Selasa, 03 Februari 2015



Disusun Oleh Safrizal bin Ismi

QAWA’ID AL-TAFSIRIYAH

A.    Pendahuluan
Al-Qur’an Al-Karim adalah sumber tasyri’ pertama bagi umat Muhammad. Kebahagian mereka bergantung pada pemahaman maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung di dalamnya. Tujuan pokok diturunkan Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dan sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. Al-Qur’an juga memuat segala apa yang dibutuhkan oleh manusia , baik dalam urusan agama maupun dunia. Adapun untuk lebih memahami Al-Qur’an tersebut diperlukan suatu upaya yang disebut dengan tafsir [1].
Dalam menafsirkan Al-Qur’an,  seorang mufassir dituntut menguasai beberapa cabang ilmu untuk dapat menafsirkan sesuai kaidah tafsir Al-Qur’an. Ia tidak memiliki  kewenangan untuk menafsirkan, bila ia tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menjadi seorang mufassir. Metodologi tafsir yang digunakan pun harus sesuai tuntunan Rasulullah saw, para sahabat, tabi’in serta para ulama. Dengan kata lain, merekalah yang dijadikan rujukan utama dalam melakukan penafsiran. Agar fungsi-fungsi Al-Qur’an tersebut dapat terwujud, maka kita harus menemukan makna-makna firman Allah saat menafsirkan Al-Qur’an.Tidak semua orang boleh menafsirkan Al-Qur’an. Seseorang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an mestilah terlebih dahulu menguasai ’Ulum Al-Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an). Salah satu ilmu yang harus dikuasai diantaranya adalah kaidah-kaidah tafsir. Kaidah ini sangat membantu para mufassir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
B.   Pengertian Kaidah dan Tafsir
Qawa’id al tafsir merupakan kata majemuk; terdiri dari kata Qawa’id dan kata tafsir. Qawa’id, secara etimologis, merupakan bentuk jamak dari kata qa’idah atau kaidah dalam bahasa Indonesia. Kata qa’idah sendiri, secara semantik, berarti asas, dasar, pedoman, atau prinsip[2].
Secara bahasa tafsir mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari aal kata Al-fasr yang berarti  menjelaskan dan mengungkapkan menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang absrak [3]. Sedangkan menurut istilah sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan, tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan lafadh-lafadh Al-Qur’an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun serta hal-hal yang melengkapinya [4].
Secara terminologis terdapat banyak difinisi yang di ungkap oleh para ahli, seperti Syaikh Az-Zarqani yang mengungkapkan bahwa tafsir adalah “ suatu ilmu yang membahas perihal Al-Qur’an dari segi dalalahnya sesuai maksud Allah ta’ala berdasar kadar kemampuan manusiawi. Begitu pula imam Al-Qurtubi yang mengatakan, tafsir adalah penjelasan tentang lafadz”. Sedangkan As-Suyuti yang dikutip Al-Dzahabi mendefinisikan tafsir dengan “ilmu yang membahas maksud Allah ta’ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna” [5].

C.   Urgensi Kaidah Tafsir                                                                  
Untuk menekuni bidang tafsir, seseorang memerlukan beberapa ilmu bantu, diantaranya kaidah-kaidah tafsir. Kaidah ini sangat membantu para mufassir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Alat bantu lainnya adalah pengetahuan bahasa Arab, karena Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa tersebut. Selain itu perlu memahami ilmu ushul fiqh. Dengan ilmu ini, seorang mufassir akan memperoleh kemudahan dalam menangkap pesan-pesan Al-Qur’an.
Ibn ‘Abbas, yang dinilai sebagai seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: Pertama, yang dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka. Kedua, yang tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak mengetahuinya; Ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama. Keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. 
Harus digaris bawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat-ayat Al-Qur’an tidak banyak yang kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi-generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat dipertanggung jawabkan otentisitasnya, tetapi juga “karena Nabi saw. Sendiri tidak semua menafsirkan ayat Al-Qur’an”. Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan kaidah-kaidah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu.
M. Quraish shihab mengemukakan komponen-komponen yang tercakup dalam kaidah-kaidah tafsir sebagai berikut:
1.                   Ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam menafsirkan Al-Qur’an
2.                   Sistematika yang hendaknya ditempuh dalam menguraikan penafsiran
3.                   Patokan-patokan khusus yang membantu dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, baik dari ilmu bantu seperti bahasa dan ushul fiqih, maupun yang ditarik langsung dari penggunaan Al-Qur’an.[6]              
                                                                                                                                                       
D.   Macam-macam kaidah Penafsiran Al-Qur’an
Dalam penafsiran Al-Qur’an ini, sedikitnya ada tiga macam kaidah yang berlaku, yaitu kaidah dasar, kaidah syar’i dan kaidah kebahasaan. Mengingat keterbatasan penulis sendiri, maka ketiga kaidah ini hanya dibahas secara singkat saja.
1.                Kaidah Dasar Penafsiran
Kaidah dasar penafsiran yang dimaksud dalam tulisan ini mencakup panafsiran Al-Quran; Penafsiran Al-Qur’an dengan hadits Nabi; Penafsiran Al-Qur’an dangan pendapat shabat; Penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat tabi’in.
a.    Contoh Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an diantaranya ayat 2 dari surat Al-Baqarah tentang orang-orang bertakwa ditafsirkan oleh ayat 3 dan selanjutnya; beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, menafkahkan rizki (zakat/sadakah), beriman kepada kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum Al-Qur’an dan beriman kepada hari kiamat.
b.    Penafsiran Al-Qur’an dengan hadits Nabi
Contoh penafsiran Al-Qur'an dengan Hadits Nabi di antaranya penafsiran Nabi tentang kezhaliman sebagai yang terdapat dalam QS. Al-An’am ayat 82. Rasulullah telah mengkhususkan kezhaliman dalam ayat tersebut dengan kemusyrikan. Setelah sebagian sahabat memahami bahwa kata kemusyriakan itu berbentuk umum, maka beliau menjelaskan dengan meguatkan kepada mereka bahwa yang dimaksud kezhaliman ini adalah syirik (QS. Luqman: 13).
c.     Penafsiran Al-Qur'an dengan Pendapat Sahabat
Contoh Atsar Sahabat yaitu penafsiran Ibn Abbas tentang hub dalam QS. Al-Nisa’ dengan dosa besar ism azhim.
d.    Penafsiran Al-Qur'an dengan Pendapat Tabi’in
Contoh Penafsiran Al-Qur'an dengan Pendapat Tabi’in adalah penafsiran mereka terhadap QS. Al-Shaffat 65 yang artinya: “(Pohon Zaqqum, makanan ahli neraka) mayangnya seperti kepala-kepala syetan”. kepala-kepala syetan suatu pengertian yang tidak diketahui oleh manusia, padahal janji dan ancaman hanya bisa dipahami dengan ungkapan yang sudah dikenal. Manusia tidak pernah melihat kepala syetan yang dijadikan peribahasa dalam ayat ini. Maka Ubaidah seorang tabi’in memberikan penjelasan sanggahan mereka dengan mengatakan Allah berbicara kepada bangsa Arab dengan ungkapan yang dapat dipahami. Tidaklah Anda mendengarkan perkataan seorang penyair, Umr al-Qais: “Dapatkah orang membunuhku, sedangkan Masyrif adalah tempat tinggalku, dan aku mempunyai pedang-pedang yang tajam (yang karena tajamnya itu tampap kilat-kilat), biru seperti taring-taring syetan”. Bangsa Arab tidak pernah melihat syetan, akan tetapi karena syetan itu menakutkan mereka, maka mereka menggetarkan piyak lawan mereka dengan syetan.
2.                Kaidah Syar’i
Penafsiaran Al-Qur'an bisa menggunakan kaidah syar’i, jika sumber pertama sebagai terdapat dalam kaidah dasar tidak dapat ditemukan melalui ijtihad dan istimbath. Adapun yang termasuk kaidah syar’i itu antara lain mantuq dan mafhum, muthlaq dan muqayyad, mujmal dan mufashal dan sebagainya yang dikenal oleh ulama ushul.
3.                Kaidah Kebahasaan
Sebagai halnya kaidah syar’i, kaidah kebahasaan merupakan alternative untuk dijadikan sumber penafsiran Al-Qur'an jika ayat Al-Qur'an, Hadits, pendapat Sahabat, pendapat Tabi’in ditemukan. Kaidah-kaidah yang dimaksud mencakup kaidah ism dan fa’il, kaidah amr dan nahy, kaidah istifham, kaidah dhamir, kaidah mufrad dan jama’, kaidah mudzakar dan muannats, kaidah taqdim dan ta’khir, kaidah wujuh dan nazhir, kaidah syarth dan jawab dan kaidah-kaidah kebahasaan lainya.


a.     Kaidah Isim dan Fi’il.
Menurut imam al-Suyuthi isim kata yang menunjukkan tetapnya keadaan dan kelangsungannya sedangkan fi’il menunjukkan timbulnya sesuatu yang baru dan terjadinya sesuatu perbuatan. Contoh kaidah isim;” Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar (QS. Al- Hujarat :15).
Iman itu bersifat kontemporer dalam arti harus senantiasa ada selama keadaan menghendaki, seperti halnya takwa, sabar, dan bersikap syukur. Dalam ayat ini atas penggunaan isim dengan kata mukminun menggambarkan pelakunya yang terus berkesinambungan (mempertahankan) iman itu tidak bersifat temporer.
Contoh kaidah fi’il: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. QS. Baqarah 274.
Kata yunfiqun pada ayat diatas menunjukkan keberadaannya sebagai tindakan yang bisa ada dan bisa juga tidak ada, sebagai sesuatu yang temporal. Manakala orang melakukan pekerjaan itu ia memperoleh pahala dan jika tidak melakukannya maka pahala tidak aka nada.

b.     Kaidah Amr dan Hahy
Contoh katagori amr yang dipakai ulama:
1.     Amr menunjukkan wajib (al-Wujub) seperti “ … dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat…(QS. Al-Nisa’77).
2.     Amr menunjukkan sunnah seperti “  Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu” (QS. Al-Nur 33).
3.     Amr tidak menghendaki pengulangan seperti melaksanakan ibadah haji dan umrah diwjibkan hanya stau kali saja: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya QS. Al-Baqarah 196.
4.     Amr menghendaki pengulangan seperti firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Maidah 6).
5.     Amr tidak menghendaki kesegeraan seperti : “yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”QS. Al-Baqarah 184).
6.     Amr menghendaki kesegeraan seperti: “ Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Baqarah 148).
7.     Amr yang datang setelah larangan bermakna mubah seperti :   Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-nya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”( QS. Al-Maidah 2).
Contoh katagori nahy yang dipakai ulama:
1.     Larangan bermakna haram (at-Tahrim) seperti dalam firman Allah QS. AL-Isra’ ayat 32.
2.     Larangan bermakna makruh (al-karahah), seperti dalam firman Allah QS. Al-Maidah ayat 87.
3.     Larangan mengandung perintah melakukan yang sebaliknya (al-nahy an al-syai’ amr ‘an dhiddihi) seperti dalam firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 188.
4.     Larangan berbentuk doa (al-dua), seperti dalam firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 286.
5.     Larangan bermakna bimbingan /nasehat (al-irsyad), seperti dalam firman Allah QS. Al-Maidah ayat 101.
6.     Larangan menegaskan keputusan asaan (al-Iyas), seperti dalam firman Allah QS. Al-Tahrim ayat 7
7.     Larangan untuk menetramkan, seperti dalam firman Allah QS. Al-Taubah ayat 40.
8.     Dan Larangan yang berarti penhinaan (al-tahqir), seperti dalam firman Allah QS. Thaha ayat 131.

c.      Kaidah Istifham
Maksud Istifham adalah mencari pemahaman tentang sesuatu yang tidak diketahui. Contoh istifham adalah; hamzah (Al-Maidah  ayat 116), hal (al-Insan ayat 1), ma (al-Mudatsir ayat 42-43), Man (al-Baqarah ayat 243), Mata (al-Baqarah ayat 214), Ayyana (al-Qiyamah ayat 6), Kayfa (ali Imran ayat 101), Anna ( Maryam ayat 8), Kam (al-Baqarah ayat 259), Ayna (al-Takwir ayat 26), Ayy (al-An’am ayat 8).

d.     Kaidah Nakirah dan Ma’rifah
Isim nakirah adalah isim yang menunjukan kata benda tak tentu contoh kata rajulun dalam surat al-Qashas ayat 20 menunjukkan seorang laki-laki tunggal. Sedangkan ma’rifah adalah menunjukkan kata benda tertentu seperti nama diri (‘alamiyah) yang berfungsi menghadirkan pemilik nama itu atau nama yang khas seperti dalam al- Ikhsan ayat 1-2.[7]

E.    Korelasi qawaid tafsir dengan ushul Fiqih
Kaidah-kaidah tafsir melalui ushul fiqih dijadikan pedoman dalam menerapkan hukum syari’at islam mengenai perbuatan manusia,yang bersumber dari dalil-dalil agama yang rinci dan jelas. Adapun tujuan ushul fiqih adalah menerapkan kaidah-kaidah dan pembahasannya terhadap dalil-dalil terperinci untuk mendatangkan hukum syari’at islam yang diambil dari dalil-dalil tersebut. Diantara kaidah tafsir yang berkaitan dengan ushul fiqih adalah sebagai berikut:
1.                    Sebagai patokan memahami ayat adalah berdasarkan redaksinya yang bersifat umum bukan khusus terhadap kasus-kasus yang menjadi sebab turunnya ayat. Asbabun nuzul dipandang sebagai salah satu alat bantu berupa contoh menjelaskan makna redaksi-redaksi ayat-ayat Al-Qur’an.
2.                    Sesuatu yang mudah dilarang jika menimmbulkan yang haram atau mengabaikan yang wajib.
3.                    Perintah atas sesuatu berarti larangan atas kebalikannya, dan larangan atas sesuatu berati perintah atas kebalikannya [8].

Ada beberapa kaidah tafsir yang berkaitan langsung dengan kaidah ushulul fiqih,yaitu:
1.                   Sesuatu yang mubah dilarang jika menimbulkan yang haram atau mengabaikan yang wajib. [9] Maksudnya adalah jika ada suatu tindakan yang semula mubah(boleh) akan menjadi haram(dilarang) jika menimbulkan sesuatu yang haram atau mengakibatkan hal-hal yang wajib terabaikan.Contohnya sebagai berikut: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.”(QS.Al-Jumu’ah:9).
Melakukan jual-beli pada dasarnya dibolehkan, tetapi jika perbuatan tersebut dikhawatirkan menimbulkan pengabaian yang wajib seperti jual-beli ketika adzan jum’at, maka perbuatan tersebut menjadi dilarang sebagaimana disebutkan dalam terjemah ayat di atas.
2.                   Memerintahkan sesuatu berarti melarang kebalikannya, menegaskan sesuatu berarti melarang kebalikannya.[10] Ayat-ayat Al-Qur'an  yang berisi perintah melakukan sesuatu perbuatan, berarti ayat tersebut sekaligus melarang sesuatu yang sebaliknya. Jika suatu ayat mengandung larangan terhadap suatu perbuatan, berarti ayat tersebut pun memerintahkan melakukan hal yang sebaliknya. Seperti dalam ayat Al-Qur’an berikut: “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik”.(QS.Al-Muzammil:10).
Ayat diatas menunjukkan makna adanya perintah untuk bersabar dan menjauhi orang-orang yang mendustakan kebenaran dengan cara yang baik. Ini berarti melarang orang beriman untuk melakukan tindakan yang mencerminkan ketidaksabaran.
3.                   Mendahulukan yang paling bermanfaat dan paling kecil mudharatnya. Ayat-ayat dalam Al-Qur’an beberapa mengandung pengarahan(irsyad) dalam menghadapi berbagai masalah.[11] Ini berarti, kita sebagai umat islam harus mengutamakan aspek kemaslahatan,dan yang paling kecil kerugiannya(mudharat). Sebagaimana dalam ayat sebagai berikut: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi,maka katakanlah:”Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Maka katakanlah,”Yang lebih dari keperluan”.Demikianlah Allah SWT menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.(QS.Al-Baqarah:129).
Ayat diatas menegaskan khamar (minuman keras) dan judi mengandung kegunaan bagi manusia tertentu, tetapi bahaya yang ditimbulkannya lebih besar dibanding dengan manfaat yang dihasilkannya. Maka dari itu minuman keras dan judi dilrang di dalam Islam.

F.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat dilihat betapa pentingnya kaidah-kaidah penafsiran di dalam Al-Qur'an. Ini dikarenakan perkembangan penafsiran yang begitu pesat dan bertambahnya ilmu bantu yang dapat digunakan untuk menafsirkan Al-Qur'an. Sehingga kaidah-kaidah penafsiran sebagai acuan dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah hal yang sangat penting, agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami makna-makna yang terkandung di dalam Al-Qur'an.
Korelasi kaidah penafsiran dengan bahasa dan ushul fiqih mempunyai keterkaitan antar keduanya, Ushulul fiqh dalam Al-Qur’an bersentuhan dengan dalil-dalil syar’i (ayat-ayat al Quran) karena ia merupakkan objek kajiannya, tetapi ushulul fiqh juga tidak bisa terlepas dari kaidah-kaidah kebahasaan Al-Qur’an.
 Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam memahami al-Qur’an tidak cukup hanya menggunakan pendekatan bahasa, karena terkait dengan pesan-pesan nya yang tidak selalu tersurat tetapi juga tersirat yang membutuhkan ilmu-ilmu yang mendukung. Dalam menafsiri al-Qur’an pun harus menggunakan kaidah-kaidah atau rumus yang telah ada, sehingga meminimalisasi penafsiran yang seenaknya. Keterkaitan antara kaidah penafsiran dengan bahasa arab begitu erat sebab al-Qur’an menggunakan bahasa Arab. Begitu pula keterkaitannya dengan ushul fiqh karena penafsirannya berhubungan dengan pengambilan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

al-Qattan, Manna Khalil. 2011. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Chirzin, Muhammad. 1998. Al Quran dan Ulumul Quran . Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Dahlan, Abd. Rahman.1997. Kaidah-Kaidah Penafsiran Al Quran . Bandung: Mizan.
Paman, Supiana-M. 2002. Ulumul Qur’an.  Bandung : Pustaka Islamika.
Penafsiran Al-Qur’an, hlm.117
Shihab, M. Quraish. 2010. Membumikan al-Qur’an jilid 2. Jakarta : Lentera Hati


[1] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011),  hlm. 455
[2] Supiana-M. Paman, Ulumul Qur’an ( Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm. 273.
[3] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011),  hlm. 456.
[4] Ibid. Hlm. 456
[5] http://alimtiaz.wordpress.com/2012/08/04/532/12:09
[6] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an jilid 2 (Jakarta : Lentera Hati, 2010), hlm. 640
[7] Supiana-M. Paman, Ulumul Qur’an ( Bandung : Pustaka Islamika, 2002), hlm. 278-292.
[8] M. Quraish shihab, Membumikan al-qur’an (Bandung : Mizan, 1999), hlm. 642-644
[9] Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Penafsiran Al Quran, Op. Cit, hlm. 105
[10] Muhammad Chirzin, Al Quran dan Ulumul Quran (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998),  hlm.145

[11] Abd.Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur’an, hlm.117

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!