Disusun Oleh Safrizal bin Ismi
QAWA’ID
AL-TAFSIRIYAH
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an Al-Karim adalah sumber
tasyri’ pertama bagi umat Muhammad. Kebahagian mereka bergantung pada pemahaman
maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung di
dalamnya. Tujuan pokok diturunkan Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dan
sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. Al-Qur’an juga memuat segala
apa yang dibutuhkan oleh manusia , baik dalam urusan agama maupun dunia. Adapun
untuk lebih memahami Al-Qur’an tersebut diperlukan suatu upaya yang disebut
dengan tafsir [1].
Dalam menafsirkan Al-Qur’an, seorang mufassir dituntut menguasai beberapa
cabang ilmu untuk dapat menafsirkan sesuai kaidah tafsir Al-Qur’an. Ia tidak
memiliki kewenangan untuk menafsirkan,
bila ia tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menjadi seorang mufassir.
Metodologi tafsir yang digunakan pun harus sesuai tuntunan Rasulullah saw, para
sahabat, tabi’in serta para ulama. Dengan kata lain, merekalah yang dijadikan
rujukan utama dalam melakukan penafsiran. Agar fungsi-fungsi Al-Qur’an tersebut
dapat terwujud, maka kita harus menemukan makna-makna firman Allah saat
menafsirkan Al-Qur’an.Tidak semua orang boleh menafsirkan Al-Qur’an. Seseorang
yang hendak menafsirkan Al-Qur’an mestilah terlebih dahulu menguasai ’Ulum Al-Qur’an
(ilmu-ilmu Al-Qur’an). Salah satu ilmu yang harus dikuasai diantaranya adalah
kaidah-kaidah tafsir. Kaidah ini sangat membantu para mufassir dalam memahami
ayat-ayat Al-Qur’an.
B.
Pengertian Kaidah dan Tafsir
Qawa’id al tafsir merupakan kata
majemuk; terdiri dari kata Qawa’id dan kata tafsir. Qawa’id, secara etimologis,
merupakan bentuk jamak dari kata qa’idah atau kaidah dalam bahasa Indonesia.
Kata qa’idah sendiri, secara semantik, berarti asas, dasar, pedoman, atau
prinsip[2].
Secara bahasa tafsir mengikuti
wazan “taf’il”, berasal dari aal kata Al-fasr yang berarti menjelaskan dan mengungkapkan menyingkap dan
menampakkan atau menerangkan makna yang absrak [3].
Sedangkan menurut istilah sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan, tafsir ialah
ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan lafadh-lafadh Al-Qur’an, tentang
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau
tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun
serta hal-hal yang melengkapinya [4].
Secara terminologis terdapat banyak
difinisi yang di ungkap oleh para ahli, seperti Syaikh Az-Zarqani yang
mengungkapkan bahwa tafsir adalah “ suatu ilmu yang membahas perihal Al-Qur’an
dari segi dalalahnya sesuai maksud Allah ta’ala berdasar kadar kemampuan
manusiawi. Begitu pula imam Al-Qurtubi yang mengatakan, tafsir adalah
penjelasan tentang lafadz”. Sedangkan As-Suyuti yang dikutip Al-Dzahabi
mendefinisikan tafsir dengan “ilmu yang membahas maksud Allah ta’ala sesuai
dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan
dengan pemahaman dan penjelasan makna” [5].
C.
Urgensi Kaidah Tafsir
Untuk menekuni bidang tafsir,
seseorang memerlukan beberapa ilmu bantu, diantaranya kaidah-kaidah tafsir.
Kaidah ini sangat membantu para mufassir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Alat bantu lainnya adalah pengetahuan bahasa Arab, karena Al-Qur’an diturunkan
menggunakan bahasa tersebut. Selain itu perlu memahami ilmu ushul fiqh. Dengan
ilmu ini, seorang mufassir akan memperoleh kemudahan dalam menangkap pesan-pesan
Al-Qur’an.
Ibn ‘Abbas, yang dinilai sebagai
seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah,
menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: Pertama, yang dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan
pengetahuan bahasa mereka. Kedua,
yang tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mengetahuinya; Ketiga, yang tidak diketahui kecuali
oleh ulama. Keempat, yang tidak
diketahui kecuali oleh Allah.
Harus digaris bawahi pula bahwa
penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat-ayat Al-Qur’an tidak banyak yang
kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh
generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat
dipertanggung jawabkan otentisitasnya, tetapi juga “karena Nabi saw. Sendiri
tidak semua menafsirkan ayat Al-Qur’an”. Sehingga tidak ada jalan lain kecuali
berusaha untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan kaidah-kaidah disiplin
ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah masing-masing memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu.
M. Quraish shihab mengemukakan
komponen-komponen yang tercakup dalam kaidah-kaidah tafsir sebagai berikut:
1.
Ketentuan-ketentuan
yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Qur’an
2.
Sistematika
yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran
3.
Patokan-patokan
khusus yang membantu dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, baik dari ilmu bantu
seperti bahasa dan ushul fiqih, maupun yang ditarik langsung dari penggunaan
Al-Qur’an.[6]
D.
Macam-macam kaidah Penafsiran Al-Qur’an
Dalam penafsiran
Al-Qur’an ini, sedikitnya ada tiga macam kaidah yang berlaku, yaitu kaidah
dasar, kaidah syar’i dan kaidah kebahasaan. Mengingat keterbatasan penulis
sendiri, maka ketiga kaidah ini hanya dibahas secara singkat saja.
1.
Kaidah
Dasar Penafsiran
Kaidah dasar penafsiran
yang dimaksud dalam tulisan ini mencakup panafsiran Al-Quran; Penafsiran
Al-Qur’an dengan hadits Nabi; Penafsiran Al-Qur’an dangan pendapat shabat;
Penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat tabi’in.
a. Contoh Penafsiran Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an diantaranya ayat 2 dari surat Al-Baqarah tentang orang-orang bertakwa
ditafsirkan oleh ayat 3 dan selanjutnya; beriman kepada yang ghaib, mendirikan
shalat, menafkahkan rizki (zakat/sadakah), beriman kepada kitab-kitab yang
telah diturunkan sebelum Al-Qur’an dan beriman kepada hari kiamat.
b. Penafsiran Al-Qur’an dengan hadits Nabi
Contoh penafsiran
Al-Qur'an dengan Hadits Nabi di antaranya penafsiran Nabi tentang kezhaliman sebagai yang terdapat dalam
QS. Al-An’am ayat 82. Rasulullah telah mengkhususkan kezhaliman dalam ayat
tersebut dengan kemusyrikan. Setelah sebagian sahabat memahami bahwa kata
kemusyriakan itu berbentuk umum, maka beliau menjelaskan dengan meguatkan
kepada mereka bahwa yang dimaksud kezhaliman ini adalah syirik (QS. Luqman:
13).
c. Penafsiran Al-Qur'an dengan Pendapat
Sahabat
Contoh Atsar Sahabat
yaitu penafsiran Ibn Abbas tentang hub dalam
QS. Al-Nisa’ dengan dosa besar ism azhim.
d. Penafsiran Al-Qur'an dengan Pendapat
Tabi’in
Contoh Penafsiran Al-Qur'an
dengan Pendapat Tabi’in adalah penafsiran mereka terhadap QS. Al-Shaffat 65
yang artinya: “(Pohon Zaqqum, makanan
ahli neraka) mayangnya seperti kepala-kepala syetan”. kepala-kepala syetan suatu pengertian yang tidak diketahui oleh
manusia, padahal janji dan ancaman hanya bisa dipahami dengan ungkapan yang
sudah dikenal. Manusia tidak pernah melihat kepala syetan yang dijadikan
peribahasa dalam ayat ini. Maka Ubaidah seorang tabi’in memberikan penjelasan
sanggahan mereka dengan mengatakan Allah berbicara kepada bangsa Arab dengan
ungkapan yang dapat dipahami. Tidaklah Anda mendengarkan perkataan seorang
penyair, Umr al-Qais: “Dapatkah orang
membunuhku, sedangkan Masyrif adalah tempat tinggalku, dan aku mempunyai
pedang-pedang yang tajam (yang karena tajamnya itu tampap kilat-kilat), biru
seperti taring-taring syetan”. Bangsa Arab tidak pernah melihat syetan,
akan tetapi karena syetan itu menakutkan mereka, maka mereka menggetarkan piyak
lawan mereka dengan syetan.
2.
Kaidah
Syar’i
Penafsiaran Al-Qur'an
bisa menggunakan kaidah syar’i, jika sumber pertama sebagai terdapat dalam
kaidah dasar tidak dapat ditemukan melalui ijtihad dan istimbath. Adapun yang
termasuk kaidah syar’i itu antara lain mantuq
dan mafhum, muthlaq dan muqayyad,
mujmal dan mufashal dan sebagainya
yang dikenal oleh ulama ushul.
3.
Kaidah
Kebahasaan
Sebagai halnya kaidah
syar’i, kaidah kebahasaan merupakan alternative untuk dijadikan sumber
penafsiran Al-Qur'an jika ayat Al-Qur'an, Hadits, pendapat Sahabat, pendapat
Tabi’in ditemukan. Kaidah-kaidah yang dimaksud mencakup kaidah ism dan fa’il, kaidah amr dan nahy, kaidah istifham, kaidah dhamir,
kaidah mufrad dan jama’, kaidah mudzakar dan muannats,
kaidah taqdim dan ta’khir, kaidah wujuh dan nazhir, kaidah syarth dan jawab dan kaidah-kaidah kebahasaan lainya.
a. Kaidah Isim dan Fi’il.
Menurut imam al-Suyuthi
isim kata yang menunjukkan tetapnya
keadaan dan kelangsungannya sedangkan fi’il
menunjukkan timbulnya sesuatu yang baru dan terjadinya sesuatu perbuatan.
Contoh kaidah isim;” Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah
orang-orang yang benar (QS.
Al- Hujarat :15).
Iman itu bersifat kontemporer dalam arti harus senantiasa
ada selama keadaan menghendaki, seperti halnya takwa, sabar, dan bersikap
syukur. Dalam ayat ini atas penggunaan isim dengan kata mukminun menggambarkan pelakunya yang terus berkesinambungan
(mempertahankan) iman itu tidak bersifat temporer.
Contoh kaidah fi’il:
“Orang-orang
yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan
terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. QS. Baqarah
274.
Kata
yunfiqun pada ayat diatas menunjukkan
keberadaannya sebagai tindakan yang bisa ada dan bisa juga tidak ada, sebagai
sesuatu yang temporal. Manakala orang melakukan pekerjaan itu ia memperoleh
pahala dan jika tidak melakukannya maka pahala tidak aka nada.
b.
Kaidah
Amr dan Hahy
Contoh katagori amr
yang dipakai ulama:
1.
Amr menunjukkan wajib (al-Wujub) seperti
“ … dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat…(QS.
Al-Nisa’77).
2. Amr menunjukkan sunnah seperti “ Dan
orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu
miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan
pada mereka, dan berikanlah kepada
mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan
janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan
duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu”
(QS. Al-Nur 33).
3. Amr tidak menghendaki pengulangan seperti
melaksanakan ibadah haji dan umrah diwjibkan hanya stau kali saja: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah
karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit),
maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur
kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di
antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka
wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban.
Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah
sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah
didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu),
maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila
kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di
sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya
QS. Al-Baqarah 196.
4. Amr menghendaki pengulangan seperti
firman Allah: “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu
dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu
bersyukur” (QS. Al-Maidah 6).
5. Amr
tidak menghendaki kesegeraan seperti : “yaitu)
dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang
lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”QS.
Al-Baqarah 184).
6. Amr menghendaki kesegeraan seperti: “ Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya
(sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat)
kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian
(pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS.
Al-Baqarah 148).
7. Amr yang datang setelah larangan
bermakna mubah seperti : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan
melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-nya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang
yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari
Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah
sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi
kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”( QS. Al-Maidah 2).
Contoh katagori nahy yang dipakai ulama:
1. Larangan
bermakna haram (at-Tahrim) seperti
dalam firman Allah QS. AL-Isra’ ayat 32.
2. Larangan
bermakna makruh (al-karahah), seperti
dalam firman Allah QS. Al-Maidah ayat 87.
3. Larangan
mengandung perintah melakukan yang sebaliknya (al-nahy an al-syai’ amr ‘an dhiddihi) seperti dalam firman Allah
QS. Al-Baqarah ayat 188.
4. Larangan
berbentuk doa (al-dua), seperti dalam
firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 286.
5. Larangan
bermakna bimbingan /nasehat (al-irsyad),
seperti dalam firman Allah QS. Al-Maidah ayat 101.
6. Larangan
menegaskan keputusan asaan (al-Iyas),
seperti dalam firman Allah QS. Al-Tahrim ayat 7
7. Larangan
untuk menetramkan, seperti dalam firman Allah QS. Al-Taubah ayat 40.
8. Dan
Larangan yang berarti penhinaan (al-tahqir),
seperti dalam firman Allah QS. Thaha ayat 131.
c. Kaidah Istifham
Maksud Istifham adalah
mencari pemahaman tentang sesuatu yang tidak diketahui. Contoh istifham adalah;
hamzah (Al-Maidah ayat 116), hal (al-Insan ayat 1), ma
(al-Mudatsir ayat 42-43), Man
(al-Baqarah ayat 243), Mata
(al-Baqarah ayat 214), Ayyana (al-Qiyamah
ayat 6), Kayfa (ali Imran ayat 101), Anna ( Maryam ayat 8), Kam (al-Baqarah ayat 259), Ayna (al-Takwir ayat 26), Ayy (al-An’am ayat 8).
d. Kaidah Nakirah dan Ma’rifah
Isim
nakirah adalah isim yang menunjukan kata benda tak tentu contoh kata rajulun dalam surat al-Qashas ayat 20
menunjukkan seorang laki-laki tunggal. Sedangkan ma’rifah adalah menunjukkan kata benda tertentu seperti nama diri
(‘alamiyah) yang berfungsi
menghadirkan pemilik nama itu atau nama yang khas seperti dalam al- Ikhsan ayat
1-2.[7]
E. Korelasi qawaid tafsir dengan ushul Fiqih
Kaidah-kaidah tafsir melalui ushul
fiqih dijadikan pedoman dalam menerapkan hukum syari’at islam mengenai
perbuatan manusia,yang bersumber dari dalil-dalil agama yang rinci dan jelas.
Adapun tujuan ushul fiqih adalah menerapkan kaidah-kaidah dan pembahasannya
terhadap dalil-dalil terperinci untuk mendatangkan hukum syari’at islam yang
diambil dari dalil-dalil tersebut. Diantara kaidah tafsir yang berkaitan dengan
ushul fiqih adalah sebagai berikut:
1.
Sebagai
patokan memahami ayat adalah berdasarkan redaksinya yang bersifat umum bukan
khusus terhadap kasus-kasus yang menjadi sebab turunnya ayat. Asbabun nuzul
dipandang sebagai salah satu alat bantu berupa contoh menjelaskan makna
redaksi-redaksi ayat-ayat Al-Qur’an.
2.
Sesuatu
yang mudah dilarang jika menimmbulkan yang haram atau mengabaikan yang wajib.
3.
Perintah
atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya, dan larangan atas sesuatu
berati perintah atas kebalikannya [8].
Ada beberapa kaidah tafsir yang
berkaitan langsung dengan kaidah ushulul fiqih,yaitu:
1.
Sesuatu
yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram atau mengabaikan yang wajib. [9]
Maksudnya adalah jika ada suatu tindakan yang semula mubah(boleh) akan menjadi
haram(dilarang) jika menimbulkan sesuatu yang haram atau mengakibatkan hal-hal
yang wajib terabaikan.Contohnya sebagai berikut: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at,
Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.”(QS.Al-Jumu’ah:9).
Melakukan
jual-beli pada dasarnya dibolehkan, tetapi jika perbuatan tersebut
dikhawatirkan menimbulkan pengabaian yang wajib seperti jual-beli ketika adzan
jum’at, maka perbuatan tersebut menjadi dilarang sebagaimana disebutkan dalam
terjemah ayat di atas.
2.
Memerintahkan
sesuatu berarti melarang kebalikannya, menegaskan sesuatu berarti melarang
kebalikannya.[10]
Ayat-ayat Al-Qur'an yang berisi perintah
melakukan sesuatu perbuatan, berarti ayat tersebut sekaligus melarang sesuatu
yang sebaliknya. Jika suatu ayat mengandung larangan terhadap suatu perbuatan,
berarti ayat tersebut pun memerintahkan melakukan hal yang sebaliknya. Seperti
dalam ayat Al-Qur’an berikut: “Dan
bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara
yang baik”.(QS.Al-Muzammil:10).
Ayat
diatas menunjukkan makna adanya perintah untuk bersabar dan menjauhi
orang-orang yang mendustakan kebenaran dengan cara yang baik. Ini berarti
melarang orang beriman untuk melakukan tindakan yang mencerminkan
ketidaksabaran.
3.
Mendahulukan
yang paling bermanfaat dan paling kecil mudharatnya. Ayat-ayat dalam Al-Qur’an
beberapa mengandung pengarahan(irsyad)
dalam menghadapi berbagai masalah.[11]
Ini berarti, kita sebagai umat islam harus mengutamakan aspek kemaslahatan,dan
yang paling kecil kerugiannya(mudharat). Sebagaimana dalam ayat sebagai
berikut: “Mereka bertanya kepadamu
tentang khamar dan judi,maka katakanlah:”Pada keduanya terdapat dosa yang besar
dan beberapa manfaat bagi manusia,tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Maka
katakanlah,”Yang lebih dari keperluan”.Demikianlah Allah SWT menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.(QS.Al-Baqarah:129).
Ayat
diatas menegaskan khamar (minuman
keras) dan judi mengandung kegunaan bagi manusia tertentu, tetapi bahaya yang
ditimbulkannya lebih besar dibanding dengan manfaat yang dihasilkannya. Maka
dari itu minuman keras dan judi dilrang di dalam Islam.
F.
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat
dilihat betapa pentingnya kaidah-kaidah penafsiran di dalam Al-Qur'an. Ini
dikarenakan perkembangan penafsiran yang begitu pesat dan bertambahnya ilmu
bantu yang dapat digunakan untuk menafsirkan Al-Qur'an. Sehingga kaidah-kaidah
penafsiran sebagai acuan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah hal yang sangat
penting, agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami makna-makna yang
terkandung di dalam Al-Qur'an.
Korelasi kaidah penafsiran dengan
bahasa dan ushul fiqih mempunyai keterkaitan antar keduanya, Ushulul fiqh dalam
Al-Qur’an bersentuhan dengan dalil-dalil syar’i (ayat-ayat al Quran) karena ia
merupakkan objek kajiannya, tetapi ushulul fiqh juga tidak bisa terlepas dari
kaidah-kaidah kebahasaan Al-Qur’an.
Dari pembahasan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa dalam memahami al-Qur’an tidak cukup hanya menggunakan
pendekatan bahasa, karena terkait dengan pesan-pesan nya yang tidak selalu
tersurat tetapi juga tersirat yang membutuhkan ilmu-ilmu yang mendukung. Dalam
menafsiri al-Qur’an pun harus menggunakan kaidah-kaidah atau rumus yang telah
ada, sehingga meminimalisasi penafsiran yang seenaknya. Keterkaitan antara
kaidah penafsiran dengan bahasa arab begitu erat sebab al-Qur’an menggunakan
bahasa Arab. Begitu pula keterkaitannya dengan ushul fiqh karena penafsirannya
berhubungan dengan pengambilan hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
al-Qattan,
Manna Khalil. 2011. Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Chirzin, Muhammad. 1998. Al Quran
dan Ulumul Quran . Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Dahlan, Abd. Rahman.1997.
Kaidah-Kaidah Penafsiran Al Quran . Bandung: Mizan.
Paman, Supiana-M. 2002. Ulumul
Qur’an. Bandung : Pustaka Islamika.
Penafsiran Al-Qur’an, hlm.117
Shihab,
M. Quraish. 2010. Membumikan al-Qur’an
jilid 2. Jakarta : Lentera Hati
[1] Manna
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2011), hlm. 455
[2]
Supiana-M. Paman, Ulumul Qur’an ( Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm. 273.
[3] Manna
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2011), hlm. 456.
[4] Ibid.
Hlm. 456
[5]
http://alimtiaz.wordpress.com/2012/08/04/532/12:09
[6] M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an jilid 2 (Jakarta : Lentera Hati, 2010),
hlm. 640
[7]
Supiana-M. Paman, Ulumul Qur’an ( Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm.
278-292.
[8] M.
Quraish shihab, Membumikan al-qur’an (Bandung : Mizan, 1999), hlm. 642-644
[9] Abd.
Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Penafsiran Al Quran, Op. Cit, hlm. 105
[10]
Muhammad Chirzin, Al Quran dan Ulumul Quran (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 1998), hlm.145
[11]
Abd.Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur’an, hlm.117
0 komentar:
Posting Komentar