, dengan pendapat sahabat Nabi SAW, dan dengan
perkataan tabi’in. Menurut Subhi as-Shalih, bentuk tafsir seperti ini
sangat rentan terhadap masuknya pendapat-pendapat di luar Islam, seperti kaum
zindiq Yahudi, Parsi, dan Parsi, dan masuknya hadits-hadits yang tidak shahih.[3]
2.
Tafsir Tahlili Bentuk bir
Ra’yi / tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bir
Ra’yi merupakan cara penafsiran Al-Qur’an dengan dan penalaran dari
mufasir itu sendiri. Mufasir dalam metode ini diberi kebebasan dalam berpikir
untuk menafsirkan Al-Qur’an. Hal tersebut tentu dibatasi oleh kaidah-kaidah
penafsiran Al-Qur’an, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam
menafsirkan Al-Qur’an.
3.
Tafsir Tahlily Bentuk Shufi
Tafsir Shufi mulai
berkembang ketika ilmu-ilmu agama dan sains mengalami kemajuan pesat serta
kebudayaan Islam tersebar di seliruh pelosok dunia dan mengalami kebangkitan
dalam segala seginya. Tafsir ini lebih menekankan pada aspek dan dari sudut
esoterik atau isyarat-isyarat yang tersirat dari ayat oleh para
tasawuf. Metode bentuk ini dibagi menjadi dua yaitu, teoritis dan
praktis.
Dalam bentuk
teoritis, mufasir menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan mazhabnya dan
sesuai dengan ajaran-ajaran mereka. Mereka menta’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal
dan didukung oleh dalili Syar’i. Sedangkan dalam bentuk praktis, mufasir
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan berdasarkan isyarat-isyara tersembunyi.
4.
Tafsir Tahlili Bentuk Fikih
Tafsir Fikih adalah tafsir yang menekankan pada tinjauan hukum
dari ayat yang di tafsirkan. Tafsir ini banyak di temukan dalam kitab-kitab
fikih yang dikarang oleh imam-imam dari berbagai mazhab yang berbeda.
5.
Tafsir Tahlili Bentuk Falsafi
Tafsir Falsafi merupakan ilmu tafsir yang menafsirkan
Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan filsafat. Pendekat filsafat yang
digunakan adalah pendekatan yang berusaha melakukan sintesis dan
siskretisasi antara teori-teori filsafat dengan ayat-ayat Al-Qur’an, selain itu
juga menggunakan pendekatan yang berusaha menolak teori-teori filsafat
yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
6. Tafsir Tahlili Bentuk ‘Ilmi
Tafsir ini mulai muncul akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat
pesat, sehingga tafsir ini dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan
pendekatan almiah atau dengan menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan. Dalam
tafsir ini mufasir berusaha mengkaji Al-Qur’an dengan dikaitkan dengan gejala
atau fenomena-fenomena yang terjadi di alam semesta ini. Namun, yang sangat
disayangkan adalah pada tafsir ini terbatas pada ayat-ayat tertentu dan
bersifat parsial, terpisah dengan ayat-ayat lain yang berbicara pada masalah
yang sama.
7. Tafsir Tahlili Bentuk Adab Al-Ijtima’i Adab
Al Ijtima’i
Tafsir adalah suatu metode tafsir yang coraknya menjelaskan petunjuk-petunjuk
ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan, serta
usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah
kemasyarakatan berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dengan mengemukakannya
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar.
Jadi, metode tafsir tahlili ini dibagi oleh beberapa ulama
menjadi beberapa macam, yaitu tafsir bi al-Ma’tsuri, bi al-Ra’yi,
Shufi, Fikih, Falsafi, ‘Ilmi, dan Adab al-Ijtima’i. Semua
bentuk tafsir tahlili memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri.
Tafsir bi al ma’tsuri adalah tafsir yang penafsirannya dengan
menggunakan ayat-ayat lain, riwayah Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in.
Tafsir bi al ra’yi adalah tafsir yang penafsirannya
menggunakan metode ijtihad dan penalaran. Tafsir shufi adalah
tafsir yang menekankan pada isyarat-isyarat yang terdapat pada ayat yang dikemukakan
oleh tasawuf. Tafsir fikih adalah tafsir yang menekankan pada
tinjauan hukum dari ayat yang ditafsir. Tafsir falsafi adalah
tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan filsafat. Tafsir ‘ilmu adalah
tafsir yang menggunakan pendekatan ilmiah atau teori-teori ilmu pengetahuan.
Dan yang terakhir tafsir adab al-ijtima’i adalah tafsir yang
menjelaskan kepada hubungan dengan kemasyarakatan.
B. Ciri-ciri
Tafsir Tahlili
Metode
Tafsir tahlili memiliki ciri khusus yang membedakannya dari
metode tafsir lainnnya, ciri-ciri tersebut adalah :
1. Mufasir
menafsirkan ayat per ayat sesuai dengan urutan dalam mushaf ustmani, yaitu
dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri oleh surat An-Nas.
2. Mufasir
menjelaskan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an secara komprehensif dan
menyeluruh, baik makna harfiah setiap kata maupun asbabun nuzulnya.
3. Bahasa
yang digunakan metode tahlili tidak sesederhana yang dipakai
metode tafsir ijmali.
C. Contoh-contoh
Tafsir Tahlili
Ada cukup
banyak contoh tafsir tahlili, antara lain:
Contoh tafsir tahlili dalam
bentuk bi al-ma’tsuri yang menafsirka Al-Qur’an dengan
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Rasullullah SAW untuk menjelaskan sebagian
kesulitan yang ditemui oleh para sahabat semasa Rasulullah SAW masih hidup.
Seperti penafsiran hadits Rasulullah SAW terhadap pengertianالغضو ب عليهم dan الضا لين (Q.S. Al-Fatihah :7), penjelasan beliau tentang firman
Allah الذ ين امنواولم يلبسواايمانهم بظلم
(Q.S. Al-An’am
:82) dan firman Allah يايهاالذين
امنوااتقواالله حق تقاته (Q.S. Ali ‘Imran :102) dan lain-lain.
Contoh yang
dalam bentuk shufi, yaitu Al-Alusy berkata tentang isyarat yang
diberikan oleh firman Allah (Q.S. Al-Baqarah :45), sebagai berikut:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ
إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Artinya: “Jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu berat, kecuali
bagi orang-orang yang khusyu’”.
Bahwa shalat
adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk
menangkap tajally (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat
berat, kecuali bagi orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima
cahaya-cahaya dari tajally-tajally Allah yang amat halus dan
menangkap kekuasaan-Nya yang perkasa. Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa
mereka benar-benar berada di hadapan Allah dan hanya kepada-Nyalah mereka
kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka (fana’) dan
meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa’), sehingga mereka
tidak menemukan selain eksistensi Allah sebagai Raja yang Maha Halus dan Maha
Perkasa.
Dari
beberapa contoh di atas, kita dapat mengetahui bahwa tafsir tahlili itu
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan bentuknya atau mempunyai
karakter tersendiri. Selain itu, masih ada banyak lagi contoh dari tafsir tahlili.
Ada cukup
banyak contoh kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode tafsir ini, antara
lain:
- Jami’
al-Bayan fy Tafsir al-Qur’an, karangan Imam Ibn Jarir Al-Thabary
- Ma’alim
al-Tanzil yang dikenal dengan Al-Tafsir al-Manqul, karangan
Imam Al-Baghawy
- Madarik
al –Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, karangan Al-Ustadz Mahmud Al-Nasafy
- Anwar
al-Tanzil wa Asrarnal-Ta’wil, karangan Al-Ustadz Al-Baydlawy
- Tafsir
Al-Qur’an al-‘Adhim, karangan Imam Al-Tustury
- Haqaiq
al-Tafsir, karangan Al-‘Allamah Al-Sulamy (w. 421 H)
- Ahkam
Al-Qur’an, karangan Al-Jasshash (w. 370 H)
- Al-Jami’
li Al-Qurthuby (w. 671 H)
- Mafatih
al-Ghaib, karangan Al-Fakhr Al-Razi (w. 606)
- At-Tafsir
al-‘Ilm li al-Kauniyat al-Qur’an al-Karim, karya Hanafi Ahmad
- Al-Islam
Yatahadda, karangan Al-‘Allamah Wahid al-Din Khan
- Tafsir
al-Manar, karya Rasyid Ridha (w. 1345 H)
- Tafsir
Al-Qur’an al-Karim, karya Mahmud Salthut
Dan masih
banyak lagi contoh kitab yang berdasarkan atau yang menggunakan metode
tafsir tahlili ini.[4]
D. Tafsir al-Zamakshari dan
Tafsir al-Razi sebagai representasi dari tafsir tahlili
1.
Al-Kasysyaf’an Haqa’iqit Tanzil Wa ‘Uyunil Aqawil fi Wujuhit Ta’wil, oleh
az-Zamakhsyari.
Zamakhsyari
adalah seorang ulama jenius yang sangat ahli dalam bidang ilmu nahwu, bahasa,
sastra dan tafsir. Pendapat-pendapat nya tentang ilmu bahasa Arab diakaui dan
dipedomani oleh para ahli bahasa karena keorsinilan dan kecermatannya.
Zamakhsyari adalah penganut paham mu’tazilah dan bermazhab Hanafi ia menyusun
kitab al-Kasysyaf untuk
mendukung akidah dan mazhabnya.
Paham kemu’tazilahan Zamakhsyari dalam
tafsirnya menjadi bukti kecerdasan, kecermelangannya dan kemahirannya. Ia mampu
mengungkapkan isyarat-isyarat yang jauh agar terkandung di dalam makna ayat
guna membela kaum Mu’tazilah dan menyanggah lawan-lawannya. Tetapi dari aspek
kebahasaan ia berjasa telah menyingkap keindahan qur’an dan daya tarik
balagahnya. Hal ini karena ia mempunyai pengetahuan luas tentang ilmu Balagah,
Bayan, Sastra, nahwu dan saraf. Karenanya ia menjadi rujukan kebahasan yang
kaya. Di dalam pendahuluan tafsirnya ia mengindikasikan akan hal tersebut ia
menyatakan bahwa orang yang menaruh perhatian terhadap tafsir tidak akan dapat
menyelami hakikatnya sedikitpun juga kecuali jika ia telah menguasai dua ilmu
khusus bagi Qur’an, ilmu Ma’ani dan ilmu Bayan, telah cukup lama menggeluti keduanya, bersusah payah dalam
menggalinya, menderita karenanya, serta didorong oleh cita-cita luhur untuk
memahami kelembutan-kelembutan hujjah Allah dan oleh hasrat ingin mengetahui mukjizat Rasulullah. Di samping
itu semua ia telah mempunyai bekal cukup ilmu-ilmu yang lain dan mampu
melakukan dua hal penelitian dan pemeliharaan, serta banyak menelaah sering
berlatih, lama merujuk dan akhirnya menjadi rujukan, juga ahli dalam ilmu i’rab
dan menjadi pemuka di kalangan pemikul kitab. Namun demikian ia tetap memiliki
perangai sederhana dan kreativitas mandiri.[5]
Ibn Khaldun memberikan analisa dan
penilaian terhadap kitab al-Kasysyaf karya Zamakshari tersebut ketika membicarakan tentang rujukan tafsir
berupa pengetahuan tentang bahasa, i’rab dan balagah sebagai berikut.
Diantara kitab tafsir paling baik yang mencakup bidang tersebut ialah
kitab al-Kasysyaf karya Zamakshari, seorang penduduk Khawarizm di Irak. Hanya saja
pengarannya termasuk pengikut fanatik aliran Mu’tazilah karena itu ia
senantiasa mendatangkan argumentasi-argumentasi untuk membela mazhabnya yang
rusak setiap ia menerangkan ayat-ayat alqur’an dari segi Balagah. Cara demikian
bagi para penyelidik dari kalangan ahli sunnah dipandang sebagai penyimpangan
dan bagi jumhur merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan alqur’an.
Namun demikian mereka tetap mengakui kekokohan langkahnya dalam hal yang
berkaitan dengan bahasa dan balagah. Tetapi jika orang yang membacanya tetap
berpijak pada mazhab sunni dan menguasai hujjah-hujjahnya tentu ia akan selamat
dari perangkap-perangkapnya. Oleh karena itu kitab tersebut perlu dibaca
mengingat keindahan dan keunikan seni bahasanya.[6]
Dewasa ini telah sampai kepada kita sebuah karya salah seorang bangsa
Irak, Syarafuddin at-Tayyibi, penduduk Tauriz Irak ‘ajam. Di dalam karya
tersebut ia mensyarahkan kitab Zamakhsari, meneliiti lafazh-lafazhnya
membeberkan mazhab Mu’tazilahnya dengan mengemukakan dalil-dalil yang
membuktikan kepalsuannya dan menjelaskan bahwa aspek balagah itu hanya terletak
pada ayat menurut pandangan ahli sunnah, bukan menurut pandangan Mu’tazilah.
Sungguh ia telah berbuat baik dalam hal tersebut sesuai dengan kemauannya serta
mencukupi pula seni balagah-balagahnya.[7]
2. Mafatihul
Gaib, oleh ar-Razi
Fakhruddin ar-Razi adalah seorang
ulama yang menguasai banyak disiplin ilmu dan sangat menonjol dalam ilmu-ilmu
naqli dan ‘aqli. Ia memperoleh popularitas besar di segala penjuru dunia, dan
mempunyai cukup banyak karya diantaranya yang paling penting adalah tafsir
besarnya bernama Mafatihul
Gaib. Tafsir ini terdiri atas delapan jilid besar namun berbagai pendapat
yang ada menunjukkan bahwa ar-Razi tidak sempat menyelesaikannya.
Pendapat-pendapat itu tidak sepakat mengenai sampai sejauh mana ia
menyelesaikan tafsirnya dan siapa pula yang menyelesaikannya. Mengenai hal ini
Syaikh Muhammad az-Zahabi memberikan catatan sebagai berikut.
Yang dapat saya katakan sebagai
pemecahan terhadap silang pendapat ini ialah, bahwa imam Fakhruddin telah
menyelesaikan tafsirnya sampai dengan surah al-anbiya’. Selanjutnya Syihabuddin
al-khaubi menyempurnakan kekurangan tersebut namun ia juga tidak dapat
menyelesaikannya dengan tuntas dan sesudah itu tampil lagi Najmuddin al-Qamuli
menyelesaikan sisanya tetapi dapat juga dikatakan bahwa al-Khaubi telah
menyempurnakannya hingga selesai, sedang al-Qamuli menulis penyempurnaan lain,
bukan yang ditulis al-Khaubi inilah pendapat yang jelas dari ungkapan penulis Kasyfuz Zunun.[8]
Sekalipun demikian pembaca tafsir
ini tidak akan mendapatkan perbedaan metoda dan alur pembahasan dalam
penulisannya sehingga ia tidak dapat membedakan antara yang asli dengan yang
penyempurnaan.
Ar-Razi telah mencurahkan perhatian
untuk menerangkan korelasi (munasabah) antar ayat dan surah Qur’an satu dengan yang lain, serta banyak
menguraikan ilmu eksakta, fisika, falak, filsafat dan kajian-kajian masalah
ketuhanan menurut metoda dan argumentasi para filosof yang rasional, di samping
juga mengemukakan mazhab-mazhab fiqh. Namun sebenarnya sebagaian besar uraian
tersebut tidak diperlukan dalam ilmu tafsir dengan demikian kitab tafsir ini
menjadi ensiklopedi ilmiah tentang ilmu Kalam, Kosmologi dan Fisika, sehingga
ia kehilangan relevansinya sebagai tafsir Qur’an.[9]
E. Keistimewaan
dan Kelemahannya
Dalam
menganalisa tafsri tahlili, muncul beberapa pertanyaan yang
berkenaan dengan kegunaan metode penafasiran ini, diantaranya adalah apa
keistimewaan dan kelemahan metode tafsir ini, dan bagaimana pula
contohnya. Dalam bagian ini akan dibahas insya Allah mengenai keistimewaan
dan juga kelemahan tafsir ini. Suatu metode yang dilahirkan seorang manusia,
selalu saja memliki kelemahan dan keistimewaan. Demikian halnya juga
dengan metode tahlili ini. Namun perlu disadari keistimewaan
dan kelemahan yang dimaksud disini bukanlah suatu hal yang negatif, akan tetapi
rujukan dalam ciri-ciri metode ini.
Dalam
tafsir tahlili ditemukan beberapa keistimewaan diantaranya
adalah tafsir ini biasanya selalu memaparkan beberapa hadist ataupun perkataan
sahabat dan para tabiin, yang berkenaan dengan pokok pembahasan pada ayat. Juga
didalamnya terdapat beberapa analisa mufassir mengenai hal-hal umum yang
terjadi sesuai dengan ayat. Dengan demikian, informasi wawasan yang diberikan
dalam tafsir ini sangat banyak dan dalam.
Keistimewaan
lainnya adalah adanya potensi besar untuk memperkaya arti kata-kata dengan
usaha penafsiran terhadap kosa-kata ayat. Potensi ini muncul dari luasnya
sumber tafsir metode tahlili tersebut. Penafsiran kata dengan
metode tahlili akan erat kaitannya dengan kaidah-kaidah bahasa
Arab dan tidak tertutup kemungkinan bahwa kosa-kata ayat tersebut sedikit
banyakanya bisa dijelaskan dengan kembali kepada arti kata tersebut seperti
pemakaian aslinya. Pembuktian seperti ini akan banyak berkaitan dengan
syair-syair kuno.
Keistimewaan
lainnya adalah luasnya bahasan penafsiran. Pada dasarnya, selain kedetilan,
keluasan bahasan juga menjadi salah satu ciri khusus yang membedakan tafsir
tahlili dengan tafsir ijmali. Seperti disebutkan di atas,
bahwa salah satu keistimewaan tafsir tahlili dibandingkan dengan tafsir ijmali adalah
kedetilannya dalam menguraikan sebuah ayat. Sebuah ayat yang tidak ditafsirkan
oleh metode ijmali kadang kala membutuhkan ruang yang banyak
bila ditafsirkan dengan metode tahlili. Disamping
keistimewaan, juga ada kelemahan. Namun sekali lagi kelemahan disini bukanlah
merupakan kelemahan yang mengharuskan kita tidak menggunakan atau mengabaikan
tafsir ini. Akan tetapi hendaknya dalam menyikapi kelemahan ini, kita haru
dapat memilah milih beberapa informasi dan wawasan yang dipaparkan dalam metode
penafsiran ini.
Salah satu
kelemahan yang sering disebutkan adalah berkenaan dengan Israiliyat yang
mungkin terkadang masuk dalam informasi yang diberikan mufassir. Juga sama
halnya dengan berbagai hadist lemah yang tidak selayaknya digunakan pada tempat
dan kondisi sesuai. Akan tetapi dengan analisa kritis yang mendalam,
kelemahan ini sangat mungkin untuk dihindarkan. Selayaknyalah memang seorang
mufassir yang berkompeten untuk memberikan perhatian serius terhadap sumber
informasi yang ia gunakan dalam menafsirkan sebuah ayat. Israiliyyat tidaklah
begitu sulit untuk dikenali, konsepnya hanyalah apakah informasi tersebut
mempunyai sumber yang jelas atau tidak, bila sumbernya jelas dan kuat maka
informasi tersebut bisa dipakai dan sebaliknya.
Demikian
pula dengan hadist-hadist dha’if ataupun pendapat-pedapat para sahabat maupun
tabi’i. Hukum dasar hadist da’if adalah tidak boleh diamalkan, hal ini tentu
saja berlaku dalam pemakaian sebagai sumber tafsir. Hadist dha’if tersebut
hanya bisa dipakai sebagai penguat apabila ada hadist yang lebih kuat
menjelaskan senada dengan hadist da’if tersebut.
Kelemahan
lain tafsir tahlili adalah kesannya yang bertele-tele dan
sistematis. Tapi apakah demikian adanya? Sepintas memang akan terlihat demikian
karena tafsir tahlili membutuhkan wadah yang lebih banyak dan luas dibandingkan
dengan tafsir ijmali. Pemakaian kata yang banyak tidak bisa
dikatakan bertele-tele bila memang kajian tersebut membutuhkan wadah bahasa
yang panjang untuk menguraikannya. Bertele-telenya sebuah penafsiran adalah
dengan banyak kalimat-kalimat yang tidak berfungsi dengan baik dalam
menguraikan ayat, seperti perulangan penjelasan, atau kiasan-kiasan yang tidak
perlu.
Kedetilan
dan keluasan bahasan tafsir tahlili dalam menguraikan sebuah ayat tentu saja
membutuhkan usaha yang lebih keras dan waktu yang lebih lama bagi seorang
mufassir. Bagi beberapa golongan hal ini juga dianggap sebagai kelemahan
dibandingkan dengan tafsir ijmali yang praktis dan sederhana.
Keistimewaan
metode tafsir tahlili dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Sumber
yang bervariasi.
2. Analisa
mufassir.
3. Kekayaan
arti kosa-kata dalam Alquran.
4. Luas.
5. Detil
Sedangkan beberapa kelemahannya adalah:
Sedangkan beberapa kelemahannya adalah:
1. Peluang
untuk masuknya israiliyyat lebih besar.
2. Peluang
untuk masuknya informasi yang tidak penting lebih besar.
3. Bertele-tele.
4. Membutuhkan
wadah, kata, waktu yang relatif lebih besar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tafsir Tahlili merupakan
suatu metode tafsir Al-Qur’an yang cara penafsirannya dilakukan secara detail
dari setiap ayat-ayat yang ditafsir. Aspek yang dibahas dalam metode
tafsir tahlili, yaitu kosa kata, lafadz, arti yang dikehendaki, dan
sasaran yang dituju dari kandungan ayat yang ditafsir, yaitu unsur ijaz,
balaghah, dan keindahan kalimat. Aspek pembahasan makna dari ayat yang
ditafsir, meliputi hukum fikih, dalil syar’i, norma-norma akhlak, akidah atau
tauhid, perintah, larangan, janji, ancaman, dan lain-lain. Selain itu juga
mengemukakan tentang kaitan ayat-ayat dan relevansinya dengan surat sebelum dan
sesudahnya.
Metode ini
telah dibagi oleh beberapa ulama menjadi beberapa macam yaitu, tafsir ma’tsur,
tafsir ra’i, tafsir Shufi, tafsir Fikih, tafsir Falsafi, tafsir ‘Ilmi, dan
tafsir Adab Al-Ijtima’i. Semua bentuk atau corak dari metode tafsir tahlili di
atas memiliki karakter tersendiri, namun metode penafsirannya sama yaitu dengan
menggunakan metode tafsir tahlili.
Ciri-ciri dari metode tafsir tahlili,
antara lain:
- Mufasir
menafsirkannya ayat per ayat secara berurutan sesuai dengan urutan pada
mushaf ustmani.
- Mufasir
menjelaskan isi kandungan ayat-ayat Al-Qur’an secara konfrehensif dan menyeluruh.
- Tafsir
ini dijelaskan secara panjang lebar.
Ada banyak
contoh dari metode tafsir tahlili ini, baik itu contoh ayat
yang ditafsirkan dengan menggunakan metode tafsir tahlili maupun
contoh kitab, atau mufasir yang menggunakan metode tafsir tahlili dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun contoh dari kitab yang menggunakan
tafsir tahlili, yaitu kitab Jami’ al-Bayan fy Tafsir
al-Qur’an, karangan Imam Ibn Jarir Al-Thabary, Ma’alim al-Tanzil yang
dikenal dengan Al-Tafsir al-Manqul, karangan Imam
Al-Baghawy, dan masih ada banyak lagi contoh-contoh yang lain.
Selain itu
semua, metode tafsif tahlili ini juga memiliki beberapa
keistimewaan dan kelemahan. Keistimewaan dari tafsir ini antara lain, ruang
lingkupnya luas, memuat berbagai ide, metode tahlili adalah
merupakan metode tertua dalam sejarah penafsiran Al-Quran, ayat-ayat al-Qur’an
yang kita lihat sekarang urut-urutannya sesuai dengan mushaf, dan
masih banyak lagi keistimewaan dari tafsir ini. Selain keistimewaan, adapun
kelemahannya, yaitu Al-Qur’an sebagai petunjuk terlihat menjadi parsial,
menghasilkan penafsiran yang subyektif, masuknya pemikiranisra’iliat, dan
lain-lain.
Demikianlah
makalah dari kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
tentunya bagi penulis itu sendiri. Kritikan dan saran akan kami tunggu demi
bertambah baiknya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah
dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran,(Bogor,
Pustaka Litera Antar Nusa), 2006
Nashruddin Ba’idan, Metodologi
Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Glaguh UHIV , 1998.
Nur Kholis, Pengantar
Al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Sukses offset, 2008.
[2]
‘Ali Hasan
Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada,1994 ), hlm. 41-42.
[3]
Nur
Kholis, Pengantar Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Sukses offset,
2008), hlm.144
[4]
Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah
dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1994
), hlm. 48-68
[5] Manna’ Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran(Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa, 2006), hlm.
509
[6]
Manna’ Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran,(Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa,
2006), hlm. 509
[8]
Manna’ Khalil
al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran,(Bogor, Pustaka Litera Antar Nusa,
2006), hlm. 509
0 komentar:
Posting Komentar