Disusun Oleh : Irhas
BAB I
A. PENDAHULUAN
Al Qur’an
merupakan satu mukjizat yang sesuai untuk semua zaman, keadaan dan juga tempat.
Oleh itu, ia memerlukan satu penafsiran yang kukuh untuk memudahkan orang awam
memahami kandungan Al Qur’an dan seterusnya dapat menghayati segala isi
kandungannya.
Al
Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang tidak ada keraguan di dalamnya, namun
sebagian para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an memasukkan ide-ide atau
cerita-cerita dari kalangan Yahudi atau Nasrani yang telah masuk Islam.
Ada dua pendekatan
yang digunakan dalam menafsirkan Al Qur’an, yaitu Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir
Bir Ra’yi. Tafsir Bil Ma’tsur ada tiga macam, yaitu Tafsir Al Qur’an bi Al
Qur’an, Tafsir Al Qur’an bi As-Sunnah,
Tafsir al-Qur’an bi Atsar
As Shahabi. Sedangkan Tafsir bi Ra’yi dalam penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan akal
dan ijtihad. Masing-masing pendekatan memiliki kelemahan dan kelebihan. Salah
satu kelemahan yang dimiliki tafsir yang menggunakan pendekatan Al Ma’tsur
adalah masuknya unsur-unsur Israiliyat ke dalamnya.
B. PEMBAHASAN
a. Pengertian Israiliyat
Kata “Israiliyat” secara ditinjau dari segi bahasa merupakan
bentuk jamak dari kata “Israiliyah”, yaitu suatu nama yang dinisbahkan
kepada Israil yang berasal dari bahasa Ibrani artinya ‘abdun atau hamba dan
‘il yang bermakna Allah, jadi kata Isrāil berarti “hamba Allah”. Kaitannya dengan Israiliyat,
maka yang dimaksud dengan Israil adalah Nabi Ya’kub bin Ishaq bin Ibrahim as.[1]
Hal ini berdasarkan sebuah hadits riwayat Abu Daud At-Tayalisi dari Abdullah bin
Abbas ra. yang artinya: “Sekelompok orang yahudi telah datang kepada Nabi, lalu
nabi bertanya kepada mereka: tahukah anda sekalian bahwa sesungguhnya Israil
itu adalah Nabi Ya’kub? Mereka menjawab, benar![2]
Israiliyat menurut Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi ialah kisah dan
dongeng kuno yang disusupkan dalam tafsir dan hadits yang asal periwayatannya
kembali kepada sumbernya, yaitu : Yahudi dan Nasrani. Dan beliau juga
mendefinisikan Israiliyyat sebagai kisah-kisah yang
sengaja diciptakan dan disisipkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir al-Qur’an dengan tujuan untuk merusak
kesucian Islam dan al-Qur’an. [3]
Definisi Israiliyat, menurut Sayyid
Ahmad Khalil, ialah riwayat-riwayat yang berasal dari Ahli Kitab, baik yang
berhubungan dengan agama mereka ataupun yang tidak ada hubungannya sama sekali
dengannya. Penisbatan riwayat isarailiya kepada orang-orang Yahudi karena pada
umumnya para perawinya berasal dari kalangan mereka yang sudah masuk islam.[4]
Sedangkan Israiliyyat menurut asy-Syarbasi, adalah
kisah-kisah dan berita-berita yang berhasil diselundupkan oleh orang-orang
Yahudi ke dalam Islam. Kisah-kisah dan kebohongan mereka kemudian diserap oleh
umat Islam. Selain dari Yahudi, mereka pun menyerapnya dari yang lainnya.
Dari
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Isrāiliyāt adalah kisah-kisah atau
cerita-cerita yang disisip dalam penafsiran al-Quran yang berasal dari Yahudi
dan Nasrani yang telah memeluk agama Islam. Ulama-ulama di atas sepakat bahwa
yang menjadi sumber Israiliyat adalah Yahudi dan nasrani dengan penekanan bahwa
Yahudliah sumber utamanya sebagaimana tercermin dari kata Israiliyyat sendiri.[5] Cerita-cerita
tersebut digunakan dalam Ulumul Quran dan sangat berpengaruh terhadap
riwayat-riwayat bi Ma’tsur”, kebanyakan berita Israiliyat adalah khurafat, asathir dan akadzib yang dapat
merusak aqidah umat Islam.
b. Transformasi Israiliyat ke Dalam
Tafsir
Masuknya riwayat Israiliyat kedalam tafsir Quran merupakan
hal yang sulit dihindari sejak zaman dahulu. Apabila
ditinjau dari historis, mayoritas orang-orang yahudi telah berpindah ke daerah
Jazirah Arab untuk menghindari tekanan dan penindasan yang dilakukan oleh
bangsa Romawi dan mereka sering melakukan penjajahan baik kearah barat maupun
ke arah timur.
Dengan masuk Islamnya ahli kitab itu, maka terbawa pulalah
bersama mereka itu kebudayaan mereka tentang berita-berita dan kisah-kisah
agama.
Ketika mereka membaca kisah-kisah yang terdapat dalam Al
Qur’an, maka mereka itu mengemukakan pula dengan terperinci uraian-uraian yang
terdapat di dalam kitab-kitab mereka. Sahabat-sahabat nabi tertegun mendengar
kisah-kisah yang dikemukakan oleh ahli-ahli kitab itu. Namun mereka tetap
menurut perintah Rasulullah saw. Janganlah kamu benarkan ahli kitab jangan pula
kamu dustakan. Dan katakanlah, kami percaya kepada Allah dan apa-apa yang
diturunkan kepada kami. Kadang-kadang terjadi diskusi antara sahabat dan ahli
kitab itu, mengenai uraian yang terperinci. Adakalanya sahabat menerima
sebagian dari apa yang dikemukakan oleh ahli kitab itu selama masalah ini tidak
menyangkut akidah dan tidak berhubungan dengan hukum-hukum.[6]
Namun
para sahabat setelahnya menerima berita-berita dari orang-orang Yahudi dan
Nasrani yang masuk Islam, lalu mereka memasukkannya ke dalam tafsir tanpa lebih
dahulu mengoreksinya. Para
Mufassir pada masa itu sangat berbaik sangka terhadap Ahli Kitab, mereka
menerima segala berita yang disampaikan Ahli Kitab, para mufassir menganggap
bahwa ahlul Kitab tidak akan berdusta setelah mereka masuk Islam.
Masalah Israiliyat dalam tafsir al-Quran erat sekali
hubunganya dengan masyarakat arab jahiliyah. Pedagang arab banyak melakukan
perjalanan dagang (Rihlah) pada musim dingin (ke negeri Yaman) dan pada musim
panas (ke negeri Syam), QS. Al Quraisy: 2).[7]
Para ulama
Tafsir mempunyai pandangan yang berbeda tentang kebolehan meriwayatkan
berita-berita yang berkenaan dengan Israiliyat dalam Tafsir Al Qur’an, diantaranya:
Maka dapat diklasifikasikan sikap ulama terutama ulama Ahli
Tafsir terhadap Isrāiliyāt sebagai berikut:
1.
Di antara mereka ada yang banyak
meriwayatkan kisah Israiliyat dengan menyebutkan sanad-sanadnya dan berpandangan
bahwa dengan menyebutkan sanadnya maka telah gugur tanggung jawabnya. Di antara
mereka adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari.
2.
Di
antara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah-kisah Israiliyat dan kebanyakan tanpa menyertakan sanadnya, maka
mereka ibarat pencari kayu bakar di malam hari. Cara seperti ini dilakukan
al-Baghawi di dalam tafsirnya yang dinilai oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah
sebagai ringkasan dari tafsir ats-Tsa’alabi. hanya saja Al-Baghawi menjaga
tafsirnya dari hadits-hadits palsu dan pemikiran-pemikiran yang bid’ah.
Sedangkan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah
menyebut ats-Tsa’alabi sebagai seorang pencari kayu bakar di malam hari karena
Tsa’labi menukilkan semua yang dia dapati dari kitab-kitab tafsir baik shahih,
dha’if ataupun maudhu’.
3.
Di
antara mereka ada yang hanya menyinggung dan mengomentari riwayat Israiliyat
dengan menyebut kelemahannya atau mengingkarinya seperti yang dilakukan Ibn
Katsir.
4.
Di
antara mereka ada yang berlebihan dalam menolak kisah-kisah Israiliyat dan sama sekali tidak
menyebutkan dalam kitab tafsir al-Qur’annya. seperti yang dilakukan Muhammad
Rasyid Ridha.
c. Tokoh-tokoh Israiliyat
Kisah-kisah Israiliyat dalam Tafsir Al Qur’an, berkembang
atau tidaknya terlepas dari adanya tokoh-tokoh Yahudi dan Nasrani yang sudah
masuk Islam, seperti beberapa tokoh berikut ini:
1. Abdullah Bin Salam (w. 43 H).
Menurut hadits yang
dirawayatkan oleh Bukhari Abdullah bin Salam termasuk orang
Yahudi yang terpandai pandai dan
mempunyai kedudukan yang tinggi. Az Zahabi memberikan peringatan agar berhati-hati
dalam mengambil sikap terhadap orang Yahudi dan Nasrani, sebagaimana juga
halnya Abdullah bin Salam. Artinya jangan menolak ataupun
menerima semuanya terhadap apa-apa yang diriwayatkannya.[8]
2. Ka’ab Al-Akhbari (w. 32 H).
Abu Ishak Ka’ab bin Mati’ Al Himyari adalah Yahudi yang berasal dari
Yaman. Sebelum muslim dia dikenal sebagai pendeta yang banyak mengetahui
tentang Taurat sehingga digelar Ka’ab Al Akhbar dan setelah Muslim dia tidak
meninggalkan ajaran lamanya.
Namun Adz-Dzahabi
tidak dapat memastikan tentang kejujuran dan keadilannya, akan tetapi ia juga
tidak menuduh Ka’ab sebagai pembohong. Karena Ibnu ’Abbas dan Abu Hurairah
banyak mengambil pengetahuan dari Ka’ab. Begitu juga dengan Muslim, Turmuzi,
Abu Daud dan Nasa’i mengambil dan meriwayatkannya. Az-Zahabi memberi peringatan
agar berhati-hati dalam mengambil sikap terhadap orang Yahudi dan Nasrani
sebagaimana halnya Abdullah bin Salam.[9]
3. Wahab Ibnu Munabbih (w. 110 H)
Wahab Ibnu
Munabbih Al-Yamani. Seorang Yahudi dari Yaman
yang memeluk Islam dan banyak meriwayatkan Isrāiliyāt seperti yang kita jumpai
dalam tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabary.[10] Wahab termasuk ulama Tabi’in yang terpilih dan memiliki
pengetahuan tentang Taurat dan Injil.
Namun Rasyid Ridha meragukan kejujuran dan keadilan, Wahab bin Munabbih
sebagaimana dia meragukan Ka’ab Al-Ahbari. Tetapi sekali lagi penulis melihat
bahwa Rasyid Ridha tidak mempunyai alasan kuat karena hanya ibnu Taimiyah
sendiri yang dijadikan alasan oleh Rasyid Ridha.
d. Contoh Israiliyat
Dalam Tafsir
Israiliyyat ada
yang sejalan dengan Islam. Riwayat itu adalah yang berkaitan dengan sifat-sifat
Nabi Muhammad saw. Dalam riwayat itu dikatakan bahwa Ahli Kitab menemukan
uraian tentang sifat Nabi yang tidak kasar, tidak keras,dan pemurah dalam kitab
suci mereka.[11]
Riwayat itu sejalan dengan firman Allah pada surah al-Maidah : 42, al-Baqarah :
112 dan Yusuf : 28.
Ada beberapa
tema Israiliyyat yang tidak
sesuai dengan Islam :
1. Tentang Kisah
Ya’juj dan Ma’juj (Q.S. Al-Kahfi : 94)
Untuk
menjelaskan kisah di atas, Ibn Jarir ath-Thabari mengemukakan beberapa riwayat israiliyyat
yang diantaranya berasal dari Ibnu Humaid, dari Salmah, dari Muhammad bin
Ishaq, dari Wahhab bin Munabbih. Riwayat ini bercerita tentang bentuk postur
Ya’juj dan Ma’juj. Dikatakan bahwa mereka memiliki kuku dan gigi seperti yang
dimiliki oleh binatang buas. Apabila sedang makan suaranya seperti suara sapi.
Badannya dipenuhi oleh bulu. Kedua telinganya sangat besar, yang bagian luar
dan dalmnya, dipenuhi oleh bulu-bulu halus. Kematian mereka , bailk laki-laki
maupun perempuan, mempunyai indkasi-indikasi khusus. Diantaranya, laki-laki
tidak keluar seribu anak dari tulang rusuknya. Demikian pula, wanitanya tidak
akan mati sebelum dari rahimnya keluar
seribu anak.[12]
Menurut Syuhbah,
dari sisi sanad, penisbatan kepada Nabi, adalah dusta dan merupakan kekeliuan
dari seorang perwai atau dapat juga karena tipu daya orang-orang Yahudi. Matannya pun bertentangan dengan akal dan
nash al-Qur’an sendiri. Bagaimana akal sehat dapat menerima cerita yang
menatakan bahwa Ya’juj dan Ma’juj tidak akan mati sebelum dari tulang rusuknya
keluar seratus anak.
2. Israiliyat tentang
kisah Nabi Ibrahim dan Pembangunan Ka’bah
Kisah Nabi
Ibrahim dan Pembangunan Ka’bah dikemukakan dalam al-Qur’an pada ayat:
“Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Isma’il, seraya berkata, “Ya tuhan kami, terimalah do’a kami (amalan kami).
Sesungguhnya Engkau Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)
Para ahli tafsir
berbeda pendapat tentang fondasi (qawa’id) yang dibangun oleh Nabi
Ibrahim dan putranya, Isma’il. Apakah baru atau hanya meneruskan sisa bangunan
yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini, ath-Thabari mengemukakan sebuah
riwayat Israiliyyat yang diterimanya dari al-Hassan in Yahya, dari Abdu
ar-Razzaq, dari Hasyim bin Hasan, dari Suwar, dari Atha bin Abi Rabbah mengatakan
bahwa ketika Nabi Adama turun dari langit, kedua kakinya berada di bumi,
sedangkan kepalanya berada di langit mendengarkan pembicaraan ahli langit yang
sedang berdo’a. para malaikat mengadu kepada Allah dalam shalat dan do’a mereka
sebagai rasa kasihan kepadanya. Allah kemudian menurunkan kepala Nabi Adam as
ke bumi. Ketika tidak mendengar apa-apa yang diucapkan penghuni langit, Ia
merasa risau sehingga mengadu kepada Allah dalam shalat dan berdo’a. ia
menghadapkan diri ke Mekkah. Allah kemudian menurunkan Yaqut dari surga yang
sekarang berada Baitullah. Yaqut itu berputar hingga akhurnya jatuh
karena hempasan angin topan. Yaqut inilah yang kemudian dijadikan batu pertama
untuk membangun Ka’bah.[13]
Ath-Thabari pun
mengemukakan sebuah riwayat dari Ka’ab al-Akhbar yang mengatakan bahwa sebelum
Allah menciptakan Baitullah itu berupa buih di atas air, dari benda ini pula
bumi dibentangkan.[14]
3. Israiliyat tentang
kenaikan Isa al-Masih
Dari sekian
kisah Nabi Isa dalam al-Qur’an, satu diantaranya yang menjadi pembicaraan
hangat adalah tentang kenaikannya ke langit. Kisah itu terdapat pada ayat:
“Tetapi
(yang sebenarnya) Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’:
158)
Al-Qur’an
memang tidak membahas secara terperinci bagaimana proses penyerupaan dan
kenaikan Nabi Isa as, sehingga persoalan ini kerapkali menjadi bahan
kontroversi dikalangan umat Islam. Umpamanya masih diperselisihkan apakah yang
diserupakan dengannya itu dan kemudian dibunuh oleh orang-orang Yahudi, hanya
satu orang atau semua sahabat Nabi Isa yang ketika kejadian itu dipastikan
berada satu rumah dengannya. Ath-Thabari mengemukakan dua riwayat yang
masing-masing didukung oleh banyak sanad. Riwayat pertama berasal dari Wahhab
bin Munabbih yang mengatakan bahwa yang diserupakan dengan wajah Nabi Isa
adalah seluruh sahabatnya. Ketika memasuki rumah tersebut dan hendak
membunuhnya, orang-orang Yahudi kebingungan karena seisi rumah itu wajahnya
sama. Akhirnya, mereka membunuh salah seorang sahabatnya, sedangkan Ia sendiri
diangkat ke langit.[15] Riwayat
kedua berasal dari Qatadah mengatakan bahwa yang diserupakan dengannya adalah
salah seorang sahabatnya saja. Ketika masuk, orang-orang Yahudi kemudian
membunuh orang yang diserupakan itu, sedangkan Nabi Isa sendiri diangkat ke
langit.[16]
C.
KESIMPULAN
Dalam menyikapi
masalah Israiliyat, kaum muslimin mengeluarkan berbagai argumen terhadapnya,
ada beberapa pengaruh negatif di dalamnya seperti memalingkan perhatian umat Islam
dari sumber yang sebenarnya, yaitu maksud dan tujuan yang terkandung dalam al-Qur’an
dan memberi kesan bahwa Islam itu takhayul dan kurafat, ini akan merusak citra Islam
dan aqidah umat Islam.
Dalam menyikapi
hal tersebut, umat Islam harus bersikap lapang dada berpegang pada
sumber-sumber yang shahih dan dapat dipercaya dalam memecahkan masalah
tersebut, diantaranya:
a.
Menyeleksi
kitab-kitab yang berpengaruh Israiliyat.
b.
Dalam
menafsirkan al-Qur’an harus kritis dan selektif terhadap riwayat Israiliyat.
[1] Muhammad Farij
Wajdi, Daurah Ma’arij al-Qur’an al-Rabi’ Asyar al-Isyrin, Juz I, (Dar
al-Ma’rifah, t.t), hal .280.
[2] Drs. Abu Anwar, M. Ag, , Ulumul Quran
Sebuah Pengantar, Dalam Al Qur’an kata Israil juga
dipakai dengan nama Nabi Ya’kub as, dan kepadanya juga bangsa Yahudi
dinisbahkan, sehingga dia disebut Bani Israil. (Jakarta: Amzah, 200),.hal. 106.
[3] Muhammad Husein
adz-Dzahabi, al-Israiliyyat di a-Tafsir wa al-Hadits, (Kairo: Maktabah Wahdah,1990), hal. 13
[4] Sayyid Ahmad Khalil,
Dirasat fi al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Ma’rifah, 1961), hal. 113.
[5] Ibid.
hal. 115
[6] Syaikh Manna’ al-Qaththan,
Pembahasan Ilmu Al-Quran 2, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1995), hal. 197
[8] Drs. Abu Anwar, M. Ag, Ulumul Quran.. Kalau
yang diriwayatkannya itu benar dan tidak bertentangan dengan syara’ serta masuk
akal (rasional), maka tidak harus ditolak, dan hendaknya jangan menuduh tanpa
dasar dan alasan yang kuat akan keadilan dan kejujurannya, hal. 112.
[9] Ibid, hal. 113
[11] Ibn Jarir ath-Thabari, Jami’
al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid VI, (Beirut: Dal al-Fikr, 1988), hal.
83.
[12] Iid, hal.19.
[13] Muhammad Ibn
Muhammad Syuhbah, al-Israiliyyat wa al-Maudhu’at fi Kutub at-Tafsir,
(Kairo; Maktabah as-Sunnah, 1408 H), hal. 549.
[14] Ibid, hal.
561
[15] Ibid, hal. 12.
[16] Ibid, hal. 14.
0 komentar:
Posting Komentar