Selasa, 03 Februari 2015



Disusun Oleh : Rajes


BAB I
PENDAHULUAN
            Al-Quran adalah merupakan sumber tasyri’ pertama bagi umat Muhammad. Kebahagian mereka tergantung pada pemahaman maknanya, pengeetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung di dalamnya. Tujuan pokok diturunkan al-quran adalah petunjuk bagi manusia dan sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. Al-Quran juga memuat segala apa yang dibutuhkan manusia, baik dalam urusan agama maupun dunia. Adapun untuk lebih memahami al-quran tersebut diperlukan suatu upaya yang disebut dengan tafsir.[1]
            Dalam menafsirkan alquran, seorang  mufafsir dituntut menguasai beberapa cabang ilmu untuk dapat menafsirkan sesuai kaidah tafsir alquran. Ia tidak memiliki kewenangan untuk menafsirkan, bila ia tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menjadi seorang mufassir. Metodologi tafsir yang digunakan pun harus sesuai tuntunan Rasulullah saw, para sahabat, tabi’in serta para ulama. Dengan kata lain, merekalah yang dijadikan rujukan utama dalam melakukan penafsiran. Agar fungsi-fungsi Al-quran tersebut dapat terwujud, maka kita harus menemukan makna-makna firman Allah saat menafsirkan Al-Quran. Tidak semua orang boleh menafsirkan Al-Quran. Seeoarang yang hendak menafsirkan Al-Quran mestilah terlebih dahulu menguasai ‘Ulumul Al-Quran (ilmu-ilmu Al-Quran). Salah satu ilmu yang harus dikuasai antaranya adalah kaidah-kai dah tafsir. Kaidah ini sangat membantu para mufassir dalam memahami ayat-ayat Al-Quran.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir Muqarin
Secara epistimologis kata muqarin adalah merupakan bentuk isim al-fa’il dari kata qarana, maknannya adalah membandingkan antara dua hal. Jadi dapat dikatakan tafsir muqarin adalah tafsir perbandingan. Sedangkan secara terminologis adalah menafsirkan sekelompok ayat Al Qur’an atau suatu surat tertentu dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat, ayat dengan hadits, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.[2]
Dari berbagai literarur yang ada, pengertian metode Muqarin dapat dirangkumkan dalam beberapa pemahaman:
1.      Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama.
2.      Membandingkan ayat Al Qur’an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat adanya pertentangan.
3.      Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al Qur’an.
Tafsir muqarin sendiri adalah suatu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara membandingkan ayat Al-Qur’an yang satu dengan yang lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda, dan atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah yang sama dan atau membandingkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits-hadits Nabi yang tampak bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran Al-Qur’an kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecendrungan masing-masing.[3] Adapun pengertian at-tafsir al-muqarin menurut pakar adalah :
Menurut pendapat Prof. Dr. H. M. Ridlwan Nasir, MA Tafsir muqarin dapat juga dengan membandingkan satu kitab tafsir dengan kitab tafsir lainnya yakni mengkaji biografi mufassir yang diperbandingkan dan sistematika serta metode yang ditempuhnya berikut kecendrungan mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Sesuai dengan namanya at-tafsir al-muqarin adalah tafsir yang menggunakan metode perbandingan (komparatif), Al-Farmawi memberikan defenisi tentang at-tafsir al-muqarin yaitu, menjelaskan ayat-ayat alquran berdasarkan pada apa yang telah dituliskan oleh sejumlah mufassir.
Muhammad Amin Suma memberikan defenisi at-tafsir al-muqarin ialah tafsir yang dilakukan dengan cara membanding-bandingkan ayat-ayat alquran yang memiliki redaksi berbeda padahal isi kandungannya sama, atau antara ayat-ayat yang memiliki redaksi yang mirip padahal isi kandungannya berbeda.
Dari defenisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa at-tafsir al-muqarin membahas tentang penjelasan dan perbandingan antara ayat-ayat yang mempunyai redaksi berbeda tetapi mempunyai maksud yang sama, atau ayat-ayat yang mempunyai redaksi yang mirip tapi maksudnya berbeda. Penafsiran ini dapat juga dikategorikan dengan penafsiran bi al-ma’sur dan penafsiran bi ar-ra’y.[4]
B.     Tujuan, Faedah dan Hikmah Mempelajari Tafsir Muqarin
1.      Dapat mengetahui berbagai penafsiran
2.      Membuat mufasir lebih berhati-hati
3.      Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas, bila dibandingkan dengan metode lain sebagaimana yang terlihat dalam contoh-contoh yang telah dikemukakan, dapat diketahui bahwa penafsiran dengan metode ini sangatlah luas wawasannya karena cara penafsirannya ditinjau dari segala aspek disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian para mufassirnya.
4.      Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dengan pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif
5.      Tafsir dengan metode al-muqaranah ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengatahui berbagai pendapat tentang suatu ayat.
6.      Mufassir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan Hadis-hadis serta pendapat-pendapat para mufassir lain.
C. Objek Kjian Utama Tafsir AL-Muqarin
            Langkah-langkah penafsiran dengan mengunakan metode ini tampaknya tidak jauh berbeda dengan metode lainnnya, yakni bermuara pada prinsip umum penafsiran al-quran, antara lain orang yang akan menafsirkan al-quran, baik melalui pendekatan ra’yu maupun yang lainnya, terlebih dahulu membekali dirinya dengan dengan seperangkat ilmu yang mampu menghubungkan dirinya dengan objek yang akan dilakukannya sehingga mampu megungkapkan pengertian al-quran dan rahasia-rahasia yang terkandung didalamnya.
          Oleh karena itu, objek kajian tafsir dengan mengunakan metode muqarin mengacu pada definisi muqarin itu sendiri dengan spesifiknya, antara lain berikut ini.
1.         Membandingkan penafsiran, ayat dengan ayat, dari segi susunan redaksinya, sehingga diketahui ayat-ayat yang diperbandingkan itu redaksinya sama, tetapi kasusnya berbeda, atau susunan redaksinya berbeda dan kasusnya berbeda pula, seperti ayat:
إِنَّ الإِنْسَانَ لَيَطْغَى
Diperbandingkan redaksinya dan kasusnya dengan:
إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى   
          Ayat pertama berkenaan dengan kasus abu jahal, sedangkan ayat kedua berkenaan dengan kasus firaun.
            Walaupun keduanya adalah manusia pembangkang terhadap risalah kenabian yang diturunkan allah swt., dari segi redaksinya, kedua ayat tersebut berbeda. Yang pertama mengunakan lam ta’kid (kata penguat), sedangkan yang kedua tidak ada kata penguat. Hal ini menunjukkan pengertian bahwa pembangkangan yang dilakukan oleh abu jahal kepada nabi Muhammad saw dengan risalah yang dibawanya itu lebih parah, bila dibandingkan dengan dengan pembangkangan yang dilakukan oleh firaun kepada nabi musa a.s. hal ini setidaknya jika dilihat dari redaksi masing-masing dari kedua ayat yang diperbandingkan itu. Sekalipun demikian, pembangkangan yang dilakukan oleh keduanya sama sekali tidak dapat dibenarkan oleh agama .[5]
          Contoh lain ayat yang memiliki kemiripan redaksi padahal kasus dan tujuannya berbeda adalah ketika menafsirkan dua ayat di bawah ini:
وجاء رجل من أقصى المدينة يسعى قال يا موسى إنّ المللأ يأتمرون بك ليقتلوك فاخرج إني لك من الناصحين
            Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata:”Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) karena sesungguhnya aku termasuk orang orang member nasehat kepadamu” (Al-Qashash 20)
و جاء من أقصى المدينة رجل يسعى قال يا قوم اتبعوا المرسلين
            Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib An-Najjar) dengan bergegas-gegas ia berkata:”Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu (Yasin 20).
            Bila diamati dengan saksama, kedua ayat di atas tampak mirip redaksinya meskipun maksudnya berlainan. Yang pertama, al-qashas 20 mendahulukan kata     رجل dan kemudian diikuti dengan kata من أقصى المدينة, sedangkan surat yasin justru sebaliknya, yaitu mendahulukan kata من أقصى المدينة dari pada kata         رجل . Dalam kata lain, yang pertama alqashas 20 mengedepankan fa’il dari pada jar majrur; sedangkan yang kedua yasin 20 mengemudiankan fa’il dan mendahulukan jar majrur. Padahal, kedua ayat di atas mengunakan kosa kata yang sama, meskipun redaksinya berbeda. Itulah sebabnya mengapa selintas kelihatan tidak berbeda maksudnya atau seakan-akan mengisahkan kasus yang sama. Tapi jika dicermati dengan penuh kesungguhan, tampak satu sama lain mengisahkan kasus yang berbeda.
            Letak perbedaannya, ayat 20 surat al-qashas mengkisahkan peristiwa yang dialami Nabi Musa AS dan kejadiannya di mesir, sedangkan ayat 20 surat yasin 36 berkenaan dengan kisah yang dialami penduduk sebuah kampung (ashhabul al-qaryah) di inthaqiyah (Antochie), sebuah kota yang terletak di sebelah utara Siria, dan peristiwanya bukan pada masa Nabi Musa AS.
Pengunaan redaksi yang sama atau tepatnya kemiripan redaksi pada kedua ayat di atas padahal tujuannya berbeda , tampak mengandung beberapa hikmah. Diantaranya, orang yang membaca salah satu dari kedua ayat tersebut dalam waktu yang bersamaan akan dapat mengingat-ingat dua peristiwa sejarah yang berlainan, baik mengenai waktu dan tempat kejadiannya, maupun tentang pelaku dan generasi yang menyaksikannya.[6]  
2.  Membandingkan ayat al-quran dengan hadis yang terkesan bertentangan padahal tidak. Diantara contohnya adalah dalam alquran surat almaidah ayat 67 allah swt berfirman:
ياأيها الرسول بلغ ما أنزل إليك من ربك وإن لم تفعل فما بلغت رسالته والله يعصمك من الناس إنّ الله لا يهدي القوم الكافرين
“Hai Rasul, sampaikanlah apa yamg diturunkan kepadamu dari tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidakmenyampaikan amant-Nya. Allah memilihara kamu dari ganguan manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir ( al-maidah (5)67).
          Lahirlah cuplikan ayat (  والله يعصمك من الناس ) mengisyaratkan bahwa allah akan selalu melindungi dan memilihara keselamatan diri dan jiwa Nabi Muhammad Saw. dari kemungkinan pelukaan dan pembunuhan yang akan dilakukan musuh-musuh Nabi. Namun dibalik itu, ujar al-Zarkasyi, ada riwayat sahih yang mengimformasikan bahwa sewaktu terjadi peperangan Uhud (3H/ 625M), Nabi sempat dilukai oleh musuh yang memeranginya yaitu patah giginya. Jika demikian halnya, maka bagaimana dengan pernyataan ayat di atas yang menyatakan Allah hendak menjamin keselamatan jiwa dan raga Nabi Muhammad?
          Dalam penyelesaian masalah kontroversi ini, al-Zarkasyi menawarkan dua macam alternatif: (1) peristiwa Uhud terjadi pada sebelum ayat 67 maidah diturunkan mengingat bahwa peristiwa berdarah ini terjadi di tahun 3H, sedangkan surat maidah dikenal dengan surat madaniyah yang paling terakhir diturunkan. Dengan demikian, maka jaminan ini diberlakukan setelah peristiwa Uhud. Artinya, peristiwa yang sama yakni pelukaan terhadap Nabi Muhammad Saw tidak lagi akan terjadi setelah luka pada Perang Uhud. (2) penafsiran terhadap ayat di atas perlu dilakukan dengan cara mentakdirkan kata ‘ishmat itu sendiri. Menurut al-Zarkasyi, yang dimaksud dengan ‘ishmat di sini adalah terjaminnya keselamatan jiwa Nabi Muhaamad Saw dari kemungkinan pembunuhan yang dilakukan musuh-musuhnya, bukan keselamatan jasmani (badan/raga) nya dari pelukaan yang dilakukan lawan-lawannya. Kenyataan memang menunjukan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak wafat di tangan musuh meskipun pernah terkena panah di saat perang Uhud terjadi.[7]   
     3. membandingkan pendapat-pendapat para ulama tentang penafsiran-penafsiran tentang yang mereka lakukan. Langkah muqarin seperti  ini penting dilakukan, mengingat bahwa khazanah tafsir al-quran banyak sekali. Terutama dari segi coraknya. Dengan mengumpulkan pendapat-pendapat ulama dari berbagai corak dan disiplin ilmu itu, tentu akan menghasilkan suatu penafsiran yang lebih mendekati kebenaran di banding hanya memengangi salah satu pandangan saja tanpa menguji pandangan-pandangan lainnya.
     Disinilah tampaknya keunggulan tafsir muqarin dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan lainnya. 


D. Kelebihan dan kelemahan
Tafsir dengan metode muqarin (perbandingan) mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Namun apapun yang terjadi, metode ini menjadi amat penting tatkala para mufasir hendak mengembangkan pemikirannya dalam menafsirkan Al Qur’an dengan cara yang rasional dan objektif, sehingga kita mendapatkan gambaran yang komprehensif berkenaan dengan latar belakang lahirnya suatu penafsiran dan sekaligus dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam mengembangkan penafsiran Al Qur’an pada periode-periode selanjutnya.[8]
Adapun kelebihan metode muqarin adalah sebagai berikut :
1. Memberikan wawasan yang luas.
2. Membuka diri untuk selalu bersikap toleran.
3. Dapat mengetahui berbagai penafsiran.
4. Membuat mufasir lebih berhati-hati.
Adapun Kelemahan metode muqarin adalah sebagai berikut :
1. Metode ini tidak dapat diberikan kepada para pemula, seperti mereka yang sedang belajar ditingkat sekolah menengah ke bawah.
2. Metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial yang tumbuh ditengah masyarakat. Hal ini disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan daripada pemecahan masalah.
3. Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.






BAB III
PENUTUP
Agama Islam yang dibawa nabi Muhammad saw. merupakan pedoman bagi kehidupan manusia serta menjadi petunjuk dalam jalan kebenaran, melalui alquran dan Hadis jalan kebenaran semangkin jelas, kehidupan manusia semangkin terarah dengan mempedomaninya.
Banyak sekali ilmu yang terkandung dalam Alquran yang tidak semua orang mampu untuk memahami dan menggali alquran, kemudian datanglah para mufassir untuk membantu orang-orang yang tidak dapat memahami alquran.
Metode tafsir muqaran yaitu metode yang ditempuh seorang mufasir dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian mengemukakan penafsiran para mufasir terhadap ayat-ayat itu, dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an. Menurut Al Farmawi tafsir muqaran ialah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan apa yang telah ditulis oleh sejumlah mufasir.
Tafsir muqaran mempunya 4 metode, yaitu: Mengidentifikasi dan menghimpun ayat-ayat yang mirip, Perbandingan redaksi yang mirip, Analisis redaksi yang mirip, Perbandingan pendapat para mufasir.
Bahwasanya dalam setiap metode-metode yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur’an maupun hadis pastinya memiliki kelebihan dan kekurangan, tidak terkecuali pada metode komparatif (muqarrin) ini. Akan tetapi terlepas dari kekurangan yang ada harusnya dapat menumbuhkan para mufasir agar selalu menggunakan setiap metode yang ada, suatu contoh adalah pada metode komparatif (muqarrin).





DAFTAR PUSAKA
Manna Khalil al-            Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011)
Abu al-Hayy Al-Farmawy,  Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-maudhuiy . Mesir : Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977.
Abu al-Hayy Al-Farmawy,  Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-maudhui
Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Alquran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar cet.II 2000.
Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-quran.

Muhaamad  Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran,Penerbit:Pustaka Firdaus





















TAFSIR AL-MUQARRIN
Mata Kuliah
ULUMUL QURAN
Disusun Oleh :
Rajes Akbar


NIM: 26142265-2 / Unit: V


Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Iskandar Usman, MA.







PROGRAM PASCASARJANA UIN AR-RANIRY
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2014




[1]Manna Khalil al-                Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), hal.445
[2] Abu al-Hayy Al-Farmawy,  Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-maudhuiy . Mesir : Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977,  Hal.45.
[3] Abu al-Hayy Al-Farmawy,  Al-Bidayah Fi al-Tafsir al-maudhuiy….Hal.46.
[4] Baidan, Nashruddin. Metodologi Penafsiran Alquran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar cet.II 2000.

[5] Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-quran. Hal 100

[6]Muhaamad  Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran,Penerbit:Pustaka Firdaus. Hal 120-121
[7]Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-quran. Hal 121-122
[8] Muhaamad  Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran,Penerbit:Pustaka Firdaus.hal.127

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!