Selasa, 03 Februari 2015



At-Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i
Mukarram
Pendahuluan
Dalam konteks historisitas keberadaan kitab suci umat beragama, tidak ditemukan kitab suci manapun yang memiliki dimensi yang memuat setiap segmen yang berkaitan dengan manusia dengan segala kompleksitasnya secara komprehensif yang menandingi muatan Al-Qur’an, Al-Qur’an tidak hanya berbicara tentang hubungan hamba dengan Tuhannya tetapi juga berbicara tentang ke”manusia”an manusia, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, hukum, sosial dan semacamnya. Dan semua hal itu banyak diuraikan dalam kitab-kitab tafsir yang dikarang oleh para mufassir.
Mengetahui latar belakang dari seorang mufassir serta metode yang digunakan dalam tafsirnya merupakan salah satu faktor yang penting dalam memahami sebuah kitab tafsir karena kehidupan seorang mufassir mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan dan sosial-politik yang ada pada masanya, juga kecenderungan dan karakteristiknya merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan karya tafsir dari mufassir  tesebut, baik dalam metode atau aliran yang digunakan dalam kitab tafsirnya. Oleh karenanya mengenal kepribadian seorang mufassir mempunyai peranan yang penting untuk memahami sebuah kitab tafsir.
Salah satu mufassir yang muncul pada dekade abad 20-an adalah Syaikh Muhammad Abduh dengan kitab karya tafsirnya  al-Manar, dimana ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan dengan gaya bahasa yang menarik dan makna diungkap dengan redaksi yang mudah dipahami.[1]

I.       Pengertian Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i
Al-adabi wa al-ijtima’i terdiri dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i. Kata al-adaby dilihat dari bentuknya termasuk mashdar  dari fi`il madhi aduba, yang berarti sopan santun, tata krama. Kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya. Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada perilaku dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural.[2]
Sedangkan secara terminologis, Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi mendefinisikan  tafsir al-Adaby wa al-Ijtima’iy adalah tafsir yang menyingkapkan balaghah, keindahan bahasa al-Quran dan ketelitian redaksinya, kemudian mengaitkan kandungan ayat-ayat al-Quran dengan sunatullah dan aturan hidup kemasyarakatan, yang berguna untuk memecahkan problematika umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya. Tidak jauh berbeda dengan apa yang didefinisikan Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi, Syekh Manna’ Qathan memberikan definisi tafsir Adabi Ijtima`I sebagai : “Tafsir yang diperkaya dengan riwayat salaf al-Ummah dan dengan uraian tentang sunatullah yang berlaku dalam masyarakat. Menguraikan gaya al-Quran dengan menyingkapkan maknanya dengan ibarat-ibarat yang mudah serta berusaha menerangkan masalah-masalah yang musykil dengan maksud untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam serta mengobati penyakit masyarakat dengan petunjuk al-Quran.” Jadi dapat kita simpulkan bahwa tafsir Adabi Ijtima`I adalah  tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.[3]
Dari definisi- definisi tersebut di atas, dapat diketahui beberapa hal, sebagai berikut:
a.       Tafsir ini menekankan penelitiannya pada keindahan gaya bahasa al-Quran serta ketelitian redaksinya, yang didalamnya terkandung hikmah mendalam yang dapat memberikan sentuhan iman dan rangsangan intelektual.
b.      Dalam tafsir ini makna yang dicakup oleh ayat al-Quran dikaitkan dengan sunatullah serta peran dan kedudukan akal sangat penting.
c.       Tafsir ini mengungkapkan sunatullah yang berlaku pada umat terdahulu yang di pandang penting untuk mendorong pembangunan demi kemakmuran masyarakat. Pemahaman dan pemamfaatan sunatullah harus dilandasi dengan nilai moral yang bersumber dari alQuran.
d.      Disamping mempergunakan daya intelektual, tafsir ini juga menggunakan riwayat-riwayat (atsar) dan sejarah. Hingga dapat dikatakan bahwa tafsir ini menggabungkan antara pendekatan akal, atsar dan sejarah.

II.    Corak penafsiran Adabi Ijtima`i.
Corak penafsiran pada aliran tafsir ini meliputi beberapa hal pokok yaitu;
 pertama, memandang bahwa setiap surat merupakan satu kesatuan, ayat-ayatnya mempunyai hubungan yang serasi. Salah satu yang menonjol dalam tafsir ini adalah berusaha membuktikan bahwa ayat-ayat dan surat dalam alQuran merupakan satu kesatuan yang utuh.
Kedua, keumuman kandungan al-Quran. Menurut Muhammad Abduh, kandungan al-Quran bersifat universal dan berlaku terus sampai hari kiamat. Di dalamnya terdapat pelajaran-pelajaran, janji dan ancaman, berita gembira dan siksa, serta ajaran tentang aqidah, akhlak dan ibadah yang dapat berlaku semua umat dan bangsa, bukan umat tertentu saja.
Ketiga, al-Quran sumber utama aqidah dan syariat Islam. Untuk menetapkan suatu ketetapan hukum harus kembali kepada sumber yang pertama yaitu al-Quran. Muhammad Abduh sebagai tokoh utama aliran tafsir ini mengecam sementara mufassir yang menganggap bahwa sebagian ayat alQuran musykil hanya tidak sejalan dengan pendapat aliran (mazhabnya).
Keempat, menerangi taklid buta. Salah satu corak dari tafsir ini adalah berusaha menghilangkan taklid buta dalam masyarakat Islam, karena dianggap menyebabkan  umat Islam beku, tidak dinamis dan tidak mencerdaskan masyarakat.penggunaan daya pikir  atau nalar dan metode ilmiah. Di dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang mengajak manusia melakukan nadzar (pengamatan) terhadap alam semesta serta mengambil pelajaran dari pertanda kekuasaan Allah di alam semesta ini dan keajaiban pencipta-Nya.
Kelima, peranan akal atau nalar dalam pemahaman al-Quran. Salah satu corak dari tafsir  ini adalah penggunaan interpretasi oleh akal. Muhammad Abduh berpendapat bahwa al-Qutan sangat menghargai akal pikiran dan memberikan kedudukan yang terhormat. Karena itu, dalam alQuran banyak ayat yang menyuruh menggunakan akal pikiran seperti; afala ta’qilun, afala tatafakkarun dan sebagainya. Penggunaan daya pikir  atau nalar dan metode ilmiah. Di dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang mengajak manusia melakukan nadzar (pengamatan) terhadap alam semesta serta mengambil pelajaran dari pertanda kekuasaan Allah di alam semesta ini dan keajaiban pencipta-Nya.[4]
Keenam, Tidak merinci persoalan yang disinggung secara mubham. Di dalam Alquran sering ditemui lafazh tak terinci, misalnya menyangkut “sapi” yang disebut dalam S. Al-Baqarah (2): 67 atau “anjing” yang menyertai “Ashabul Kahfi” (S. Kahfi: 18). Terhadap ayat/lafazh semacam ini Abduh tidak merinci atau menjelaskannya.
Ketujuh, Sangat kritis dalam menerima hadis Nabi. Dilatar belakangi oleh sikap Muhammad Abduh yang sangat rasional, dia berpendapat bahasa sanad belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Abduh menyatakan bahwa sumber ajaran agama adalah Alquran dan sedikit dari sunnah yang bersifat amaliyah dan sedikit pula jumlah hadis mutawatir, maka Alquran harus dijadikan sumber madzhab dan pendapat dalam agama.
Kedelapan, Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat-sahabat dan menolak Israiliyyat. Muhammad Abduh sangat berhati-hati dalam menerima pendapat-pendapat sahabat Nabi, apalagi jika pendapat tersebut berselisih satu sama lainnya, sehingga untuk menguatkan salah satunya dibutuhkan pemikiran yang mendalam.
Kesembilan. Mengaitkan penafsiran Alquran dengan kehidupan sosialAyat-ayat ditafsirkan selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan. Abduh menilai keterbelakangan masyarakat Islam disebabkan oleh kebodohan dan kedangkalan pengetahuan mereka akibat taqlid dan pengabaian peranan akal.[5]

III. Biografi Singkat Muhammad Abduh dan Rashid Ridho
Al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang berorientasi pada sastra-budaya dan kemasyaratan. Tokoh utama corak penafsiran ini serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Syaikh Muhammad Abduh, yang kemudian di kembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya, Sayyid Rasyid ridha.[6]
Syaikh Muhammad Abduh adalah : Muhammad Abduh  bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di kabupaten Bukhairah, Mesir pada 1849 M. Ayahnya adalah seorang petani keturunan Turki, dan ibunya keturunan Arab yang memiliki hubungan darah dengan dengan suku Arab asal keturunan kholifah Umar bin Khottob. Sejak kecil ia di ketahui sebagai anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. Di usia kanak-kanaknya ia telah mampu menghafalkan Al-Qur'an dalam waktu hanya dua tahun. Selanjutnya ia di kirim ke masjid al-Ahmady selama 2 tahun untuk mempelajari Bahasa Arab, Nahwu dan berbagai pengetahuan kebahasaan, ternyata metode taqlidiyah yang digunakan waktu itu tidak memuaskan keinginan Muhammad Abduh, hingga akhirnya ia meninggalkan tempat tersebut.[7]
Kemudian ia lari ke desa Syibral Khit, di sana beliau bertemu dengan pamannya Syaikh Darwisy Khidr, ia mempunyai pengetahuan mengenai Al-Qur'an dan menganut paham tasawuf Al-Syadziliah, atas saran dan ketekunan Darwisy, Akhirnya Muhammad Abduh bersedia kembali melanjutkan sekolahnya ke kota Thanta pada tahun 1865 M. Pada periode ini Muhammad Abduh sangat di pengaruhi oleh cara dan paham sufi yang ditanamkan oleh pamannya.[8]
Kemudian beliau melanjutkan sekolahnya ke Al-Azhar dan menamatkan kuliahnya pada tahun 1877 M. Di tempat inilah ia berkenalan dengan sekian banyak dosen yang dikaguminya, antara lain : (1) Syaikh Hasan Al-Thawil yang mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles, dan sebagainya. (2) Muhammad Basyuni, seorang yanag banyak mencurahkan perhatian pada bidang sastra, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan kehalusan rasa dan kemampuan mempraktikkannya. Pada tahun 1871 M, Jamaluddin Al-Afghoni datang ke Mesir, ia pun berkenalan dan menjadi muridnya, dari tokoh ini ia mempelajari berbagai macam ilmu, Jamaluddin Al-Afghani mampu mengalihkan kecendrungan Muhammad Abduh dari tasawuf dalam arti yang sempit dan dalam tata cara berpakaian dan dzikir kepada tasawuf dalam arti yang lain, yaitu perjuangan untuk perbaikan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran-ajaran Islam.[9]
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada Jumadil 'Ula 1282 H. Dia seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari sayyidina Husain bin Ali.
Di masa kecil, ia memulai studinya di taman pendidikan dikampungnya (kuttab); disana diajarkan membaca Al-Qur'an, menulis, dan dasar-dasar berhitung. Setelah tamat, Rasyid Ridha di kirim oleh orang tuanya ke Tripoli (Lebanon) untuk belajar di Madrasah Ibtidaiyah, mereka yang belajar di sana di persiapkan untuk menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Karena itu Rasyid Ridha tidak tetarik untuk terus belajar di sana. Setahun kemudian ia pindah ke sekolah Islam Negeri, sekolah ini didirikan dan di pimpin oleh ulama Syam ketika itu, yakni Syaikh Husain Al-Jisr. Syaikh inilah yang kelak mempunyai andil sangat besar terhadap perkembangan pikiran Rasyid Ridha.
Majalah Al-'Urwah al-Wustsqa yang diterbitkan Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris, yang tersebar ke seluruh dunia Islam, ikut di baca pula oleh Rasyid Ridha dan memberi pengaruh yang sangat besar pada jiwanya, sehingga mengubah sikap pemuda yang berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda yang penuh semangat untuk melaksanakan agama secara utuh serta membela dan membangun negara dengan ilmu pengetahuan dan industri.[10]

IV. Pemikiran Muhammad Abduh
Abduh mengemukakan dua pandangan terhadap kitab tafsir dan penafsiran pada masanya dan pada masa-masa sebelumnya16, yaitu:
Pertama, ia menilai kitab-kitab tafsir pada saat itu tidak lain kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda dan pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya Alquran. Sebagian kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku karena penafsiranya
hanya mengarahkan kepada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i‟rab dan penjelasan lain menyangkut segi tehnis kebahasaan, oleh karena itu kitab-kitab tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan, bukunya kitab tafsir yang sesungguhnya. Menurut Abduh; Allah Swt. tidak akan menanyakan kepada kita tentang hal tersebut, masyarakat pun tidak membutuhkannya, yang mereka butuhkan adalah petunjuk-petunjuk yang dapat mengantarkan mereka kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Walaupun demikian ada beberapa tafsir yang dikecualikan yaitu tafsir Al-Zamakhsyari (al-kasysyaf), tafsir ini dinilainya sebagai kitab terbaik untuk pelajar dan mahasiswa. Abduh menyebutkan pula tafsir Al-Thabari, Abu Muslim al-Asfahani, Al-Qurthubi,sebagai kitab-kitab terpercaya di kalangan penuntut ilmu karena pengarang-pengarangnya telah melepaskan dari belenggu taqliddan berpartisipasi dalam menciptakan iklim ilmiah di tengah-tengah masyarakat mereka.
Kedua, dalam bidang penafsiran, Abduh menggaris bawahi bahwa dialog Alquran dengan masyarakat Arab Ummiyyin(awam/yang tidak bisa baca tulis) bukan berarti ayat-ayatnya hanya tertuju kepada mereka semata, tetapi berlaku umum untuk setiap masa dan generasi. Karena itu menjadi kewajiban setiap orang pandai atau bodoh untuk memahami ayat-ayat Alquran sesuai dengan kemampuan masing-masing.Jalan pikiran Muhammad Abduh ini menghasilkan dua landasan pokok menyangkut pemahaman atau penafsirannya terhadap ayat-ayat Alquran, yaitu
peranan akal dan peranan kondisi sosial.[11]
a.       Peranan Akal
Abduh berpendapatbahwa metode Alquran dalam memaparkan ajaran-ajaran agama berbeda dengan metode yang ditempuh oleh kitab-kitab suci sebelumnya; Alquran memaparkan masalah dan membuktikan dengan argumentasi-argumentasi, bahkan menguraikan pandangan-
pandangan penentangnya bahkan seraya membuktikan kekeliruan mereka. Menurut Abduh ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika dan juga ada ajaran agama yang sulit dipahami dengan akalnamun tidak bertentangan dengan akal. Dengan demikian walaupun harus dipahami dengan akal, Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi Saw (wahyu).
b.      Peranan Kondisi Sosial
Ajaran agama menurut Abduh dalam garis besar terbagi dua yaitu rinci danumum. Yang rinci ialah sekumpulan ketetapan Tuhan dan Nabi-Nya yang tidak dapatmengalami perubahan dan atau perkembangan sedangkan yang umum merupakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang dapat berubah penjabaran dan perinciannyasesuai dengan kondisi sosial. Abduh mengusulkan agar ulama menghimpun diridalam satu organisasi yang didalamnya mereka dapat mendiskusikan soal-soalkeagamaan dan mencari illat(motif) dari setiap ketetapan, sehingga suatu hukum yangditetapkan berdasarkan satu kondisi tertentu, hendaklah kondisi tersebut dijelaskan.Bila kondisinya berubah, maka ketetapan itu juga dapat berubah.Dalam memahami ayat-ayat Alquran, terlebih yang menyangkut hukum,landasan ini tidak pernah diabaikan. Melalui kedua hal tersebut di atas, Abduh berusaha menjadikan hakikat ajaran Islam yang murni menurut pandangannya sertamenghubungkan ajaran terebut dengan kehidupan masa kini.Salah satu metode analisis penafsiran adalah “adabi ijtima‟i" (budayakemasyarakatan), corak ini menitik beratkan penjelasan ayat-ayat Alquran pada segiketelitian redaksinya, menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan segi-segi petunjuk Alquran bagi kehidupan, serta menghubungkanpengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia
Contoh penafsiran Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar tentang hidayah (هداية). Abduh menjelaskan bahwa Allah memberikan hidayah kepada manusia untuk memperoleh kebahagiannya melalui empat macam hidayah[12]
1. Hidayah al-Wijdan al Thabi‟iy wa al-Ilham al-Fithriy
Contohnya, bayi ketika lahir merasa haus/lapar mampu bereaksi atas perasaan tersebut.
2. Hidayah al-Hawas wa al-Masya‟ir
Hidayah kedua ini merupakan perpanjangan tangan dari hidayah pertama dalam menjangkau di luar dirinya. Terkadang hewan-hewan, kemampuan inderanya lebih sempurna dan lebih cepat berfungsinya dibanding indera manusia.
3. Hidayah al-Aql
Hidayah akal ini lebih tinggi dari hidayah pertama dan kedua. Akal mempunyai kemampuan menilai dan mengontrol kekeliruan indera dan bisa menjelaskan sebab-akibatnya. Sebagai ontoh, penglihatan terhadap suatu benda yang besar menjadi kecil pada jarak jauh. Benda yang lurus terlihat bengkok ketika dimasukkan ke dalam air.
4. Hidayah al-Din
Hidayah ini mampu mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu dapat mengelabui dan mengalahkan akal. Meyakini hal-hal yang ghaib, adanya kehidupan kedua setelah kematian dan rangkaian peristiwa-peristiwa lainnya.

V.    Beberapa contoh tafsir adabi wa ijtima'i dalam tafsir Al-Manar.
1.      Mensinergikan ayat Al-Qur'an dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Pada surat Al Ashr ayat 3 (وتواصوا بالصبر  ) dalam penggalan ayat yang pendek ini, beliau menafsirkannya dengan panjang lebar, menyinggung semua lini kehidupan, diantaranya beliau berkata : (…lemahnya ilmu pengetahuan di kalangan ummat Islam saat ini, salah satu sebabnya adalah minimny rasa sabar di hati umat ini, demikian juga kikir, pelitnya orang yang mempunyai harta dikarenakan minimnya sabar di hatinya, seandainya dia sabar untuk memerangi hayalan tentang kefaqiran yang diciptakan setan pasti dia tidak akan berbuat bakhil…)[13]
2.      pada surat Al-infithar ayat : 13,(إن الأبرار لفي نعيم ) beliau mengupas arti al-birr (kebaikan ) dan kreteria abraar, beliau berkata : (tidak dianggap sebagai orang yang baik, sehingga dia bisa mencukupi dirinya sendiri dan bisa memberikan kontrobusi kepada masyarakat, jangan tertipu dengan orang-orang yang malas, yang mengira dirinya  sudah sampai pada maqam abraar dengan rakaat-rakaat mereka di tempat sepi, atau tasbih-tasbih yang mereka dengungkan tanpa memahami makna dari tasbih itu, atau jeritan-jeritan mereka yang kurang pantas bagi seorang mu'min…)[14]Abduh ingin mengkritik dan menyadarkan masyarakat pada saat itu yang diwarnai oleh ajaran sufi, yang lebih menekankan pada aspek ruhani (dzikir, wirid, dan memperbanyak puasa) yang mengakibatkan kelesuhan perekonomian dan kemunduran umat.   

VI. Penutup
Dari pemaparan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan penting, antara lain sebagai berikut, Muhammad Abduh terlahir dengan memiliki kecerdasan. Semakin tumbuh dewasa semakin nampak ketidakpuasan terhadap apa yang diketahui dan dialaminya. Hal ini terlihat dari pencarian sumber ilmu pengetahuan dan pelajaran yang baru, yang berbeda dengan metode keilmuan sebelumnya. Pertemuan dengan Jamaluddin al-Afgani menjadi tonggak sejarah baru. Abduh tampil untuk menjadi seorang pemikir dan pembaharu. Ketertarikan terhadap teologi Mu‟tazilah memicu Abduh untuk mengusung rasionalitas dalam memahami ajaran-ajaran agama. Pemikiran-pemikiran Abduh ini dituangkan dalam pengajaran dan karya-karya ilmiah. Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang tokoh Islam yaitu Sayyid amaluddin al-Afghani, Syekh Muhamamd Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha. Tokoh ketigalah yang mendominasi penyusunan tafsir tersebut. Gaya pemikiran dan penafsiran Muhammad Abduh antara lain menerapkan dua landasan pokok yaitu, mengukuhkan peranan akal dan pentingnya kondisi sosial kemasyarakatan. Dua landasan pokok tersebut lebih jauh dijabarkan dalam Sembilan prnsip pemikiran dan penafsiran dalam karya-karya Abduh dan sebagian karya murid-muridnya.
Daftar Pustaka
al-Qattan, Manna’ Khalil , Studi Ilmu-ilmu Islam (Surabaya, Litera AntarNusa, 2013)
Supiana, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002)
Syihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), ctk. I
Usman. Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Teras. 2009)
Abdullah, Dudung, Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir alManar, Ar-Risalah,vol.11, nomor 2, November 2011
Shihab, M. Quraish, Studi kritis tafsir Al Manar (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994) cet.ke-1,
Jalaluddin, Usman Said, filsafat pendidikan Islam :Konsep dan perkembangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999)
Shihab, M. Quraish, Rasionalitas Al-Qur‟an,Studi Kelas Atas Tafsir Al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
Adz- Dzahabi, Muhammad Husein, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Beirut : Dar Al-Arqam



[1] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Islam (Surabaya, Litera AntarNusa, 2013), h.512.
[2] Supiana, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 316-317.
[3] Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), ctk. I, hlm. 108
[4] Usman. Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Teras. 2009). Hal. 204.
[5] Dudung Abdullah, Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir alManar, Ar-Risalah,vol.11, nomor 2, November 2011.
[6]M. Quraish Shihab, Studi kritis tafsir Al Manar (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994) cet.ke-1, hal 11.
[7]Jalaluddin dan Usman Said, filsafat pendidikan Islam :Konsep dan perkembangan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), hal 154.
[8] M. Quraish Shihab, Studi kritis..Op.cit  hal 13.
[9] Ibid hal 14-15
[10] Ibid  hal 61-63
[11] M. Quraish Shihab,Rasionalitas Al-Qur‟an,Studi Kelas Atas Tafsir Al-Manar(Jakarta: Lentera Hati, 2006), h.11.
[12] Muhamamd Rasyid Ridha,Tafsir Al-Manar (Kairo: Dar Al-Manar, 1367 H), h. 62.

[13] Muhammad Husein Adz- Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Beirut : Dar Al-Arqam, tt hal 391-392
[14] Ibid. hal.393

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!