Disusun OLeh : Sandra Parulian
ASBAB
AL -NUZUL
A.
PENDAHULUAN
Alquran
adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an
merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan
bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Quran juga
merupakan mukzizat yang Allah sendiri yang menjaga keabadiannya (Allah sendiri yang menjamin kemurnian Al-Qur’an Q.S.
Al An’am (6) ayat 115 )
Alquran diturunkan
untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan jalan yang
lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada
Allah dan risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu,
kejadian-kejadian yang sekarang serta berita-berita yang akan datang.
Sebagian besar Alquran pada mulanya diturunkan untuk
tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah telah
menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi di antara mereka
peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi
mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk mengetahui hukum Islam
mengenai hal itu. Maka Alquran turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk
pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang dinamakan Asbab Al-nuzul.
Asbab Al-nuzul merupakan suatu aspek ilmu yang harus
diketahui, dikaji dan diteliti oleh para mufassirin atau orang-orang yang ingin
memahami Alquran secara mendalam.
Berdasarkan
pemahaman para ahli tafsir mengenai pentingnya mempelajari Asbab Al-nuzul maka
ilmu ini perlu dikembangkan untuk dipahami oleh umat manusia. Bahkan sekarang Asbab
Al-nuzul telah dijadikan salah satu kajian
dalam ‘Ulumul Alquran.
B.PEMBAHASAN
a. Pengertian Asbab
Al-nuzul
Secara bahasa Asbab Al-nuzul terdiri dari dua kata yaitu Asbab,
jamak dari sabab yang berarti sebab atau latar belakang, sedangkan Nuzul
merupakan bentuk masdar dari anzala yang berarti turun. Pengertian asbab
an-nuzul secara istilah adalah sesuatu yang melatarbelakangi turunnya suatu
ayat, yang mencakup suatu permasalahan dan menerangkan suatu hukum pada saat
terjadi peristiwa-peristiwa.[1]
Menurut Quraish
Shihab berdasarkan kutipan dari al-Zarqani, asbab an-nuzul adalah suatu
kejadian yang menyebabkan turunnya suatu ayat atau beberapa ayat, atau suatu
peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan turunnya suatu ayat.
M. Hasbi Ash Shiddieqy mengartikan Asbab Al-nuzul
sebagai kejadian yang karenanya diturunkan Alquran untuk menerangkan hukumnya
di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana yang didalamnya Alquran diturunkan
serta membicarakan sebab yang tersebut itu, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu ataupun
kemudian lantaran sesuatu hikmah.[2]
Nurcholish Madjid
menyatakan bahwa asbabun adalah konsep, teori atau berita tentang adanya
sebab-sebab turunnya wahyu tertentu dari Alquran kepada Nabi Muhammad SAW, baik
berupa satu ayat, satu rangkaian ayat maupun satu surat.
Subhi Shalih
menyatakan bahwa Asbab Al-nuzul itu sangat berkenaan dengan sesuatu yang menjadi
sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan
yang menjadi sebab turunnya ayat
sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya
suatu peristiwa.[3]
Az-Zarqani
berpendapat bahwa Asbab Al-nuzul adalah keterangan mengenai suatu ayat atau
rangkaian ayat yang berisi tentang sebab-sebab turunnya atau menjelaskan hukum
suatu kasus pada waktu kejadiannya.
Dari pengertian
tersebut di atas dapat ditarik dua kategori mengenai sebab turunnya suatu ayat.
Pertama, suatu ayat turun ketika terjadi suatu peristiwa. Sebagaimana diriwayatkan Ibn Abbas tentang perintah Allah
kepada Nabi SAW untuk memperingatkan kerabat dekatnya. Kemudian Nabi SAW naik
ke bukit Shafa dan memperingatkan kaum kerabatnya akan azab yang pedih. Ketika
itu Abu Lahab berkata, “Celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya
untuk urusan ini?”, lalu ia berdiri. Maka turunlah surat Al-Lahab.
Kedua, suatu ayat
turun apabila Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Alquran
yang menerangkan hukumnya. Seperti pengaduan Khaulah binti Sa’labah kepada Nabi
SAW berkenaan dengan zihar yang dijatuhkan suaminya, Aus bin Samit, padahal
Khaulah telah menghabiskan masa mudanya dan telah sering melahirkan karenanya.
Namun sekarang ia dikenai zihar oleh suaminya ketika sudah tua dan tidak
melahirkan lagi. Kemudian turunlah ayat, “Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya”, yakni Aus bin
Samit.
|
Komaruddin Hidayat
memposisikan persoalan ini dengan menyatakan bahwa kitab suci Alquran,
sebagaimana kitab suci yang lain dari agama samawi, memang diyakini memiliki
dua dimensi, yaitu historis dan transhistoris. Kitab suci menjembatani jarak
antara Tuhan dan manusia. Tuhan hadir menyapa manusia di balik hijab kalamNya
yang kemudian menyejarah.
b. Sumber dan
Cara Mengetahui Asbab Al-nuzul
Pedoman dasar para ulama dalam
mengetahui Asbab Al-nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah
atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal
seperti ini, bila jelas, maka nal itu bukan sekadar pendapat (ra’yu), tetapi ia
mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah). Al-Wahidi
mengatakan:”Tidak halal berpendapat mengenai Asbab Al-nuzul Kitab kecuali
dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang
menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang
pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya.”[4]
Inilah jalan yang
ditempuh oleh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu
mengenai Asbab Al-nuzul tanpa pengetahuan yang jelas. Muhammad bin Sirin
mengatakan:”Ketika ku tanyakan kepada ‘Ubaidah mengenai satu ayat Alquran,
dijawabnya:”Bertakwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. Orang-orang
yang mengetahui mengenai apa Alquran itu diturunkan telah meninggal.”
Maksudnya, para
sahabat. Apabila seorang tokoh ulama semacam Ibn Sirin, yang termasuk tokoh
tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan
kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan, orang harus mengetahui
benar-benar Asbab Al-nuzul. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan
dalam Asbab Al-nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya
seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan Asbab Al-nuzul. As-Suyuti
berpendapat bahwa bila ucapan seorang tabi’in secara jelas menunjukkan Asbab
Al-nuzul, maka ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai kedudukan mursal bila
penyandaran kepada tabi’in itu benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir
yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti Mujahid, ‘Ikrimah dan Sa’id
bin Jubair serta didukung oleh hadis mursal yang lain.
Keabsahan asbab
an-nuzul melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi
tidak semua riwayat shahih. Riwayat yang shahih adalah riwayat yang memenuhi
syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan para ahli hadits. Lebih spesifik
lagi ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa pada saat
wahyu diturunkan. Riwayat dari tabi’in yang tidak merujuk kepada Rasulullah dan
para sahabat dianggap dhaif (lemah).
Dalam periwayatan
asbab an-nuzul dapat dikenali melalui empat cara yaitu:[5]
1). Asbab an-nuzul disebutkan dengan
redaksi yang sharih (jelas) atau jelas ungkapannya berupa (sebab turun ayat ini
adalah demikian), ungkapan seperti ini menunjukkan bahwa sudah jelas dan tidak
ada kemungkinan mengandung makna lain.
2). Asbab an-nuzul yang tidak
disebut dengan lafaz sababu (sebab), tetapi hanya dengan mendatangkan lafaz fa
ta’qibiyah bermakna maka atau kemudian dalam rangkaian suatu riwayat, termasuk
riwayat tentang turunnya suatu ayat setelah terjadi peristiwa. Seperti
berkaitan dengan pertanyaan orang Yahudi pada masalah mendatangi isteri-isteri
dari dhuburnya. Maka turun surat Al-Baqarah ayat 223, artinya:”Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki, dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu
kelak akan menemui-Nya, dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
3). Asbab an-nuzul dipahami secara
pasti dari konteksnya. Turunnya ayat tersebut setelah adanya pertanyaan yang
diajukan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia diberi wahyu oleh Allah untuk
menjawab pertanyaan tersebut dengan ayat yang baru diturunkan tersebut.
4). Asbab an-nuzul tidak disebutkan
ungkapan sebab secara tegas.
Tetapi menggunakan
ungkapan dalam redaksi ini dikategorikan untuk menerangkan sebab nuzul suatu
ayat, juga ada kemungkinan sebagai penjelasan tentang kandungan hukum atau persoalan
yang sedang dihadapi.
Berbeda pendapat
dalam menggolongkan cara yang keempat sebagai asbab an-nuzul, ada yang
mengatakan sebagai penjelasan hukum, bukan sebagai sebab turunnya ayat. Menurut
Supiana berdasarkan kutipan dari al-Zarkasyi berpendapat bahwa kebiasaan para
sahabat dan tabi’in telah diketahui apabila mereka mengatakan “ayat ini nuzul
tentang ini” maksudnya adalah menerangkan bahwa ayat ini mengandung hukum
tertentu, bukan untuk menerangkan sebab turun ayat. Namun, satu-satunya jalan untuk
menentukan salah satu dari dua makna yang terkandung dalam redaksi itu adalah
konteks pembicaraannya. Maka perlu diteliti apakah ia menunjukkan sebab nuzul
atau bukan, dalam hal ini sangat menentukan qarinah dari riwayat tersebut.
Selanjutnya ia
menjelaskan, jika terdapat dua redaksi tentang persoalan yang sama, salah satu
ada nash menunjukkan sebab turunnya ayat, sedangkan yang lain tidak demikian,
maka redaksi yang pertama diambil sebagai sebabnya dan redaksi yang lain
dianggap sebagai penjelasan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.
Jika ada dua
riwayat yang menyebutkan sebab nuzul yang berlainan, maka yang mu’tamad ialah
riwayat yang sanadnya lebih shahih dari yang lain. Jika kedua sanadnya
sederajat, maka dikuatkan riwayat yang peristiwanya menyaksikan kasus dan
kisah. Jika tidak mungkin dilakukan tarjih (dipilih yang lebih kuat), maka
dikategorikan ke dalam ayat yang memiliki beberapa sebab nuzul dengan
terulangnya kasus dan peristiwa.
c. Metode
Penelitian dan Pentarjihan Asbab Al-nuzul
Penelitian dilakukan terhadap
riwayat yang mengemukakan asbab an-nuzul, karena banyak riwayat tidak memenuhi
syarat keshahihannya. Adakala banyak ayat yang turun pada peristiwa yang sama,
disebut:
Dan adakala sebaliknya yaitu banyak terjadi peristiwa pada satu ayat
yang turun, disebut:
Apabila asbab an-nuzul suatu ayat diterangkan oleh beberapa riwayat,
maka muncul beberapa kemungkinan sebagai berikut:
- Kedua riwayat tersebut yang satu shahih dan yang lain tidak.
- Kedua riwayat tersebut shahih, tetapi salah satunya ada dalil yang memperkuat dan yang lain tidak.
- Kedua riwayat tersebut shahih dan tidak ditemukan dalil yang memperkuatkan salah satunya tetapi dapat dikompromikan.
- Kedua riwayat tersebut shahih dan tidak ada dalil yang memperkuatkan salah satunya dan kedua-duanya tidak mungkin dikompromikan.
Untuk menjelaskan permasalahan beberapa riwayat diatas
adalah:
- Apabila kedua riwayat shahih, yang pertama menyatakan sebab turunnya ayat dengan tegas, sedangkan yang kedua tidak, maka diambil riwayat yang pertama.
- Apabila kedua riwayat shahih, salah satunya ditarjihkan, sedangkan yang lain diriwayatkan oleh perawi yang menyaksikan sendiri, maka dipilih riwayat yang lebih rajih (kuat).
- Apabila kedua riwayat menerangkan sebab riwayat yang lebih rajih dan yang lebih shahih, sedangkan lain shahih tetapi marjuh (dipandang lebih lemah), maka diambil riwayat yang shahih lagi rajih.
- Apabila kedua riwayat shahih dan tidak dapat dikompromikan, maka harus ditetapkan ayat yang berulang kali diturunkan. Berulang kali turun menunjukkan sangat penting dan untuk mempermudah diingat.
d.
Kedudukan Asbab Al-nuzul dalam Pemahaman Alquran
Mengetahui sebab-sebab turunnya
ayat mempunyai peran yang sangat signifikan dalam memahami Alquran. Di antara
fungsi dan manfaatnya adalah mengetahui hikmah ditetapkannya suatu hukum. Di
samping itu, mengetahui asbab al-nuzul merupakan cara atau metode yang paling
akurat dan kuat untuk memahami kandungan Alquran. Alasannya, dengan mengetahui
sebab, musabab atau akibat ditetapkannya suatu hukum akan diketahui dengan
jelas.[6]
Berikut ini paparan
dua kisah yang dapat dijadikan dasar bagi kita, betapa tanpa mengetahui
sebab-sebab turunnya ayat, banyak mufasir yang tergelincir dan tidak dapat
memahami makna dan maksud sebenarnya dari ayat-ayat Al-Quran.
Pertama, kisah
Marwan ibn Al-Hakam. Dalam sebuah hadis riwayat Al-Bukhari dan Muslim
diceritakan bahwa Marwan pernah membaca firman Allah SWT, yang
artinya:”Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira
dengan apa yang telah mereka kerjakan dan suka dipuji atas perbuatan yang belum
mereka kerjakan terlepas dari siksa. Bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ali
Imran: 188)
Setelah membaca
ayat tersebut, Marwan berkata, “Seandainya benar setiap orang yang merasa
gembira dengan apa yang telah dikerjakannya dan suka dipuji atas apa yang belum
dilakukannya akan disiksa, maka semua orang juga akan disiksa.” Secara
tekstual, apa yang dipahami Marwan adalah benar. Namun, secara kontekstual
tidaklah demikian. Ibn ‘Abbas menjelaskan bahwa ayat tersebut sebetulnya turun
berkenaan dengan kebiasaan Ahl Al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam berbohong.
Yaitu, jika Nabi Muhammad SAW bertanya tentang sesuatu, mereka menjawab dengan
jawaban yang menyembunyikan kebenaran. Mereka seolah-olah telah memberi
jawaban, sekaligus mencari pujian dari Nabi dengan apa yang mereka lakukan.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kedua, kisah
‘Utsman ibn Mazh’un dan ‘Amr ibn Ma’dikarib. Kedua sahabat ini menganggap bahwa
minuman keras (khamar) diperbolehkan dalam Islam. Mereka berdua berargumen
dengan firman Allah SWT, yang artinya:”Tidak ada dosa atas orang-orang yang
beriman dan beramal saleh mengenai apa yang telah mereka makan dahulu.” (QS.
Al-Maidah: 93). Seandainya mereka mengetahui sebab turunnya ayat tersebut,
tentu tidak akan berpendapat seperti itu. Sebab, ayat tersebut turun berkenaan
dengan beberapa orang yang mempertanyakan mengapa minuman keras diharamkan?
Lantas, apabila khamar disebut sebagai kotoran atau sesuatu yang keji (rijs),
bagaimana dengan nasib para syahid yang pernah meminumnya? Dalam konteks
itulah, QS. Al-Maidah turun untuk memberi jawaban. (HR. Imam Ahmad, Al-Nasai,
dan yang lain)
Begitu juga dengan
firman Allah SWT yang artinya:”Maka ke arah mana saja kamu berpaling atau
menghadap, di sana ada Wajah Allah (Kiblat/ Ka’bah). (QS. Al-Baqarah: 115).
Seandainya sebab turun ayat tersebut tidak diketahui, pasti akan ada yang
berkata, “Secara tekstual, ayat tersebut menunjukkan bahwa orang yang melakukan
shalat tidak wajib menghadap kiblat, baik di rumah maupun di perjalanan.”
Pendapat seperti ini, tentu saja bertentangan dengan ijma’(konsensus para
ulama). Namun, apabila sebab turunnya diketahui, menjadi jelas bahwa ayat
tersebut turun berkenaan dengan pelaksanaan shalat sunnah di perjalanan
(safar). Selain itu, juga berkenaan dengan orang yang melakukan shalat
berdasarkan ijtihadnya, kemudian sadar bahwa dia telah keliru dalam berijtihad.
Asbab Al-nuzul
memiliki kedudukan (fungsi) yang penting dalam memahami/menafsirkan ayat-ayat Alquran,
sekurang-kurangnya untuk sejumlah ayat tertentu. Ada beberapa kegunaan yang
dapat dipetik dari mengetahui Asbab Al-nuzul, diantaranya:
- Mengetahui sisi-sisi positif (hikmah) yang mendorong atas pensyari’atan hukum.
- Dalam mengkhususkan hukum bagi siapa yang berpegang dengan kaidah:” bahwasanya ungkapan (teks) Alquran itu didasarkan atas kekhususan sebab, dan
- Kenyataan menunjukkan bahwa adakalanya lafal dalam ayat Alquran itu bersifat umum, dan terkadang memerlukan pengkhususan yang pengkhususannya itu sendiri justru terletak pada pengetahuan tentang sebab turun ayat itu.[7]
C. PENUTUP
Mempelajari asbab an-nuzul sangat penting bagi yang ingin mengkaji
ilmu tafsir, bahkan sebuah kewajiban bagi ahli tafsir. Cara mengetahui asbab
an-nuzul pertama, dengan riwayat yang shahih, yakni riwayat yang memenuhi
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ahli hadits. Kedua, menggunakan
lafadh fa at-ta’qibiyah bermakna maka atau kemudian. Ketiga, dipahami dari
konteks yang jelas. Keempat, tidak disebutkan secara tegas terhadap redaksi.
Ada ulama yang berpendapat sebagai penjelasan tentang hukum.
Metode penelitian
dan pentarjihan asbab an-nuzul harus dilakukan penelitian terhadap riwayatnya,
karena ada dua kategori dalam sebab penurunannya. Pertama, banyak turun ayat
pada satu peristiwa, sedangkan yang kedua, banyak terjadi peristiwa pada satu
ayat yang turun.
Kedudukan asbab
an-nuzul dalam pemahaman Alquran sangat membantu dalam memahami Alquran,
apabila tidak niscaya banyak kekeliruannya. Kebanyakan ulama untuk menjadikan
pedoman hukum lebih sepakat pada “umum lafadh” daripada “khusus sebab”, karena
mempunyai tiga macam dalil yaitu: pertama, lafadh syar’i saja yang menjadikan
hujjah dan dalil. Kedua, kaidah tersebut ditanggungkan kepada makna selama
tidak ada pemalingannya dari makna tersebut. Ketiga, para sahabat dan mujtahid
kebanyakan tanpa memerlukan qias atau mencari dalil apabila berhujjah dengan
lafadh yang umum dari sebab ya
[1]
http://www.al-aziziyah.com/.../147-asbab-an-nuzul-sebagai-langkah-awal-memahami-al-quran.html-Tembolok
[2] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an,(Jakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm.30.
[3] Subhi Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an (terjemah Nur Rakhim
dkk), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 160.
[4] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, (Jakarta:
Pustaka Litera AntarNusa, 1992), hlm.107.
[5]
http://www.al-aziziyah.com/.../147-asbab-an-nuzul-sebagai-langkah-awal-memahami-al-quran.html-Tembolok
[6] Muhammad ibn ‘Alawi Al-Maliki, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an:
Ringkasan kitab Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Mizan Pustaka,
2003), hlm. 21-22.
[7] Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 111.