Selasa, 03 Februari 2015



Disusun Oleh : Faizin



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Ajakan untuk melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) terhadap al-Quransemakin sering terdengar. Penafsiran ulang tersebut terutama dilakukan terhadap ayat-ayat yang dipandang tidak lagi relevan dengan konteks zaman ini atau dapat menimbulkan problem dengan penganut agama lain. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Endar Riyadi mengenai keharusan melakukan interpretasi terhadap teks-teks keagamaan yang selama ini dipandang dan melahirkan cara pandang yang membenci, intoleran dan tidak ramah terhadap orang-lainagama sebagai salah satu diantara tiga agenda pokok dalam rangka menampilkan kembali wajah agama (Islam) yang ramah,toleran dan inklusif. Akan tetapi, apakah setiap orang memiliki otoritas untuk menafsirkan al-Quran? Lantas, siapakah yang memiliki otoritas untuk menafsirkan al-Qurandan apa saja yang harus dipenuhi olehnya? Tulisan ini mencoba untuk menjelaskannya.

B.           RUMUSAN MASALAH

1.              Apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir ?
2.              Sebab pokok kekeliruan dalam menafsirkan alquran
a.       Dari segi mufassir (pelakunya)
b. Dari segi materi ( sasarannya)
c. Dari segi produk (hasil karya) para musafir tersebut.

C.    TUJUAN

1. Mengetahui persyaratan yang harus dipenuhi seorang mufassir
2. Mengetahui sebab pokok kekeliruan dalam menafsirkan alquran
 


BAB II
PEMBAHASAN
 A.    SYARAT-SYARAT MUFASIR
Sebagaimana yang kita maklum, bahwa Al Qur’an adalah kitab pedoman hidup Al Qur’an (the way of life). Keterbatasan bahasa Al Qur’an yang mengandung banyak penafsiran harus diuraikan dengan benar secara metodologis, agar dapat dipahami dan dijadikan pedoman bagi umat Islam. Membaca dan memahami Al Qur’an memang adalah hak, bahkan kewajiban setiap umat muslim, namun menafsirkan kandungan ayat Al Qur’an, tidak semua orang diperbolehkan melakukanya. Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh Seorang mufasir. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah penafsiran (mal Praktek) akibat tidak adanya ilmu yang mumpuni yang dikuasai mufasir.
Syarat-syarat dari aspek kepribadian
Mufasir adalah kunci pemahaman umat muslim terhadap Al Qur’an. Yang mana kandungan ayat Al Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan umat Islam, baik akidah, akhlak, syariah, ibadah dan sebagainya. Menjadi seorang mufasir sama halnya mengemban amanat yang berat dari seluruh umat muslim. oleh karena itu, seorang mufasir harus memiliki kepribadian yang mulia dan nilai-nilai ruhiyah yang luhur dalam menyingkap hakikat-hakkat makna ayat-ayat Al Qur’an. Diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Akidah yang benar[1]. Akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya, dan sering kali mendorongnya untuk mengubah nash-nash dan berkhianat dalam penyampaian berita. Apabila seseorang menyusun sebuah kitab tafsir, maka dita’wilkanya kepada madzabnya yang batil guna memalingkan manusia dari mengikuti golongan salaf dan dari jalan petunjuk.
2.      Tidak mengikuti hawa nafsu Hawa nafsu membawa pemiliknya kepada paham subjektifnya sekalipun salah dan menolak yang lain, meskipun yang ditolak itu benar.
3.      Berniat baik dan bertujuan benar Seorang mufasir menafsirkan al Qur’an didasarkan atas iklas dan mengharap ridho Allah, tidak mengharap kemulyaan dan kehormatan atau kewibawaan.
4.      Berahlak mulia Mufasir bagai seorang pendidik yang didikannya itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal akhlak dan perbuatan mulia.
5.      Tawadhu dan lemah lembut Kesombongan ilmiah merupakan dinding kokoh yang menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya[2].
Syarat yang berkaitan dengan aspek intelektual yang harus dikuasai oleh seorang mufassir ini dibagi menjadi dua, yaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat manhajiyah (berkaitan dengan metode). Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir. Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu lafaz dan maksudnya sesuai dengan objek. Oleh karena demikian urgennya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan Al-Quran, Mujahid bahkan mengatakan,
لا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يتكلم في كتاب الله إذا لم يكن عالمًا بلغات العرب‏.
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitâbullâh apabila ia tidak mengetahui bahasa Arab.”
2.      Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan i’rab.
  1. Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah (tense) suatu kata.
  2. Isytiqâq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda.
  3. Al-Bayân karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.
  4. Al-Badî‘ karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
7.      Ilmu qirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
  1. Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
  2. Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth.
  3. Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
  4. An-Nâsikh wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
  5. Fikih.
  6. Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
  7. Ilmu muhibah (bakat), yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya[3].
Adapun bagi seorang mufassir kontemporer, sedangkan menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah:
  1. Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban yang benar agar terwujud universalitas Islam.
  2. Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.
  3. Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap problem tersebut. 
B. SEBAB-SEBAB POKOK KEKELIRUAN DALAM MENAFSIRANKAN AL QURAN
Penyebab pokok kekeliruan penafsiran Al-quran dapat ditinjau dari tiga segi [4]:
a. Dari segi mufassir (pelakunya):
1. Subyektifitas si Mufassir yang bermula dari perbedaan kemampuan, orientasi, sistem berfikir, keyakinan atas kebenaran pendapat atau madzhab yang di anutnya, kepentingan dan keinginannya.
2. Tidak menguasi ilmu alat, seperti nahwu, shorof, dan lain-lain.
   Contoh: kekeliruan orientasi menafsirkan QS.Maryam (19): 19
 “Ia (Jibril) berkata: sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhan-Mu, untuk memeberimu seorang anak laki-laki yang suci.”

b. Dari segi materi ( sasarannya):
1. Kurang memperhatikan siapa yang menjadi Mukhattab ayat, untuk ini perlu diperhatikan ayat- ayat sebelumnya.
2. Tidak memperhatikan siapa yang mutakallim yang dibicarakan ayat. Contoh Q.S Yusuf ayat 28.
Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia: "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu, Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar."
3. Mendahulukan yang mutlaq dari yang muqoyyad.
4. Tidak memperhatikan munasabah ayat.
5. Tidak menguasai masalah yang di tafsirkan.
6. Mendahulukan yang mtasyabih dari yang muhkam.

c. Dari segi produk (hasil karya) para musafir tersebut.
Al-Qur`an secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks, selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Karenanya, Al-Qur`an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak isi sejatinya. Aneka metode dan tafsir yang berkembang merupakan usaha untuk membedah makna terdalam dari Al-Qur`an itu.
Penafsiran Al-Qur`an telah berlangsung sejak zaman Rasul. Rasul sendiri adalah mufassir awal sesuai dengan kapasitasnya sebagai penyampai wahyu dan menjelaskannya kepada umat. Hal ini berlanjut pada zaman sahabat, tabi’in dan terus berlangung sampai dewasa ini. Hanya saja berbeda dengan Al-Quran yang isinya mutlak benar karena berasal dari zat yang maha mengetahui, tafsir tidak luput dari kekurangan bahkan kesalahan. Pengaruh perbedaan mazhab dan aliran turut mewarnai perbedaan penafsiran. Bahkan adanya fanatisme yang berlebihan dari seorang mufassir sering kali melahirkan kesalahan-kesalahan pada produk tafsir yang dia hasilkan.
Az-Zahabiy dalam bukunya “Tafsir wa Mufassirun” mengemukakan bentuk-bentuk penyimpangan penafsiran Al-Qur'an dapat dikembalikan pada 3 faktor.
Pertama : Berkaitan dengan subyektivitas mufasir. Ini terlihat dari kecenderungan-kecenderungan para mufassir untuk menafsirkan Al-Qur`an menurut seleranya, mazhabnya, bidang kajian yang diminatinya atau bahkan kecenderungan lain yang berkaitan keinginan-keinginan pribadi atau kelompok.
Kedua    : Berkaitan dengan konteksnya, baik pembicaraan, ruang dan waktu atau dalam konteks sosial   kemasyarakatan yang lebih luas.
Ketiga    : berkaitan dengan kekurangan penguasaan ilmu pokok dan bantu dalam menafsirkan Al-Qur'an. Ini kita bisa dilihat pada kasus penafsiran yang dilakukan oleh para ilmuwan yang tidak memiliki Ilmu pokok (dalam menafsirkan Al-Qur`an) secara memadai atau mufassir yang memiliki kemampuan penguasaan ilmu pokok, tetapi kurang menguasai ilmu bantu. Misalnya, jika seorang ilmuwan berupaya mengaitkan kebenaran penemuan ilmiahnya dengan statemen-statemen Al-Qur`an.
Secara garis besar ada empat penyebab timbulnya penyimpangan penafsiran yang sering ditemukan dalam kitab-kitab tafsir yang ada:

1.      Berpaling dari sumber dan dasar tafsir yang otentik dan sahih.
Ibarat sebuah rumah yang tidak dapat berdiri tanpa adanya pondasi yang kuat, disiplin ilmu apapun namanya membutuhkan dasar dan kaidah tersendiri yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang bergelut dengan ilmu tersebut. Dasar, yang dalam istilah arabnya disebut uşul merupakan unsur penting yang menjadi penguat suatu ilmu. Seseorang tidak akan sampai pada kesimpulan yang benar, apabila hanya berpedoman kepada kaedah-kaedah umum dan tidak memperhatikan uşul ini.
Begitu juga dengan ilmu tafsir, seorang mufassir harus menggunakan sumber-sumber tafsir yang asli dan otentik demi menghasilkan penafsiran yang benar.
Terjadinya kesalahan dalam penafsiran sering kali disebabkan oleh tindakan mufassir yang mengabaikan sumber-sumber primer yang sahih dan beralih pada sumber-sumber yang lemah. ada sembilan unsur yang termasuk dalam kategori ini. Diantaranya;
1. Mengunakan ijtihad dalam menafsirkan ayat, padahal ada nas lain yang menjelaskan maksud ayat tersebut.
Nas yang termasuk dalam kategori ini adalah nas-nas yang terkait langsung dengan pemahaman ayat, baik jawaban dari pertanyaan, penjelasan tentang asbabun nuzul, penjelasan sahabat tentang makna kata-kata yang musykil, penafsiran Nabi akan makna ayat sebelum membacanya.
Meskipun menafsirkan Al-Quran dengan Al-Qur`an atau riwayat yang sahih merupakan metode tafsir yang paling benar dan utama. Hanya saja sebagian mufassir mengabaikan metode ini. Mereka menafsirkan Al-Qur`an mengunakan ra’yi atau ijtihad sendiri. Sebelum melihat ayat Al-Qur`an dan riwayat yang berhubungan dengan tafsiran ayat tersebut. Hal inilah yang menimbulkan kesalahan pada produk tafsir yang mereka hasilkan.
2. Berpegang pada hadis maudu’ dan da’if
Imam Alusi sebagaimana dikutip oleh Ibn Hayyān dalam mukadimah tafsirnya mengkritik mufassir yang memasukkan kedalam tafsirnya riwayat-riwayat yang tidak sahih. Dia berkata “ begitu juga mereka mencantumkan dalam kitab tafsir mereka riwayat-riwayat da’if tentang asbāb al nuzūl, hadis-hadis tentang keutamaan surah, hikayat-hikayat bohong, dan cerita israiliyat, padahal semua ini tidak pantas dimasukkan dalam kitab tafsir”[5].
3. Mengambil riwayat Israiliyat
Tidak dapat dipungkiri, kisah-kisah israiliyat banyak terdapat dalam kitab tafsir, baik yang bercorak al-maksur maupun al-rakyi. Berbeda dengan zaman sahabat, dimana mereka sangat berhati-hati dalam mengambil riwayat israiliyat, pada masa tabi’in dan masa-masa sesudah itu kehatian-kehatian ini semakin berkurang. Imbasnya kisah-kisah israiliyat banyak mempengaruhi penafsiran mereka.
4. Berpegang pada prasangka dan hikayah
Yang dimaksud dengan prasangka dan hikayat disini adalah berita-berita, cerita dan dongeng orang-orang terdahulu yang digunakan dalam penafsiran Al-Qur`an, padahal ia tidak memiliki dasar dari Al-Qur`an, sunnah dan ijma’ umat serta tidak memiliki sanad yang sahih.
5. Hanya berpedoman pada makna bahasa semata dan mengutamakannya dibanding riwayat yang sahih.
6. Berpegang pada kewajiban yang bersifat majaziah dan tunduk pada tamsil dan imajinasi.
7. Terlalu mendalam dalam membicarakan filsafat dan ilmu kalam.
8. Hanya mengandalkan rakyi dan mengutamakannya dari pada riwayat yang sahih
Akal merupakan pemberian dan nikmat Allah yang sangat besar. Dengannya manusia dapat membedakan mana yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Dalam disiplin ilmu tafsir, penggunaan akal dalam menafsirkan Al-quran termasuk kedalam salah satu metode penafsiran Al-Qur`an. Walaupun begitu, dalam menafsirkan Al-Qur`an, seorang mufassir tidak boleh hanya berlandaskan pada akal semata dan mengabaikan naql. Orang yang hanya mengunakan akal, akan melahirkan tafsir bil-rakyi al mazmum (tidak diterima.)
9. Mengambil perkataan dari ahli bid’ah dan mengikuti hawa nafsu.

2. tidak teliti dalam memahami teks ayat dan dilalahnya.
Faktor lain yang dapat menyebabkan kesalahan dalam penafsiran Al-Qur`an adalah ketidaktelitian mufassir dalam memahami teks dan dilalahnya. Hal ini bisa terlihat ketika seseorang yang ingin menafsirkan Al-Qur`an berhadapan dengan ayat-ayat yang nasakh dan mansukh. Ketidaktelitian dalam memahami teks Al-Qur`an juga terjadi ketika mufassir mengutip pendapat dari kitab-kitab tafsir. Sebagian mereka tidak menyeleksi riwayat atau perkataan yang diambil, malah menyamaratakan antara riwayat yang da’if dan sahih.

3. menundukkan nas Al-Qur`an untuk kepentingan mazhab, dan bid’ah
Kesalahan penafsiran terkadang disebabkan oleh tindakan sebagian mufassir dan orang yang menekuni ilmu Al-Qur`an yang menjadikan nas Al-Qur`an sebagai legimatimasi untuk menguatkan pendapat, mazhab dan aliran mereka. Pemahaman ayat diselaraskan dengan kepentingan mazhab.Hal  seperti ini merupakan metode tafsir yang paling berbahaya dan paling buruk. Karena seorang mufassir berangkat dari keyakinan dan asumsi awal yang tidak memiliki landasan, kemudian mencari ayat-ayat yang sesuai dengan keyakinan dan asumsi mereka sebagai penguat. sehingga terkesan adanya pemaksaan pemahaman.

4.   mengabaikan sebagian syarat-syarat mufassir
Tafsir sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentu memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Penafsiran Al-Qur`an tidak akan sempurna tanpa adanya pemenuhan persyaratan tersebut .Imam Ibn Taimiyah dalam al majmu’ al fatāwa mengemukakan ” setiap manusia harus memiliki suatu dasar umum yang menjadi sandaran aspek-aspek yang terkait dengannya supaya dapat berbicara dengan dasar ilmu yang kuat dan penuh keadilan serta mengetahui segala rincian bagamana ia terjadi. Apabila hal ini diabaikan, maka yang akan tertinggal adalah kebohongan dan ketidaktahuan dengan hal-hal yang juz`i (khusus) dan ketidaktahuan serta kekaburan dengan masalah yang umum (kulli). Hal ini akan melahirkan kerusakan yang besar”.





BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Dari keseluruhan pembahasan tersebut, kita dapat memperoleh pengertian bahwa penjelasan terhadap makna al-Quran merupakan suatu keharusan. Tetapi keharusan tersebut, di samping memerlukan kehati-hatian, juga memerlukan persyaratan yang tidak selayaknya dilanggar. Meskipun beberapa persyaratan yang dikemukakan oleh para ulama tersebut merupakan hasil ijtihad, tetapi minimal dapat dipahami sebagai patokan dasar yang selayaknya diperhatikan. Pelanggaran terhadap patokan-patokan dasar tersebut, memang, adakalanya tidak menimbulkan kesalahan interpretasi, tetapi kemungkinan terjadinya kesalahan akan menjadi lebih besar.

           Di samping itu, sejauh yang telah diupayakan oleh para ulama untuk menaati rambu-rambu yang menjadi patokan dasar tersebut, tetapi dalam realitasnya kesalahan interpetasi terhadap al-Quran pun masih mungkin terjadi. Untuk itu, sangat diperlukan ketelitian dan kehatihatian mufassir dalam memahami Al-Qur`an sehingga menghasilkan penafsiran yang benar.
Sekalipun kita tidak dapat menjastifikasi kesalahan yang ditemukan sebagai kesalahan mutlak. Terutama kesalahan yang muncul disebabkan oleh perbedaan metode yang digunakan. Karena tafsir sesuai denagn pengertiannya adalah upaya untuk menjelaskan kalamullah sebatas kemampuan manusia. Siapapun tidak dapat mengklaim bahwa penafsirannnya adalah penafsiran yang paling benar.





DAFTAR PUSTAKA
al-Qaṭṭān, Mannā` Khalīl. Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an. Cet. 14. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. 2011.
ar-Rumi, Fahd bin Abdirrahman. Ulumul Qur`an. Yogyakarta: Titian Ilahi. 1996.
Suyuthi, Imam. al-Itqan fi Ulumil Qur’an. Solo: Indiva Media Kreasi. 2009.
Buchori, Didin saefudin. Pedoman memahami Kandungan Al-Qur’an, Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005.
Anwar, Rosihon. Pengantar Ulumul Quran, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Ayub, Mahmud. Qur’an dan Para Penafsirnya, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.



[1] Fahd bin Abdirrahman ar-Rumi, Ulumul Qur`an terj. Amirul Hasan dan Muhammad Halabi (Yogyakarta: Titian Ilahi, 1996), hlm. 219-220.
[2] Mannā` Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-ilmu al-Qur`an terj Mudzakir, Cet. 14 (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011), hlm. 465-466;
[3] Imam Suyuthi, al-Itqan fi Ulumil Qur’an terj. Tim Editor Indiva (Solo: Indiva Media Kreasi, 2009), hlm. 909-912.
[4] Didin Saefudin Bukhori, Pedoman Memahami kandungan Al-Qur’an hal:190
[5] Ibn Hayyān, Bahr al Muhīt, Beirut: Dār al Kutub al-‘Ilmiyah, juz 1, hal. 104

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!