Disusun Oleh : Faizin
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Ajakan untuk melakukan penafsiran
ulang (reinterpretasi) terhadap al-Quransemakin sering terdengar. Penafsiran
ulang tersebut terutama dilakukan terhadap ayat-ayat yang dipandang tidak lagi relevan dengan konteks zaman ini atau
dapat menimbulkan problem dengan penganut agama lain. Hal itu sebagaimana
dinyatakan oleh Endar Riyadi mengenai keharusan melakukan interpretasi
terhadap teks-teks keagamaan yang selama
ini dipandang dan melahirkan cara pandang yang membenci, intoleran dan
tidak ramah terhadap orang-lainagama sebagai salah satu diantara tiga agenda pokok dalam rangka menampilkan kembali
wajah agama (Islam) yang ramah,toleran dan inklusif. Akan tetapi, apakah
setiap orang memiliki otoritas untuk menafsirkan al-Quran? Lantas, siapakah
yang memiliki otoritas untuk menafsirkan al-Qurandan apa saja yang harus dipenuhi olehnya? Tulisan ini mencoba
untuk menjelaskannya.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa saja
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir ?
2.
Sebab pokok
kekeliruan dalam menafsirkan alquran
a. Dari segi mufassir (pelakunya)
b. Dari segi
materi ( sasarannya)
c. Dari segi produk (hasil karya) para musafir tersebut.
C.
TUJUAN
1. Mengetahui
persyaratan yang harus dipenuhi seorang mufassir
2. Mengetahui sebab pokok kekeliruan dalam menafsirkan
alquran
BAB II
PEMBAHASAN
A. SYARAT-SYARAT
MUFASIR
Sebagaimana yang kita maklum, bahwa
Al Qur’an adalah kitab pedoman hidup Al Qur’an (the way of life).
Keterbatasan bahasa Al Qur’an yang mengandung banyak penafsiran harus diuraikan
dengan benar secara metodologis, agar dapat dipahami dan dijadikan pedoman bagi
umat Islam. Membaca dan memahami Al Qur’an memang adalah hak, bahkan kewajiban
setiap umat muslim, namun menafsirkan kandungan ayat Al Qur’an, tidak semua
orang diperbolehkan melakukanya. Terdapat beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi oleh Seorang mufasir. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah
penafsiran (mal Praktek) akibat tidak adanya ilmu yang mumpuni yang dikuasai
mufasir.
Syarat-syarat dari aspek kepribadian
Mufasir adalah kunci pemahaman umat
muslim terhadap Al Qur’an. Yang mana kandungan ayat Al Qur’an mencakup berbagai
aspek kehidupan umat Islam, baik akidah, akhlak, syariah, ibadah dan
sebagainya. Menjadi seorang mufasir sama halnya mengemban amanat yang berat
dari seluruh umat muslim. oleh karena itu, seorang mufasir harus memiliki
kepribadian yang mulia dan nilai-nilai ruhiyah yang luhur dalam menyingkap
hakikat-hakkat makna ayat-ayat Al Qur’an. Diantaranya adalah sebagai berikut:
- Akidah yang benar[1]. Akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya, dan sering kali mendorongnya untuk mengubah nash-nash dan berkhianat dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah kitab tafsir, maka dita’wilkanya kepada madzabnya yang batil guna memalingkan manusia dari mengikuti golongan salaf dan dari jalan petunjuk.
2.
Tidak
mengikuti hawa nafsu Hawa nafsu membawa pemiliknya kepada paham subjektifnya
sekalipun salah dan menolak yang lain, meskipun yang ditolak itu benar.
3.
Berniat
baik dan bertujuan benar Seorang mufasir menafsirkan al Qur’an didasarkan atas iklas
dan mengharap ridho Allah, tidak mengharap kemulyaan dan kehormatan atau
kewibawaan.
4.
Berahlak
mulia Mufasir
bagai seorang pendidik yang didikannya itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa
tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal akhlak dan perbuatan mulia.
5.
Tawadhu
dan lemah lembut Kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh yang menghalangi
antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya[2].
Syarat yang berkaitan dengan aspek
intelektual yang harus dikuasai oleh seorang mufassir ini dibagi menjadi dua,
yaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat manhajiyah (berkaitan dengan
metode). Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan
lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir. Lima belas ilmu
tersebut adalah sebagai berikut:
- Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafaz dan maksudnya sesuai dengan objek. Oleh karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,
لا
يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات
العرب.
“Tidak
halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai
sesuatu yang terdapat dalam Kitâbullâh apabila ia tidak mengetahui
bahasa Arab.”
2. Nahwu
karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan
i’rab.
- Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah (tense) suatu kata.
- Isytiqâq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda.
- Al-Bayân karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
- Al-Badî‘ karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
7. Ilmu
qirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan
kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’
lainnya.
- Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
- Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth.
- Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
- An-Nâsikh wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
- Fikih.
- Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
- Ilmu muhibah (bakat), yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya[3].
Adapun bagi seorang mufassir
kontemporer, sedangkan menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy ia harus menguasai tiga
syarat pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu di atas. Tiga syarat
pengetahuan tersebut adalah:
- Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam.
- Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.
- Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut.
B. SEBAB-SEBAB POKOK
KEKELIRUAN DALAM MENAFSIRANKAN AL QURAN
a. Dari segi mufassir (pelakunya):
1. Subyektifitas
si Mufassir yang bermula dari perbedaan kemampuan, orientasi, sistem berfikir,
keyakinan atas kebenaran pendapat atau madzhab yang di anutnya, kepentingan dan
keinginannya.
2. Tidak menguasi
ilmu alat, seperti nahwu, shorof, dan lain-lain.
Contoh: kekeliruan orientasi
menafsirkan QS.Maryam (19): 19
“Ia (Jibril) berkata: sesungguhnya aku ini
hanyalah seorang utusan Tuhan-Mu, untuk memeberimu seorang anak laki-laki yang
suci.”
b. Dari segi materi ( sasarannya):
1.
Kurang memperhatikan siapa yang menjadi Mukhattab ayat, untuk ini perlu
diperhatikan ayat- ayat sebelumnya.
2. Tidak
memperhatikan siapa yang mutakallim yang dibicarakan ayat. Contoh Q.S Yusuf
ayat 28.
Maka
tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah
dia: "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu,
Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar."
3. Mendahulukan yang mutlaq dari yang muqoyyad.
4. Tidak
memperhatikan munasabah ayat.
5. Tidak menguasai
masalah yang di tafsirkan.
6. Mendahulukan
yang mtasyabih dari yang muhkam.
c.
Dari segi produk (hasil karya) para musafir tersebut.
Al-Qur`an secara
teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks, selalu berubah, sesuai
dengan konteks ruang dan waktu. Karenanya, Al-Qur`an selalu membuka diri untuk
dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan dengan berbagai alat, metode, dan
pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir yang berkembang
merupakan usaha untuk membedah makna terdalam dari Al-Qur`an itu.
Penafsiran
Al-Qur`an telah berlangsung sejak zaman Rasul. Rasul sendiri adalah mufassir
awal sesuai dengan kapasitasnya sebagai penyampai wahyu dan menjelaskannya
kepada umat. Hal ini berlanjut pada zaman sahabat, tabi’in dan terus berlangung
sampai dewasa ini. Hanya saja berbeda dengan Al-Quran yang isinya mutlak benar
karena berasal dari zat yang maha mengetahui, tafsir tidak luput dari
kekurangan bahkan kesalahan. Pengaruh perbedaan mazhab dan aliran turut
mewarnai perbedaan penafsiran. Bahkan adanya fanatisme yang berlebihan dari
seorang mufassir sering kali melahirkan kesalahan-kesalahan pada produk tafsir
yang dia hasilkan.
Az-Zahabiy
dalam bukunya “Tafsir wa Mufassirun” mengemukakan bentuk-bentuk penyimpangan
penafsiran Al-Qur'an dapat dikembalikan pada 3 faktor.
Pertama :
Berkaitan dengan subyektivitas mufasir. Ini terlihat dari
kecenderungan-kecenderungan para mufassir untuk menafsirkan Al-Qur`an menurut
seleranya, mazhabnya, bidang kajian yang diminatinya atau bahkan kecenderungan
lain yang berkaitan keinginan-keinginan pribadi atau kelompok.
Kedua : Berkaitan dengan konteksnya, baik
pembicaraan, ruang dan waktu atau dalam konteks sosial kemasyarakatan yang lebih luas.
Ketiga : berkaitan dengan kekurangan penguasaan
ilmu pokok dan bantu dalam menafsirkan Al-Qur'an. Ini kita bisa dilihat pada
kasus penafsiran yang dilakukan oleh para ilmuwan yang tidak memiliki Ilmu
pokok (dalam menafsirkan Al-Qur`an) secara memadai atau mufassir yang memiliki
kemampuan penguasaan ilmu pokok, tetapi kurang menguasai ilmu bantu. Misalnya,
jika seorang ilmuwan berupaya mengaitkan kebenaran penemuan ilmiahnya dengan
statemen-statemen Al-Qur`an.
Secara garis
besar ada empat penyebab timbulnya penyimpangan penafsiran yang sering
ditemukan dalam kitab-kitab tafsir yang ada:
1. Berpaling
dari sumber dan dasar tafsir yang otentik dan sahih.
Ibarat sebuah
rumah yang tidak dapat berdiri tanpa adanya pondasi yang kuat, disiplin ilmu apapun
namanya membutuhkan dasar dan kaidah tersendiri yang harus diperhatikan oleh
setiap orang yang bergelut dengan ilmu tersebut. Dasar, yang dalam istilah
arabnya disebut uşul merupakan unsur penting yang menjadi penguat suatu
ilmu. Seseorang tidak akan sampai pada kesimpulan yang benar, apabila hanya
berpedoman kepada kaedah-kaedah umum dan tidak memperhatikan uşul ini.
Begitu juga
dengan ilmu tafsir, seorang mufassir harus menggunakan sumber-sumber tafsir
yang asli dan otentik demi menghasilkan penafsiran yang benar.
Terjadinya kesalahan dalam
penafsiran sering kali disebabkan oleh tindakan mufassir yang mengabaikan
sumber-sumber primer yang sahih dan beralih pada sumber-sumber yang lemah. ada
sembilan unsur yang termasuk dalam kategori ini. Diantaranya;
1. Mengunakan ijtihad dalam menafsirkan ayat, padahal ada nas lain
yang menjelaskan maksud ayat tersebut.
Nas yang termasuk dalam
kategori ini adalah nas-nas yang terkait langsung dengan pemahaman ayat, baik
jawaban dari pertanyaan, penjelasan tentang asbabun nuzul, penjelasan sahabat
tentang makna kata-kata yang musykil, penafsiran Nabi akan makna ayat sebelum
membacanya.
Meskipun menafsirkan
Al-Quran dengan Al-Qur`an atau riwayat yang sahih merupakan metode tafsir yang
paling benar dan utama. Hanya saja sebagian mufassir mengabaikan metode ini.
Mereka menafsirkan Al-Qur`an mengunakan ra’yi atau ijtihad sendiri. Sebelum
melihat ayat Al-Qur`an dan riwayat yang berhubungan dengan tafsiran ayat
tersebut. Hal inilah yang menimbulkan kesalahan pada produk tafsir yang mereka
hasilkan.
2. Berpegang pada hadis maudu’
dan da’if
Imam Alusi
sebagaimana dikutip oleh Ibn Hayyān dalam mukadimah tafsirnya mengkritik
mufassir yang memasukkan kedalam tafsirnya riwayat-riwayat yang tidak sahih.
Dia berkata “ begitu juga mereka mencantumkan dalam kitab tafsir mereka
riwayat-riwayat da’if tentang asbāb al nuzūl, hadis-hadis tentang
keutamaan surah, hikayat-hikayat bohong, dan cerita israiliyat, padahal semua
ini tidak pantas dimasukkan dalam kitab tafsir”[5].
3. Mengambil riwayat Israiliyat
Tidak dapat dipungkiri,
kisah-kisah israiliyat banyak terdapat dalam kitab tafsir, baik yang bercorak
al-maksur maupun al-rakyi. Berbeda dengan zaman sahabat, dimana mereka sangat
berhati-hati dalam mengambil riwayat israiliyat, pada masa tabi’in dan
masa-masa sesudah itu kehatian-kehatian ini semakin berkurang. Imbasnya
kisah-kisah israiliyat banyak mempengaruhi penafsiran mereka.
4. Berpegang pada prasangka dan hikayah
Yang dimaksud dengan
prasangka dan hikayat disini adalah berita-berita, cerita dan dongeng
orang-orang terdahulu yang digunakan dalam penafsiran Al-Qur`an, padahal ia
tidak memiliki dasar dari Al-Qur`an, sunnah dan ijma’ umat serta tidak memiliki
sanad yang sahih.
5. Hanya berpedoman pada makna bahasa semata dan mengutamakannya
dibanding riwayat yang sahih.
6. Berpegang pada kewajiban yang bersifat majaziah dan tunduk pada
tamsil dan imajinasi.
7. Terlalu mendalam dalam membicarakan filsafat dan ilmu kalam.
8. Hanya mengandalkan rakyi dan mengutamakannya dari pada riwayat
yang sahih
Akal merupakan pemberian dan nikmat Allah
yang sangat besar. Dengannya manusia dapat membedakan mana yang baik dan yang
buruk, yang benar dan yang salah. Dalam disiplin ilmu tafsir, penggunaan akal
dalam menafsirkan Al-quran termasuk kedalam salah satu metode penafsiran
Al-Qur`an. Walaupun begitu, dalam menafsirkan Al-Qur`an, seorang mufassir tidak
boleh hanya berlandaskan pada akal semata dan mengabaikan naql. Orang
yang hanya mengunakan akal, akan melahirkan tafsir bil-rakyi al mazmum
(tidak diterima.)
9. Mengambil perkataan dari ahli bid’ah dan mengikuti hawa nafsu.
2. tidak teliti dalam memahami teks ayat
dan dilalahnya.
Faktor
lain yang dapat menyebabkan kesalahan dalam penafsiran Al-Qur`an adalah
ketidaktelitian mufassir dalam memahami teks dan dilalahnya. Hal ini bisa
terlihat ketika seseorang yang ingin menafsirkan Al-Qur`an berhadapan dengan
ayat-ayat yang nasakh dan mansukh. Ketidaktelitian dalam memahami teks
Al-Qur`an juga terjadi ketika mufassir mengutip pendapat dari kitab-kitab
tafsir. Sebagian mereka tidak menyeleksi riwayat atau perkataan yang diambil,
malah menyamaratakan antara riwayat yang da’if dan sahih.
3. menundukkan nas Al-Qur`an untuk
kepentingan mazhab, dan bid’ah
Kesalahan
penafsiran terkadang disebabkan oleh tindakan sebagian mufassir dan orang yang
menekuni ilmu Al-Qur`an yang menjadikan nas Al-Qur`an sebagai legimatimasi
untuk menguatkan pendapat, mazhab dan aliran mereka. Pemahaman ayat
diselaraskan dengan kepentingan mazhab.Hal seperti ini
merupakan metode tafsir yang paling berbahaya dan paling buruk. Karena seorang
mufassir berangkat dari keyakinan dan asumsi awal yang tidak memiliki landasan,
kemudian mencari ayat-ayat yang sesuai dengan keyakinan dan asumsi mereka
sebagai penguat. sehingga terkesan adanya pemaksaan pemahaman.
4. mengabaikan
sebagian syarat-syarat mufassir
Tafsir sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentu memiliki
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Penafsiran Al-Qur`an tidak akan
sempurna tanpa adanya pemenuhan persyaratan tersebut .Imam Ibn Taimiyah dalam
al majmu’ al fatāwa mengemukakan ” setiap manusia harus memiliki suatu
dasar umum yang menjadi sandaran aspek-aspek yang terkait dengannya supaya
dapat berbicara dengan dasar ilmu yang kuat dan penuh keadilan serta mengetahui
segala rincian bagamana ia terjadi. Apabila hal ini diabaikan, maka yang akan
tertinggal adalah kebohongan dan ketidaktahuan dengan hal-hal yang juz`i
(khusus) dan ketidaktahuan serta kekaburan dengan masalah yang umum (kulli).
Hal ini akan melahirkan kerusakan yang besar”.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari keseluruhan
pembahasan tersebut, kita dapat memperoleh pengertian bahwa penjelasan terhadap
makna al-Quran merupakan suatu keharusan. Tetapi keharusan tersebut, di samping
memerlukan kehati-hatian, juga memerlukan persyaratan yang tidak selayaknya
dilanggar. Meskipun beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama
tersebut merupakan hasil ijtihad, tetapi minimal dapat dipahami sebagai patokan
dasar yang selayaknya diperhatikan. Pelanggaran terhadap patokan-patokan dasar
tersebut, memang, adakalanya tidak menimbulkan kesalahan interpretasi, tetapi
kemungkinan terjadinya kesalahan akan menjadi lebih besar.
Di samping itu, sejauh yang telah diupayakan oleh para ulama untuk menaati rambu-rambu yang menjadi patokan dasar tersebut, tetapi dalam realitasnya kesalahan interpetasi terhadap al-Quran pun masih mungkin terjadi. Untuk itu, sangat diperlukan ketelitian dan kehatihatian mufassir dalam memahami Al-Qur`an sehingga menghasilkan penafsiran yang benar. Sekalipun kita tidak dapat menjastifikasi kesalahan yang ditemukan sebagai kesalahan mutlak. Terutama kesalahan yang muncul disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan. Karena tafsir sesuai denagn pengertiannya adalah upaya untuk menjelaskan kalamullah sebatas kemampuan manusia. Siapapun tidak dapat mengklaim bahwa penafsirannnya adalah penafsiran yang paling benar.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qaṭṭān, Mannā` Khalīl. Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an.
Cet. 14. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. 2011.
ar-Rumi, Fahd bin Abdirrahman. Ulumul Qur`an.
Yogyakarta: Titian Ilahi. 1996.
Suyuthi, Imam. al-Itqan fi Ulumil Qur’an. Solo:
Indiva Media Kreasi. 2009.
Buchori, Didin
saefudin. Pedoman memahami Kandungan Al-Qur’an, Bogor: Granada Sarana
Pustaka, 2005.
Anwar,
Rosihon. Pengantar Ulumul Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Ayub,
Mahmud. Qur’an dan Para Penafsirnya, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
[1] Fahd bin
Abdirrahman ar-Rumi, Ulumul Qur`an terj. Amirul Hasan dan Muhammad
Halabi (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996), hlm. 219-220.
[2] Mannā` Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-ilmu
al-Qur`an terj Mudzakir, Cet. 14 (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011),
hlm. 465-466;
[3] Imam Suyuthi, al-Itqan fi Ulumil Qur’an
terj. Tim Editor Indiva (Solo: Indiva Media Kreasi, 2009), hlm. 909-912.
[5] Ibn Hayyān, Bahr al Muhīt, Beirut:
Dār al Kutub al-‘Ilmiyah, juz 1, hal. 104
0 komentar:
Posting Komentar