Selasa, 03 Februari 2015



Disusun Oleh : Irhas


BAB I

A. PENDAHULUAN
Al Qur’an merupakan satu mukjizat yang sesuai untuk semua zaman, keadaan dan juga tempat. Oleh itu, ia memerlukan satu penafsiran yang kukuh untuk memudahkan orang awam memahami kandungan Al Qur’an dan seterusnya dapat menghayati segala isi kandungannya.
Al Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang tidak ada keraguan di dalamnya, namun sebagian para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat           al-Qur’an memasukkan ide-ide atau cerita-cerita dari kalangan Yahudi atau Nasrani yang telah masuk Islam.
Ada dua pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan Al Qur’an, yaitu Tafsir Bil Ma’tsur dan Tafsir Bir Ra’yi. Tafsir Bil Ma’tsur ada tiga macam, yaitu Tafsir Al Qur’an bi Al Qur’an, Tafsir Al Qur’an bi As-Sunnah,  Tafsir        al-Qur’an bi Atsar As Shahabi. Sedangkan Tafsir bi Ra’yi dalam penafsiran              al-Qur’an dengan menggunakan akal dan ijtihad. Masing-masing pendekatan memiliki kelemahan dan kelebihan. Salah satu kelemahan yang dimiliki tafsir yang menggunakan pendekatan Al Ma’tsur adalah masuknya unsur-unsur Israiliyat ke dalamnya.

B. PEMBAHASAN
a. Pengertian Israiliyat
Kata “Israiliyat” secara ditinjau dari segi bahasa merupakan bentuk jamak dari kata “Israiliyah”, yaitu suatu nama yang dinisbahkan kepada Israil yang berasal dari bahasa Ibrani artinya ‘abdun atau hamba dan ‘il yang bermakna Allah, jadi kata Isrāil berarti “hamba Allah”. Kaitannya dengan Israiliyat, maka yang dimaksud dengan Israil adalah Nabi Ya’kub bin Ishaq bin Ibrahim as.[1] Hal ini berdasarkan sebuah hadits riwayat Abu Daud At-Tayalisi dari Abdullah bin Abbas ra. yang artinya: “Sekelompok orang yahudi telah datang kepada Nabi, lalu nabi bertanya kepada mereka: tahukah anda sekalian bahwa sesungguhnya Israil itu adalah Nabi Ya’kub? Mereka menjawab, benar![2]
Israiliyat menurut Dr. Muhammad Husain Adz-Dzahabi ialah kisah dan dongeng kuno yang disusupkan dalam tafsir dan hadits yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya, yaitu : Yahudi dan Nasrani. Dan beliau juga mendefinisikan Israiliyyat sebagai kisah-kisah yang sengaja diciptakan dan disisipkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir al-Qur’an dengan tujuan untuk merusak kesucian Islam dan al-Qur’an. [3]
Definisi Israiliyat, menurut Sayyid Ahmad Khalil, ialah riwayat-riwayat yang berasal dari Ahli Kitab, baik yang berhubungan dengan agama mereka ataupun yang tidak ada hubungannya sama sekali dengannya. Penisbatan riwayat isarailiya kepada orang-orang Yahudi karena pada umumnya para perawinya berasal dari kalangan mereka yang sudah masuk islam.[4]
Sedangkan Israiliyyat menurut asy-Syarbasi, adalah kisah-kisah dan berita-berita yang berhasil diselundupkan oleh orang-orang Yahudi ke dalam Islam. Kisah-kisah dan kebohongan mereka kemudian diserap oleh umat Islam. Selain dari Yahudi, mereka pun menyerapnya dari yang lainnya.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Isrāiliyāt adalah kisah-kisah atau cerita-cerita yang disisip dalam penafsiran al-Quran yang berasal dari Yahudi dan Nasrani yang telah memeluk agama Islam. Ulama-ulama di atas sepakat bahwa yang menjadi sumber Israiliyat adalah Yahudi dan nasrani dengan penekanan bahwa Yahudliah sumber utamanya sebagaimana tercermin dari kata Israiliyyat sendiri.[5] Cerita-cerita tersebut digunakan dalam Ulumul Quran dan sangat berpengaruh terhadap riwayat-riwayat bi Ma’tsur”, kebanyakan berita Israiliyat adalah khurafat, asathir dan akadzib yang dapat merusak aqidah umat Islam.
b. Transformasi Israiliyat ke Dalam Tafsir
Masuknya riwayat Israiliyat kedalam tafsir Quran merupakan hal yang sulit dihindari sejak zaman dahulu. Apabila ditinjau dari historis, mayoritas orang-orang yahudi telah berpindah ke daerah Jazirah Arab untuk menghindari tekanan dan penindasan yang dilakukan oleh bangsa Romawi dan mereka sering melakukan penjajahan baik kearah barat maupun ke arah timur.
Dengan masuk Islamnya ahli kitab itu, maka terbawa pulalah bersama mereka itu kebudayaan mereka tentang berita-berita dan kisah-kisah agama.
Ketika mereka membaca kisah-kisah yang terdapat dalam Al Qur’an, maka mereka itu mengemukakan pula dengan terperinci uraian-uraian yang terdapat di dalam kitab-kitab mereka. Sahabat-sahabat nabi tertegun mendengar kisah-kisah yang dikemukakan oleh ahli-ahli kitab itu. Namun mereka tetap menurut perintah Rasulullah saw. Janganlah kamu benarkan ahli kitab jangan pula kamu dustakan. Dan katakanlah, kami percaya kepada Allah dan apa-apa yang diturunkan kepada kami. Kadang-kadang terjadi diskusi antara sahabat dan ahli kitab itu, mengenai uraian yang terperinci. Adakalanya sahabat menerima sebagian dari apa yang dikemukakan oleh ahli kitab itu selama masalah ini tidak menyangkut akidah dan tidak berhubungan dengan hukum-hukum.[6]
Namun para sahabat setelahnya menerima berita-berita dari orang-orang Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam, lalu mereka memasukkannya ke dalam tafsir tanpa lebih dahulu mengoreksinya. Para Mufassir pada masa itu sangat berbaik sangka terhadap Ahli Kitab, mereka menerima segala berita yang disampaikan Ahli Kitab, para mufassir menganggap bahwa ahlul Kitab tidak akan berdusta setelah mereka masuk Islam.
Masalah Israiliyat dalam tafsir al-Quran erat sekali hubunganya dengan masyarakat arab jahiliyah. Pedagang arab banyak melakukan perjalanan dagang (Rihlah) pada musim dingin (ke negeri Yaman) dan pada musim panas (ke negeri Syam), QS. Al Quraisy: 2).[7]
Para ulama Tafsir mempunyai pandangan yang berbeda tentang kebolehan meriwayatkan berita-berita yang berkenaan dengan Israiliyat dalam Tafsir Al Qur’an, diantaranya:
Maka dapat diklasifikasikan sikap ulama terutama ulama Ahli Tafsir terhadap Isrāiliyāt sebagai berikut:
1.    Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah Israiliyat dengan menyebutkan sanad-sanadnya dan berpandangan bahwa dengan menyebutkan sanadnya maka telah gugur tanggung jawabnya. Di antara mereka adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari.
2.    Di antara mereka ada yang banyak meriwayatkan kisah-kisah Israiliyat dan kebanyakan tanpa menyertakan sanadnya, maka mereka ibarat pencari kayu bakar di malam hari. Cara seperti ini dilakukan al-Baghawi di dalam tafsirnya yang dinilai oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah sebagai ringkasan dari tafsir ats-Tsa’alabi. hanya saja Al-Baghawi menjaga tafsirnya dari hadits-hadits palsu dan pemikiran-pemikiran yang bid’ah. Sedangkan Syaikhul Islam Ibn Taimiyah menyebut ats-Tsa’alabi sebagai seorang pencari kayu bakar di malam hari karena Tsa’labi menukilkan semua yang dia dapati dari kitab-kitab tafsir baik shahih, dha’if ataupun maudhu’.
3.    Di antara mereka ada yang hanya menyinggung dan mengomentari riwayat Israiliyat dengan menyebut kelemahannya atau mengingkarinya seperti yang dilakukan Ibn Katsir.
4.    Di antara mereka ada yang berlebihan dalam menolak kisah-kisah Israiliyat dan sama sekali tidak menyebutkan dalam kitab tafsir al-Qur’annya. seperti yang dilakukan Muhammad Rasyid Ridha.
c. Tokoh-tokoh Israiliyat
Kisah-kisah Israiliyat dalam Tafsir Al Qur’an, berkembang atau tidaknya terlepas dari adanya tokoh-tokoh Yahudi dan Nasrani yang sudah masuk Islam, seperti beberapa tokoh berikut ini:
1. Abdullah Bin Salam (w. 43 H).
Menurut hadits yang dirawayatkan oleh Bukhari Abdullah bin Salam termasuk orang Yahudi yang terpandai pandai dan mempunyai kedudukan yang tinggi. Az Zahabi memberikan peringatan agar berhati-hati dalam mengambil sikap terhadap orang Yahudi dan Nasrani, sebagaimana juga halnya Abdullah bin Salam. Artinya jangan menolak ataupun menerima semuanya terhadap apa-apa yang diriwayatkannya.[8]
2. Ka’ab Al-Akhbari (w. 32 H).
Abu Ishak Ka’ab bin Mati’ Al Himyari adalah Yahudi yang berasal dari Yaman. Sebelum muslim dia dikenal sebagai pendeta yang banyak mengetahui tentang Taurat sehingga digelar Ka’ab Al Akhbar dan setelah Muslim dia tidak meninggalkan ajaran lamanya.
Namun Adz-Dzahabi tidak dapat memastikan tentang kejujuran dan keadilannya, akan tetapi ia juga tidak menuduh Ka’ab sebagai pembohong. Karena Ibnu ’Abbas dan Abu Hurairah banyak mengambil pengetahuan dari Ka’ab. Begitu juga dengan Muslim, Turmuzi, Abu Daud dan Nasa’i mengambil dan meriwayatkannya. Az-Zahabi memberi peringatan agar berhati-hati dalam mengambil sikap terhadap orang Yahudi dan Nasrani sebagaimana halnya Abdullah bin Salam.[9]
3. Wahab Ibnu Munabbih (w. 110 H)
Wahab Ibnu Munabbih Al-Yamani. Seorang Yahudi dari Yaman yang memeluk Islam dan banyak meriwayatkan Isrāiliyāt seperti yang kita jumpai dalam tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabary.[10] Wahab termasuk ulama Tabi’in yang terpilih dan memiliki pengetahuan  tentang Taurat dan Injil. Namun Rasyid Ridha meragukan kejujuran dan keadilan, Wahab bin Munabbih sebagaimana dia meragukan Ka’ab Al-Ahbari. Tetapi sekali lagi penulis melihat bahwa Rasyid Ridha tidak mempunyai alasan kuat karena hanya ibnu Taimiyah sendiri yang dijadikan alasan oleh Rasyid Ridha.

d. Contoh Israiliyat Dalam Tafsir
 Israiliyyat ada yang sejalan dengan Islam. Riwayat itu adalah yang berkaitan dengan sifat-sifat Nabi Muhammad saw. Dalam riwayat itu dikatakan bahwa Ahli Kitab menemukan uraian tentang sifat Nabi yang tidak kasar, tidak keras,dan pemurah dalam kitab suci mereka.[11] Riwayat itu sejalan dengan firman Allah pada surah al-Maidah : 42, al-Baqarah : 112 dan Yusuf : 28.
Ada beberapa tema Israiliyyat  yang tidak sesuai dengan Islam :  
1. Tentang Kisah Ya’juj dan Ma’juj (Q.S. Al-Kahfi : 94)
Untuk menjelaskan kisah di atas, Ibn Jarir ath-Thabari mengemukakan beberapa riwayat israiliyyat yang diantaranya berasal dari Ibnu Humaid, dari Salmah, dari Muhammad bin Ishaq, dari Wahhab bin Munabbih. Riwayat ini bercerita tentang bentuk postur Ya’juj dan Ma’juj. Dikatakan bahwa mereka memiliki kuku dan gigi seperti yang dimiliki oleh binatang buas. Apabila sedang makan suaranya seperti suara sapi. Badannya dipenuhi oleh bulu. Kedua telinganya sangat besar, yang bagian luar dan dalmnya, dipenuhi oleh bulu-bulu halus. Kematian mereka , bailk laki-laki maupun perempuan, mempunyai indkasi-indikasi khusus. Diantaranya, laki-laki tidak keluar seribu anak dari tulang rusuknya. Demikian pula, wanitanya tidak akan mati sebelum dari rahimnya  keluar seribu anak.[12]
Menurut Syuhbah, dari sisi sanad, penisbatan kepada Nabi, adalah dusta dan merupakan kekeliuan dari seorang perwai atau dapat juga karena tipu daya orang-orang Yahudi.  Matannya pun bertentangan dengan akal dan nash al-Qur’an sendiri. Bagaimana akal sehat dapat menerima cerita yang menatakan bahwa Ya’juj dan Ma’juj tidak akan mati sebelum dari tulang rusuknya keluar seratus anak.
2. Israiliyat tentang kisah Nabi Ibrahim dan Pembangunan Ka’bah
Kisah Nabi Ibrahim dan Pembangunan Ka’bah dikemukakan dalam al-Qur’an pada ayat:
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Isma’il, seraya berkata, “Ya tuhan kami, terimalah do’a kami (amalan kami). Sesungguhnya Engkau Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 127)
Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang fondasi (qawa’id) yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Isma’il. Apakah baru atau hanya meneruskan sisa bangunan yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini, ath-Thabari mengemukakan sebuah riwayat Israiliyyat yang diterimanya dari al-Hassan in Yahya, dari Abdu ar-Razzaq, dari Hasyim bin Hasan, dari Suwar, dari Atha bin Abi Rabbah mengatakan bahwa ketika Nabi Adama turun dari langit, kedua kakinya berada di bumi, sedangkan kepalanya berada di langit mendengarkan pembicaraan ahli langit yang sedang berdo’a. para malaikat mengadu kepada Allah dalam shalat dan do’a mereka sebagai rasa kasihan kepadanya. Allah kemudian menurunkan kepala Nabi Adam as ke bumi. Ketika tidak mendengar apa-apa yang diucapkan penghuni langit, Ia merasa risau sehingga mengadu kepada Allah dalam shalat dan berdo’a. ia menghadapkan diri ke Mekkah. Allah kemudian menurunkan Yaqut dari surga yang sekarang berada Baitullah. Yaqut itu berputar hingga akhurnya jatuh karena hempasan angin topan. Yaqut inilah yang kemudian dijadikan batu pertama untuk membangun Ka’bah.[13]
Ath-Thabari pun mengemukakan sebuah riwayat dari Ka’ab al-Akhbar yang mengatakan bahwa sebelum Allah menciptakan Baitullah itu berupa buih di atas air, dari benda ini pula bumi dibentangkan.[14]
3. Israiliyat tentang kenaikan Isa al-Masih
Dari sekian kisah Nabi Isa dalam al-Qur’an, satu diantaranya yang menjadi pembicaraan hangat adalah tentang kenaikannya ke langit. Kisah itu terdapat pada ayat:
“Tetapi (yang sebenarnya) Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’: 158)
Al-Qur’an memang tidak membahas secara terperinci bagaimana proses penyerupaan dan kenaikan Nabi Isa as, sehingga persoalan ini kerapkali menjadi bahan kontroversi dikalangan umat Islam. Umpamanya masih diperselisihkan apakah yang diserupakan dengannya itu dan kemudian dibunuh oleh orang-orang Yahudi, hanya satu orang atau semua sahabat Nabi Isa yang ketika kejadian itu dipastikan berada satu rumah dengannya. Ath-Thabari mengemukakan dua riwayat yang masing-masing didukung oleh banyak sanad. Riwayat pertama berasal dari Wahhab bin Munabbih yang mengatakan bahwa yang diserupakan dengan wajah Nabi Isa adalah seluruh sahabatnya. Ketika memasuki rumah tersebut dan hendak membunuhnya, orang-orang Yahudi kebingungan karena seisi rumah itu wajahnya sama. Akhirnya, mereka membunuh salah seorang sahabatnya, sedangkan Ia sendiri diangkat ke langit.[15] Riwayat kedua berasal dari Qatadah mengatakan bahwa yang diserupakan dengannya adalah salah seorang sahabatnya saja. Ketika masuk, orang-orang Yahudi kemudian membunuh orang yang diserupakan itu, sedangkan Nabi Isa sendiri diangkat ke langit.[16]

C. KESIMPULAN
Dalam menyikapi masalah Israiliyat, kaum muslimin mengeluarkan berbagai argumen terhadapnya, ada beberapa pengaruh negatif di dalamnya seperti memalingkan perhatian umat Islam dari sumber yang sebenarnya, yaitu maksud dan tujuan yang terkandung dalam al-Qur’an dan memberi kesan bahwa Islam itu takhayul dan kurafat, ini akan merusak citra Islam dan aqidah umat Islam.
Dalam menyikapi hal tersebut, umat Islam harus bersikap lapang dada berpegang pada sumber-sumber yang shahih dan dapat dipercaya dalam memecahkan masalah tersebut, diantaranya:
a.    Menyeleksi kitab-kitab yang berpengaruh Israiliyat.
b.    Dalam menafsirkan al-Qur’an harus kritis dan selektif terhadap riwayat Israiliyat.







[1] Muhammad Farij Wajdi, Daurah Ma’arij al-Qur’an al-Rabi’ Asyar al-Isyrin, Juz I, (Dar al-Ma’rifah, t.t), hal .280.
[2] Drs. Abu Anwar, M. Ag, , Ulumul Quran Sebuah Pengantar, Dalam Al Qur’an kata Israil juga dipakai dengan nama Nabi Ya’kub as, dan kepadanya juga bangsa Yahudi dinisbahkan, sehingga dia disebut Bani Israil. (Jakarta: Amzah, 200),.hal. 106.
[3] Muhammad Husein adz-Dzahabi, al-Israiliyyat di a-Tafsir wa al-Hadits,  (Kairo: Maktabah Wahdah,1990), hal. 13
[4] Sayyid Ahmad Khalil, Dirasat fi al-Qur’an, (Mesir: Dar al-Ma’rifah, 1961), hal. 113.
[5] Ibid. hal. 115
[6] Syaikh Manna’ al-Qaththan, Pembahasan Ilmu Al-Quran 2, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hal. 197
[7] Drs. Abu Anwar, M. Ag, Ulumul Quran Sebuah Pengantar, (Jakarta: Amzah, 2005), hal. 107.
[8] Drs. Abu Anwar, M. Ag, Ulumul Quran.. Kalau yang diriwayatkannya itu benar dan tidak bertentangan dengan syara’ serta masuk akal (rasional), maka tidak harus ditolak, dan hendaknya jangan menuduh tanpa dasar dan alasan yang kuat akan keadilan dan kejujurannya, hal. 112.
[9] Ibid, hal. 113
[10] Ibid, hal. 114.
[11] Ibn Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Jilid VI, (Beirut: Dal al-Fikr, 1988), hal. 83.
[12] Iid, hal.19.
[13] Muhammad Ibn Muhammad Syuhbah, al-Israiliyyat wa al-Maudhu’at fi Kutub at-Tafsir, (Kairo; Maktabah as-Sunnah, 1408 H), hal. 549.
[14] Ibid, hal. 561
[15] Ibid, hal. 12.
[16] Ibid, hal. 14.

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!