At-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i
Pendahuluan
Dalam konteks historisitas keberadaan kitab suci umat beragama, tidak
ditemukan kitab suci manapun yang memiliki dimensi yang memuat setiap segmen
yang berkaitan dengan manusia dengan segala kompleksitasnya secara komprehensif
yang menandingi muatan Al-Qur’an, Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang hubungan hamba dengan Tuhannya
tetapi juga berbicara tentang ke”manusia”an manusia, baik dalam bidang ilmu
pengetahuan, hukum, sosial dan semacamnya. Dan semua hal itu banyak diuraikan
dalam kitab-kitab tafsir yang dikarang oleh para mufassir.
Mengetahui latar belakang dari seorang mufassir serta metode yang digunakan
dalam tafsirnya merupakan salah satu faktor yang penting dalam memahami sebuah
kitab tafsir karena kehidupan seorang mufassir mulai dari latar belakang
keluarga, pendidikan dan sosial-politik yang ada pada masanya, juga
kecenderungan dan karakteristiknya merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan
karya tafsir dari mufassir tesebut, baik
dalam metode atau aliran yang digunakan dalam kitab tafsirnya. Oleh karenanya
mengenal kepribadian seorang mufassir mempunyai peranan yang penting untuk
memahami sebuah kitab tafsir.
Salah satu mufassir yang muncul pada dekade abad 20-an adalah Syaikh Muhammad Abduh dengan kitab karya tafsirnya
al-Manar, dimana ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan dengan
gaya bahasa yang menarik dan makna diungkap dengan redaksi yang mudah dipahami.[1]
I.
Pengertian
Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i
Al-adabi
wa al-ijtima’i terdiri dari
dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i. Kata al-adaby dilihat dari
bentuknya termasuk mashdar dari fi`il
madhi aduba, yang berarti sopan santun, tata krama. Kata tersebut
bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah
laku dalam kehidupannya. Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna banyak
bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara
etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi
pada perilaku dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural.[2]
Sedangkan secara terminologis, Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi
mendefinisikan tafsir al-Adaby wa
al-Ijtima’iy adalah tafsir yang menyingkapkan balaghah, keindahan
bahasa al-Quran dan ketelitian redaksinya, kemudian mengaitkan kandungan
ayat-ayat al-Quran dengan sunatullah dan aturan hidup kemasyarakatan, yang
berguna untuk memecahkan problematika umat Islam khususnya dan umat manusia
pada umumnya. Tidak jauh berbeda dengan apa yang didefinisikan Dr. Muhammad
Husain al-Dzahabi, Syekh Manna’ Qathan memberikan definisi tafsir Adabi
Ijtima`I sebagai : “Tafsir yang diperkaya dengan riwayat salaf al-Ummah
dan dengan uraian tentang sunatullah yang berlaku dalam masyarakat. Menguraikan
gaya al-Quran dengan menyingkapkan maknanya dengan ibarat-ibarat yang mudah
serta berusaha menerangkan masalah-masalah yang musykil dengan maksud
untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam serta mengobati penyakit
masyarakat dengan petunjuk al-Quran.” Jadi dapat kita simpulkan bahwa tafsir
Adabi Ijtima`I adalah tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk
ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta
usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau
masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan
petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.[3]
Dari definisi- definisi tersebut di atas, dapat
diketahui beberapa hal, sebagai berikut:
a. Tafsir ini menekankan
penelitiannya pada keindahan gaya bahasa al-Quran serta ketelitian redaksinya,
yang didalamnya terkandung hikmah mendalam yang dapat memberikan sentuhan iman
dan rangsangan intelektual.
b.
Dalam tafsir ini makna yang dicakup oleh ayat al-Quran dikaitkan dengan
sunatullah serta peran dan kedudukan akal sangat penting.
c.
Tafsir ini mengungkapkan sunatullah yang berlaku pada umat terdahulu yang
di pandang penting untuk mendorong pembangunan demi kemakmuran masyarakat.
Pemahaman dan pemamfaatan sunatullah harus dilandasi dengan nilai moral yang
bersumber dari alQuran.
d.
Disamping mempergunakan daya intelektual, tafsir ini juga menggunakan
riwayat-riwayat (atsar) dan sejarah. Hingga dapat dikatakan bahwa tafsir ini
menggabungkan antara pendekatan akal, atsar dan sejarah.
II.
Corak penafsiran Adabi Ijtima`i.
Corak penafsiran pada aliran tafsir ini meliputi beberapa
hal pokok yaitu;
pertama,
memandang bahwa setiap surat merupakan satu kesatuan, ayat-ayatnya mempunyai
hubungan yang serasi. Salah satu yang menonjol dalam tafsir ini adalah berusaha
membuktikan bahwa ayat-ayat dan surat dalam alQuran merupakan satu kesatuan
yang utuh.
Kedua, keumuman kandungan
al-Quran. Menurut Muhammad Abduh, kandungan al-Quran bersifat universal dan
berlaku terus sampai hari kiamat. Di dalamnya terdapat pelajaran-pelajaran,
janji dan ancaman, berita gembira dan siksa, serta ajaran tentang aqidah,
akhlak dan ibadah yang dapat berlaku semua umat dan bangsa, bukan umat tertentu
saja.
Ketiga, al-Quran sumber utama
aqidah dan syariat Islam. Untuk menetapkan suatu ketetapan hukum
harus kembali kepada sumber yang pertama yaitu al-Quran. Muhammad Abduh sebagai
tokoh utama aliran tafsir ini mengecam sementara mufassir yang menganggap bahwa
sebagian ayat alQuran musykil hanya tidak sejalan dengan pendapat aliran (mazhabnya).
Keempat, menerangi taklid
buta. Salah satu corak dari tafsir ini adalah berusaha menghilangkan taklid
buta dalam masyarakat Islam, karena dianggap menyebabkan umat Islam beku,
tidak dinamis dan tidak mencerdaskan masyarakat.penggunaan daya pikir atau nalar dan metode ilmiah. Di dalam
al-Quran terdapat sejumlah ayat yang mengajak manusia melakukan nadzar
(pengamatan) terhadap alam semesta serta mengambil pelajaran dari pertanda
kekuasaan Allah di alam semesta ini dan keajaiban pencipta-Nya.
Kelima, peranan akal atau
nalar dalam pemahaman al-Quran. Salah satu corak dari tafsir ini adalah penggunaan interpretasi oleh akal.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa al-Qutan sangat menghargai akal pikiran dan
memberikan kedudukan yang terhormat. Karena itu, dalam alQuran banyak ayat yang
menyuruh menggunakan akal pikiran seperti; afala ta’qilun, afala tatafakkarun
dan sebagainya. Penggunaan daya pikir
atau nalar dan metode ilmiah. Di dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat
yang mengajak manusia melakukan nadzar (pengamatan) terhadap alam semesta serta
mengambil pelajaran dari pertanda kekuasaan Allah di alam semesta ini dan
keajaiban pencipta-Nya.[4]
Keenam, Tidak merinci persoalan
yang disinggung secara mubham. Di dalam Alquran sering ditemui lafazh tak
terinci, misalnya menyangkut “sapi” yang disebut dalam S. Al-Baqarah (2): 67
atau “anjing” yang menyertai “Ashabul Kahfi” (S. Kahfi: 18). Terhadap
ayat/lafazh semacam ini Abduh tidak merinci atau menjelaskannya.
Ketujuh, Sangat kritis dalam
menerima hadis Nabi. Dilatar belakangi oleh sikap Muhammad Abduh yang sangat
rasional, dia berpendapat bahasa sanad belum tentu dapat dipertanggungjawabkan.
Abduh menyatakan bahwa sumber ajaran agama adalah Alquran dan sedikit dari
sunnah yang bersifat amaliyah dan sedikit pula jumlah hadis mutawatir, maka
Alquran harus dijadikan sumber madzhab dan pendapat dalam agama.
Kedelapan, Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat-sahabat dan menolak
Israiliyyat. Muhammad Abduh sangat berhati-hati dalam menerima
pendapat-pendapat sahabat Nabi, apalagi jika pendapat tersebut berselisih satu
sama lainnya, sehingga untuk menguatkan salah satunya dibutuhkan pemikiran yang
mendalam.
Kesembilan. Mengaitkan penafsiran Alquran dengan kehidupan sosialAyat-ayat
ditafsirkan selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong
ke arah kemajuan dan pembangunan. Abduh menilai keterbelakangan masyarakat
Islam disebabkan oleh kebodohan dan kedangkalan pengetahuan mereka akibat taqlid
dan pengabaian peranan akal.[5]
III.
Biografi
Singkat Muhammad Abduh dan Rashid Ridho
Al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang berorientasi pada
sastra-budaya dan kemasyaratan. Tokoh utama corak penafsiran ini serta yang
berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Syaikh Muhammad Abduh, yang kemudian
di kembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya, Sayyid Rasyid ridha.[6]
Syaikh Muhammad Abduh adalah : Muhammad Abduh bin Hasan
Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di kabupaten Bukhairah, Mesir
pada 1849 M. Ayahnya adalah seorang petani keturunan Turki, dan ibunya
keturunan Arab yang memiliki hubungan darah dengan dengan suku Arab asal
keturunan kholifah Umar bin Khottob. Sejak kecil ia di ketahui sebagai anak
yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Di usia kanak-kanaknya ia telah
mampu menghafalkan Al-Qur'an dalam waktu hanya dua tahun. Selanjutnya ia di
kirim ke masjid al-Ahmady selama 2 tahun untuk mempelajari Bahasa Arab, Nahwu
dan berbagai pengetahuan kebahasaan, ternyata metode taqlidiyah yang
digunakan waktu itu tidak memuaskan keinginan Muhammad Abduh, hingga akhirnya
ia meninggalkan tempat tersebut.[7]
Kemudian ia lari ke desa Syibral Khit, di sana beliau bertemu dengan
pamannya Syaikh Darwisy Khidr, ia mempunyai pengetahuan mengenai Al-Qur'an dan
menganut paham tasawuf Al-Syadziliah, atas saran dan ketekunan Darwisy,
Akhirnya Muhammad Abduh bersedia kembali melanjutkan sekolahnya ke kota Thanta
pada tahun 1865 M. Pada periode ini Muhammad Abduh sangat di pengaruhi oleh
cara dan paham sufi yang ditanamkan oleh pamannya.[8]
Kemudian beliau melanjutkan sekolahnya ke Al-Azhar dan menamatkan kuliahnya
pada tahun 1877 M. Di tempat inilah ia berkenalan dengan sekian banyak dosen
yang dikaguminya, antara lain : (1) Syaikh Hasan Al-Thawil yang mengajarkan
kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles, dan
sebagainya. (2) Muhammad Basyuni, seorang yanag banyak mencurahkan perhatian
pada bidang sastra, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan kehalusan
rasa dan kemampuan mempraktikkannya. Pada tahun 1871 M, Jamaluddin Al-Afghoni
datang ke Mesir, ia pun berkenalan dan menjadi muridnya, dari tokoh ini ia
mempelajari berbagai macam ilmu, Jamaluddin Al-Afghani mampu mengalihkan
kecendrungan Muhammad Abduh dari tasawuf dalam arti yang sempit dan dalam tata
cara berpakaian dan dzikir kepada tasawuf dalam arti yang lain, yaitu
perjuangan untuk perbaikan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju serta
membela ajaran-ajaran Islam.[9]
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon,
pada Jumadil 'Ula 1282 H. Dia seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis
keturunan langsung dari sayyidina Husain bin Ali.
Di masa kecil, ia memulai studinya di taman pendidikan dikampungnya (kuttab);
disana diajarkan membaca Al-Qur'an, menulis, dan dasar-dasar berhitung. Setelah
tamat, Rasyid Ridha di kirim oleh orang tuanya ke Tripoli (Lebanon) untuk
belajar di Madrasah Ibtidaiyah, mereka yang belajar di sana di persiapkan untuk
menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Karena itu Rasyid Ridha tidak tetarik untuk
terus belajar di sana. Setahun kemudian ia pindah ke sekolah Islam Negeri,
sekolah ini didirikan dan di pimpin oleh ulama Syam ketika itu, yakni Syaikh
Husain Al-Jisr. Syaikh inilah yang kelak mempunyai andil sangat besar terhadap
perkembangan pikiran Rasyid Ridha.
Majalah Al-'Urwah al-Wustsqa yang diterbitkan Jamaluddin Al-Afghani dan
Muhammad Abduh di Paris, yang tersebar ke seluruh dunia Islam, ikut di baca
pula oleh Rasyid Ridha dan memberi pengaruh yang sangat besar pada jiwanya,
sehingga mengubah sikap pemuda yang berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda
yang penuh semangat untuk melaksanakan agama secara utuh serta membela dan
membangun negara dengan ilmu pengetahuan dan industri.[10]
IV.
Pemikiran
Muhammad Abduh
Abduh
mengemukakan dua pandangan terhadap kitab tafsir dan penafsiran pada masanya
dan pada masa-masa sebelumnya16, yaitu:
Pertama,
ia menilai kitab-kitab tafsir pada saat itu tidak lain kecuali pemaparan
berbagai pendapat ulama yang saling berbeda dan pada akhirnya menjauh dari
tujuan diturunkannya Alquran. Sebagian kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian
gersang dan kaku karena penafsiranya
hanya
mengarahkan kepada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi
i‟rab dan penjelasan lain menyangkut segi tehnis kebahasaan, oleh karena itu
kitab-kitab tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam
bidang kebahasaan, bukunya kitab tafsir yang sesungguhnya. Menurut Abduh; Allah
Swt. tidak akan menanyakan kepada kita tentang hal tersebut, masyarakat pun
tidak membutuhkannya, yang mereka butuhkan adalah petunjuk-petunjuk yang dapat
mengantarkan mereka kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Walaupun
demikian ada beberapa tafsir yang dikecualikan yaitu tafsir Al-Zamakhsyari
(al-kasysyaf), tafsir ini dinilainya sebagai kitab terbaik untuk pelajar dan
mahasiswa. Abduh menyebutkan pula tafsir Al-Thabari, Abu Muslim al-Asfahani,
Al-Qurthubi,sebagai kitab-kitab terpercaya di kalangan penuntut ilmu karena
pengarang-pengarangnya telah melepaskan dari belenggu taqliddan berpartisipasi
dalam menciptakan iklim ilmiah di tengah-tengah masyarakat mereka.
Kedua,
dalam bidang penafsiran, Abduh menggaris bawahi bahwa dialog Alquran dengan
masyarakat Arab Ummiyyin(awam/yang tidak bisa baca tulis) bukan berarti
ayat-ayatnya hanya tertuju kepada mereka semata, tetapi berlaku umum untuk
setiap masa dan generasi. Karena itu menjadi kewajiban setiap orang pandai atau
bodoh untuk memahami ayat-ayat Alquran sesuai dengan kemampuan masing-masing.Jalan
pikiran Muhammad Abduh ini menghasilkan dua landasan pokok menyangkut pemahaman
atau penafsirannya terhadap ayat-ayat Alquran, yaitu
peranan akal
dan peranan kondisi sosial.[11]
a.
Peranan Akal
Abduh
berpendapatbahwa metode Alquran dalam memaparkan ajaran-ajaran agama berbeda
dengan metode yang ditempuh oleh kitab-kitab suci sebelumnya; Alquran
memaparkan masalah dan membuktikan dengan argumentasi-argumentasi, bahkan
menguraikan pandangan-
pandangan
penentangnya bahkan seraya membuktikan kekeliruan mereka. Menurut Abduh ada
masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika
dan juga ada ajaran agama yang sulit dipahami dengan akalnamun tidak
bertentangan dengan akal. Dengan demikian walaupun harus dipahami dengan akal,
Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan
Nabi Saw (wahyu).
b.
Peranan Kondisi
Sosial
Ajaran agama menurut Abduh dalam garis besar
terbagi dua yaitu rinci danumum. Yang rinci ialah sekumpulan ketetapan Tuhan
dan Nabi-Nya yang tidak dapatmengalami perubahan dan atau perkembangan
sedangkan yang umum merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat
berubah penjabaran dan perinciannyasesuai dengan kondisi sosial. Abduh
mengusulkan agar ulama menghimpun diridalam satu organisasi yang didalamnya
mereka dapat mendiskusikan soal-soalkeagamaan dan mencari illat(motif) dari
setiap ketetapan, sehingga suatu hukum yangditetapkan berdasarkan satu kondisi
tertentu, hendaklah kondisi tersebut dijelaskan.Bila kondisinya berubah, maka
ketetapan itu juga dapat berubah.Dalam memahami ayat-ayat Alquran, terlebih
yang menyangkut hukum,landasan ini tidak pernah diabaikan. Melalui kedua hal
tersebut di atas, Abduh berusaha menjadikan hakikat ajaran Islam yang murni
menurut pandangannya sertamenghubungkan ajaran terebut dengan kehidupan masa
kini.Salah satu metode analisis penafsiran adalah “adabi ijtima‟i"
(budayakemasyarakatan), corak ini menitik beratkan penjelasan ayat-ayat Alquran
pada segiketelitian redaksinya, menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang
indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk Alquran bagi kehidupan, serta
menghubungkanpengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku
dalam masyarakat dan pembangunan dunia
Contoh
penafsiran Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar tentang hidayah (هداية). Abduh
menjelaskan bahwa Allah memberikan hidayah kepada manusia untuk memperoleh
kebahagiannya melalui empat macam hidayah[12]
1. Hidayah
al-Wijdan al Thabi‟iy wa al-Ilham al-Fithriy
Contohnya,
bayi ketika lahir merasa haus/lapar mampu bereaksi atas perasaan tersebut.
2. Hidayah
al-Hawas wa al-Masya‟ir
Hidayah
kedua ini merupakan perpanjangan tangan dari hidayah pertama dalam menjangkau
di luar dirinya. Terkadang hewan-hewan, kemampuan inderanya lebih sempurna dan
lebih cepat berfungsinya dibanding indera manusia.
3. Hidayah
al-Aql
Hidayah
akal ini lebih tinggi dari hidayah pertama dan kedua. Akal mempunyai kemampuan
menilai dan mengontrol kekeliruan indera dan bisa menjelaskan sebab-akibatnya.
Sebagai ontoh, penglihatan terhadap suatu benda yang besar menjadi kecil pada
jarak jauh. Benda yang lurus terlihat bengkok ketika dimasukkan ke dalam air.
4. Hidayah
al-Din
Hidayah
ini mampu mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu dapat mengelabui dan mengalahkan
akal. Meyakini hal-hal yang ghaib, adanya kehidupan kedua setelah kematian dan
rangkaian peristiwa-peristiwa lainnya.
V.
Beberapa contoh tafsir adabi wa ijtima'i dalam tafsir Al-Manar.
1. Mensinergikan
ayat Al-Qur'an dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Pada
surat Al Ashr ayat 3 (وتواصوا بالصبر ) dalam penggalan ayat yang pendek ini,
beliau menafsirkannya dengan panjang lebar, menyinggung semua lini kehidupan,
diantaranya beliau berkata : (…lemahnya ilmu pengetahuan di kalangan ummat
Islam saat ini, salah satu sebabnya adalah minimny rasa sabar di hati umat ini,
demikian juga kikir, pelitnya orang yang mempunyai harta dikarenakan minimnya
sabar di hatinya, seandainya dia sabar untuk memerangi hayalan tentang
kefaqiran yang diciptakan setan pasti dia tidak akan berbuat bakhil…)[13]
2. pada
surat Al-infithar ayat : 13,(إن الأبرار لفي نعيم ) beliau mengupas arti al-birr (kebaikan ) dan
kreteria abraar, beliau berkata : (tidak dianggap sebagai orang yang
baik, sehingga dia bisa mencukupi dirinya sendiri dan bisa memberikan
kontrobusi kepada masyarakat, jangan tertipu dengan orang-orang yang malas,
yang mengira dirinya sudah sampai pada maqam
abraar dengan rakaat-rakaat mereka di tempat sepi, atau tasbih-tasbih yang
mereka dengungkan tanpa memahami makna dari tasbih itu, atau jeritan-jeritan
mereka yang kurang pantas bagi seorang mu'min…)[14]Abduh
ingin mengkritik dan menyadarkan masyarakat pada saat itu yang diwarnai oleh
ajaran sufi, yang lebih menekankan pada aspek ruhani (dzikir, wirid, dan
memperbanyak puasa) yang mengakibatkan kelesuhan perekonomian dan kemunduran
umat.
VI.
Penutup
Dari
pemaparan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan penting, antara lain sebagai
berikut, Muhammad Abduh terlahir dengan memiliki kecerdasan. Semakin tumbuh
dewasa semakin nampak ketidakpuasan terhadap apa yang diketahui dan dialaminya.
Hal ini terlihat dari pencarian sumber ilmu pengetahuan dan pelajaran yang
baru, yang berbeda dengan metode keilmuan sebelumnya. Pertemuan dengan
Jamaluddin al-Afgani menjadi tonggak sejarah baru. Abduh tampil untuk menjadi
seorang pemikir dan pembaharu. Ketertarikan terhadap teologi Mu‟tazilah memicu
Abduh untuk mengusung rasionalitas dalam memahami ajaran-ajaran agama.
Pemikiran-pemikiran Abduh ini dituangkan dalam pengajaran dan karya-karya
ilmiah. Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang tokoh
Islam yaitu Sayyid amaluddin al-Afghani, Syekh Muhamamd Abduh dan Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha. Tokoh ketigalah yang mendominasi penyusunan tafsir
tersebut. Gaya pemikiran dan penafsiran Muhammad Abduh antara lain menerapkan
dua landasan pokok yaitu, mengukuhkan peranan akal dan pentingnya kondisi
sosial kemasyarakatan. Dua landasan pokok tersebut lebih jauh dijabarkan dalam
Sembilan prnsip pemikiran dan penafsiran dalam karya-karya Abduh dan sebagian
karya murid-muridnya.
Daftar Pustaka
al-Qattan, Manna’ Khalil , Studi Ilmu-ilmu Islam (Surabaya,
Litera AntarNusa, 2013)
Supiana, Ulumul Qur’an (Bandung:
Pustaka Islamika, 2002)
Syihab, M. Quraish, Membumikan
al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), ctk. I
Usman. Ilmu
Tafsir. (Yogyakarta: Teras. 2009)
Abdullah,
Dudung, Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir alManar, Ar-Risalah,vol.11,
nomor 2, November 2011
Shihab, M. Quraish, Studi kritis tafsir Al Manar (Bandung :
Pustaka Hidayah, 1994) cet.ke-1,
Jalaluddin,
Usman Said, filsafat pendidikan Islam :Konsep dan perkembangan (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1999)
Shihab, M. Quraish, Rasionalitas Al-Qur‟an,Studi Kelas Atas
Tafsir Al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
Adz- Dzahabi, Muhammad Husein, At-Tafsir
wa Al-Mufassirun, Beirut : Dar Al-Arqam
[4]
Usman. Ilmu
Tafsir. (Yogyakarta: Teras. 2009). Hal. 204.
[5] Dudung Abdullah, Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir alManar,
Ar-Risalah,vol.11, nomor 2, November 2011.
[6]M. Quraish Shihab, Studi kritis tafsir Al Manar (Bandung :
Pustaka Hidayah, 1994) cet.ke-1, hal 11.
[7]Jalaluddin
dan Usman Said, filsafat pendidikan Islam :Konsep dan perkembangan (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1999), hal 154.
[8] M.
Quraish Shihab, Studi kritis..Op.cit hal 13.
[9]
Ibid hal 14-15
[10] Ibid hal 61-63
[11] M. Quraish Shihab,Rasionalitas Al-Qur‟an,Studi
Kelas Atas Tafsir Al-Manar(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h.11.
[13] Muhammad Husein Adz- Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Beirut
: Dar Al-Arqam, tt hal 391-392
[14] Ibid. hal.393
0 komentar:
Posting Komentar