Disusun Oleh Suhaimi
BAB I
PENDAHULUAN
Al-qur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada
manusia dengan bahasa yang dapat dipahami oleh manusia, sosok manusia pilihan
yang jadi sasaran pilihan pewahyuan Al-qur’an itu adalah putra Abdullah yang
dilahirkan di Mekkah (Muhammad Amin).
Nabi Muhammad SAW, beliau di gelar dengan Al-amin
(kepercayaan), yakni terhadap segala sesuatu apapun yang disamapaikannya kepada
masyarakat. Setelah menerima Al-qur’an Muhammad berupaya menjelaskan kepada
ummat nya maksud-maksud isi kandungan Al-qur’an, sehingga para sahabat
yang hidup bersama Nabi tidak pernah kesulitan dalam memahami Al-qur’an. Hal
nin karena mereka memahami bahasa arab, dan selalu mendapat pengajaran dan
pemjelasan maksud-maksud atau isi kandungan kitab suci Al-Qur’an.
Setelah Nabi dan para sahabat meninggal, para Tabi’in kembali
berupaya menelusuri penafsiran Nabi dan para sahabat sebai guru mereka, dalam
hal ini terkadang para Tabi’in terkadang juga dituntut untuk melakukan ijtihat
secara terbatas dalam memahami ayat-ayat tertentu.
Kendatipun
semakin banyaknya alat komunikasi antar ummat dan antar bangsa serta
berkembangnya kemajuan Manusia, Al-Qur’an tetap pada posisinya, yaitu dengan
dua metode dasar penafsiranya, bil ma’tsur, dan bil ra’yi. Yang diantara keduanya
memiliki karakter dan spesifikasi yang berbeda
Maksud utama Alquran sebagai pembangkit kesadaran tertinggi
manusia ada hubungan gandanya dengan Allah dan alam semesta ini. Lahirnya ilmu-ilmu
Alquran merupakan bagian usaha dari pengkaji muslim terhadap Alquran. Ulum
Alquran dikonotasikan sebagai pokok bahasan yang berkaitan dengan Alquran dari
aspek-aspek asbab al nuzul, tertib surat dan ayat, pentadwinan dan
penulisannya, cara membaca dan menafsirkannya, daya kemu’jizatannya, nasikh
mansukhnya, bantahan terhadap berbagai kritik yang dialamatkan kepadanya, dan
hal-hal lain, yang sebenamya telah ada semenjak masa Rasulullah saw dan para
sahabatnya. Oleh karena kebutuhan yang belum mendesak, aspek-aspek bahasan
tersebut belum disusun secara sistimatis dalam karya tulis, melainkan baru
dalam bentuk periwayatan. Dalam perkembangan selanjutnya, timbullah
berbagai aspek pembahasan ulum Alquran dalam bentuk karya tulis yang
sistimatis.Seperti asbab al nuzul, Makkiy dan Madaniy, Metode-metode Tafsir.Salah
satu di antara metode tafsir ialah tafsir bil ma’tsur atau tafsir bi
al-riwayat.Metode tafsir ini penting artinya karena berkaitan dengan penjelasan
Allah terhadap kitabnya, posisi dan kedudukan Rasulullah sebagai penafsir
Alquran, dan kedudukan para sahabat dan tabi’in berkaitan dengan penjelasan
mereka terhadap Alquran. Cara kerja tafsir bil ma’tsur, apa yang dikemukakan
oleh Nabi saw, sahabat atau tabi’in dijadikan dasar oleh si mufassir dalam
mengungkap maksud dan peran Alquran. Konsekwensinya penjelajahan nalar mufassir
untuk mencari makna atau pesan lain yang berbeda dengan penjelasan terutama
penjelasan sahabat dan tabi’in kurang leluasa, karena si mufassir sangat
tergantung kepada riwayat, bahkan selama ada riwayat, si mufassir cenderung
tidak mencari penjelasan lain. Sementara itu tidak sedikit riwayat-riwayat
tersebut lemah, bahkan diselipi dengan kisah-kisah israiliyat.Maka tulisan ini
berusaha menjawab hakekat tafsir bil ma’tsur, muatan dan kedudukan nalar
mencari tafsir dalam tafsir bil ma’tsur dan hal-hal lain yang dianggap
memperjelas. Dan jawaban tersebut
diperoleh gambaran bahwa suatu hasil penafsiran bukanlah semuanya merupakan
“kata putus” yang harus diterima, tetapi sebagai perangkat yang membantu
seseorang dalam memahami pesan-pesan Alquran. Yang jelas kuranglah bijaksana
kalau seseorang menerima begitu saja atau mengkritik begitu saja tanpa
menelusuri metode tafsir apa yang digunakan oleh si mufassir dalam tafsirnya.
Tafsir Al-Qur'an adalah
salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam memahami dan menafsirkan sesuatu hal
yang bersangkutan dengan Al-Qur'an. isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi
penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya
menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan
menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja
tetapi juga berbagai macam ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan
Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an, didalamnya terdapat dua
bentuk penafsiran yaitu at-tafsîr bi al- ma’tsûr dan at-tafsîr bi-
ar-ra’yi, dengan empat metode, yaitu: ijmâli, tahlîli, muqârin
dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak
sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra
budaya kemasyarakatan.[1]
Sejarah penafsiran diawali
dengan masa Rasulullah SAW ketika masih hidup seringkali timbul beberapa
perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung
menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang
dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an:
- Al-Qur’an itu sendiri karena kadang-kadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
- Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
- Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah asbabul nuzul Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tafsir Bil Ma’tsur
Dalam bahasa Arab,
kata tafsir berasal dari akar kata al-fasr yang berarti penjelasan atau
keterangan.[5] Sedang al-ma’tsur berasal dari akar kata
atsara yang berarti mengutip. Pada dasarnya Tafsir bil-ma’tsur adalah terdiri dari dua
gabungan kata ( al-tafsir dan al-ma’tsur ) yang bila dipisahkan
mengandung makna masing-masing yang berbeda. Kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti
keterangan atau uraian sedangkan menurut pengertian bahasa adalah al-kaysf wa al-izhar yang artinya
menyingkap (membuka) dan melahirkan.Pengertian Al-ma’tsur adalah berasal dari
kata atsar yang berarti bekas, yakni
segala sesuatu yang ditinggal oleh generasi sebelumnya. Kata al-ma’tsur adalah isim maf’ul (obyek) dari kata atsara yu’tsiru atau yuastiru atsran wa-atsaratan yang secara
etimlogi berarti menyebutkan atau naqal
(mengutip), memuliakan atau akrama
(menghormati).al-atsara juga berarti
sunnah, hadits, jejak, bekas, pengaruh dan kesan, dimana Pada hakikatnya
mengacu pada makna yang sama yaitu: mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang ada
pada orang lain atau masa lalu.[1]
B. Sedangkan
secara istilah adalah segala sesuatu yang bersumber dari nash Al-Quar’an yang
fungsinya menjelaskan, Memperinci terhadap sebagian ayat lain Dan
bersumber dari apa yang diriwayatkan oleh rasulullah; para sahabat; dan para
tabi’in, semua itu merupakan penjelasan terhadap nash-nash al-Qur’an.
Sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT.[2]
Tafsir
Bil Ma’tsur adalah tafsir yang di ambil dari Rasulullah SAW, atau Sahabat, atau
Thabi’in yang mencakup tafsir dari dari tiga generasi yang membawa Ilmu dan
memindahkannya.[2] Tafsir ini bagian dari ilmu riwayat hadits
sama halnya marfu’ kepada Nabi SAW atau mauquf atas sahabat, atau maqtu’ atas
Thabi’in. disyaratkan didalamnya seperti syarat ilmu hadits dalam ketentuan
penetapan, riwayat dan kesahihannya,atau boleh juga kita artikan
sebagai rangkaian keterangan yang terdapat dalam Alquran, sunah atau kata-kata
sahabat sebagai penjelasan terhadap firmanAllah.Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadist,
jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir
menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus
sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada
kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an,
Al-Qur'an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan
perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah,
atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi'in karena mereka pada umumnya
menerimanya dari para sahabat.
Faudah menjelaskan bahwa tafsir bil ma’tsur
meliputi tafsir Alquran dengan Alquran, tafsir dengan nukilan dari Nabi saw,
tafsir dengan nukilan dari para sahabat dan tafsir dengan nukilan para
tabi’in. Sementara al-Zahabi dan as-Sayuti mengatakan bahwa tafsir bil
ma’tsur adalah penjelasan dan perincian Alquran sendiri terhadap sebagian
ayat-ayatNya, penafsiran yang dilakukan Rasulullah saw, para sahabat dan
tabi’in yang berupa penjelasan terhadap firman Allah swt dalam Alquran.
Dari pengertian diatas dapat sedikit
kami jelaskan bahwa jenis klasifikasi tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran
ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik itu berasal dari nash
al-Quran; sunnah Rasulullah; aqwal para sahabat; atau pun aqwal para tabi’in.
Dapat pula dijelaskan pengerian tafsir bi al-ma’tsur dengan kesimpulan bahwa
al-tafsir bil al-ma’tsur adalah penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan
mempergunakan:
a) ayat-ayat Al-Qur’an,
b) riwayat yang berasal dari Rasulillah Saw,
c) riwayat dari sahabat
d) riwayat dari para tabi’in.
B. Bentul-bentuk
Tafsir Bilma’tsur
- Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an
firman Allah ‘Azza wa jalla :
فَتَلَقّٰٓى اٰدَمُ مِنۡ رَّبِّه
كَلِمٰتٍ فَتَابَ عَلَيۡهِ اِنَّه هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيۡمُ ﴿ البَقَرَة:
۳۷﴾
Artinya :“Kemudian Adam
memperoleh beberapa kalimat dari tuhannya (ia mohon ampun), lalu Allah menerima
tobatnya”. QS. Al-Baqarah : 37.
Ditafsirkan dengan firman Allah :
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ
أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ
ٱلۡخَـٰسِرِينَ (الاٴعرَاف: ٢٣)
Artinya :“Keduanya berkata, ya
tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika engkau tidak ampuni
kesalahan kami dan tidak engkau asihi kami, tentulah kami orang yang merugi”.
QS. Al-A’raf : 23.[3]
firman Allah ‘Azza wa jalla :
إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةٍ۬
مُّبَـٰرَكَةٍۚ (الدّخان:٣)
Artinya :“Sesungguhnya kami
menurunkan dia pada malam yang penuh berkah”. QS. Ad-Dukhan : 3.
Ditafsiri dengan firman Allah :
إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةِ
ٱلۡقَدۡرِ (القَدر: ١)
Artinya :“Sesungguhnya telah kami
turunkan Al-qur’an pada malam Qadar (malam mulia atau taqdir”. QS. Al-Qadar
: 1.
Penafsiran Al-qur’an dengan
Al-qur’an adalah bentuk tafsir yang tertinggi.Keduannya tidak diragukan lagi
untuk diterimanya yang pertama, karena Allah SWT.Adalah sumber berita yang
paling benar, yang tidak mungkin tercampur perkara batil dari-Nya.Adapun yang
kedua, karena himmah Rasul adalah Al-qur’an, yakni untuk menjelaskan dan
menerangkan.
2.
Penafsiran Al-qur’an dengan Hadits
Allah ‘Azza wa jalla berfirman :
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم
مِّن قُوَّةٍ۬) … (الاٴنفَال:٦٠)
Artinya :“Hendaklah kamu sediakan
untuk melawan mereka, sekedar tenaga kekuatanmu … “. QS. Al-Anfal : 60.
Nabi SAW. Menafsirkan kata Al-quwwah
(قُوَّةٍ۬ ) dengan Ar-Ramnya
( الرَّمْيُ ) yang artinya
panah. Sabda Nabi :“ingat, sesungguhnya kekuatan adalah anak panah, ingat,
sesungguh-Nya kekuatan adalah anak panah”.
الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم
آولئك لهم الأمن وهم مهتدون....(الأنعام 82)
Artinya:
“Orang-orang yang beriman tidak mencampur adukkan iman mereka dengan
kedhaliman(syirik), mereka itulah orang yang mendapat keamanan dan mereka itu
adalah orang yang mendapat petunjuk” QS. Al-An’am: 82
Rasulullah
menafsirkan kata Dhulmin dalam ayat tersebut dengan syirik, penafsiran tersebut
sesuai dengan penegasan Allah dalam surat Luqman, yang berbunyi:
إن الشرك لظلم عظيم....(لقمان 13)
Artinya:
“Sesungguhnya syirik itu adalah kedhaliman yang besar” QS Luqman: 82.[4]
3. Tafsir
sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
Sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan
wahyu dan turunya adalah memiliki hukuman marfu’ artinya, bahwa tafsir
para sahabat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan Hadits Nabawi yang
diangkat dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, tafsir sahabat itu termasuk
ma’tsur.[5]
Dalam kitab Mustadrak Al-hakim mengatakan bahwasanya: “
penafsiran dari sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dihukumi baginya
sebagai marfu’ (dipandang sebagai tafsir nabi sendiri).[6]
Adapun tafsir para tabi’in dan tabi’it-tabi’in ada perbedaan
pendapat dikalangan ulama.Sebagian ulama berpendapat, tafsir itu termasuk
ma’tsur, karena tabi’in itu bejumpa dengan sahabat. Ada pula yang berpendapat,
tafsir itu sama saja dengan tafsir bi ra’yi (penafsiran dengan pendapat).
Artinya, para tabi’in dan tabi’it-tabi’in itu mempunyai kedudukan yang sama
dengan Mufasyir yang hanya menafsirkan berdasarkan kaidah bahasa arab.
Untuk melihat contoh penggunaan aqwalush shahabah dalam
menafsirkan ayat-ayat al-qura’an, dapat diamati tafsir ibnu Jarir ath-thabary,
disana tidak saja banyak dinukilkan dari para sahabat, tetapi juga dari
kalangan tabi’in.[7]
Diantara kitab tafsir yang memuat tentang tafsir bil ma’tsur
yakni :[8]
- Tafsir Jami’ul Bayan ( Ibnu Jarir Ath Thabary)
- Tafsir Al Bustan (Abul Laits as Samarqandy)
- Tafsir Baqy Makhlad
- Tafsir Ma’limut Tanzil (Al Baghawy)
- Tafsir Al– Qur- anul ‘Adhim ( Al Hafidh ibnu Katsir)
- Tafsir Asbabun Nuzul (Alwahidy)
- Tafsir An Naskh wal mansukh (Abu Ja’far An Nahas)
- Tafsir Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)
- Aljawahiral–Hassanfitafsiral-qur’an(Abdurrahman Atsa’libi)
C.
Sumber-sumber
Tafsir Bil Ma’tsur dan urutan penggunaanya
Penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat
al-Qura’an ataupun dengan sunnah adalah sebagi fungsi kitabullah, dan juga
menggunakan perkataan para sahabat ataupun tokoh-tokoh tabi’in karena mereka
mengetahui dan menerimanya dari rasul kemudian sahabat lalu tabi’in.
Tafsir yang disebutkan pertama dan
kedua; yang merupakan penafsiran dengan ayat dan dengan sunnah sangat jelas
jauh dari keraguan bagi umat untuk menerimanya. Karena, Allah SWT lebih
mngetahui terhadap yang dikehendaki dari ayat yg diturukan; kemudian
sebaik-baik perkatan adalah kitabullah; ketiga sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Nabi Muhammad SAW yang tugas beliau menerangkan juga menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Nahl
ayat 44.
Untuk kemudian dengan jenis yang
ketiga adalah mengunakan aqwal para sahabat dapat dihukumi sebagia marfu’, atau sama dengan tafsir Nabi
sendiri. Jadi dalam prosesnya masih terdapat sedikit keraguan yang timbul dari
bentuk ini, karena secara lebih lanjut ada bebrapa ulama’ menjelaskan bahwa
kapasitas dari kebenaran tafsir dari sahabat dapat diterima keberadaanya.
Dalam penjelasan al-hafidz ibnu
khajar, bahwa perkatan para sahabat dapat dikategorikan marfu’ atau akan
diterima ketika seorang sahabat tersebut memiliki atau memenuhi:
(1). tidak
menggunakan ra’yi (seperti ucapan-ucapan tentag sebab-sebab turunya, atau hal
ikhwal tentang hari kiamat dan lain sebagainya);
(2). Sahabat yang bersangkutan tidak dikenal
sebagai seorang yang senang mengambil riwayat dari orang-orang ahlul kitab yang
masuk islam.[4]
Sehubungan dengan tafsir yang
terakhir masih menjadi kontroversi dari beberapa ulama karena, sebagian dari
ulama’ mempermasalahkan karena kategori ini hampir dekat dengan tafsir bil
ra’yi. Permasalahan yang timbul adalah karena meragukan bahwa sebenarnya para
ulam tabi’in tidak mungkin mengetahui secara benar atau nyata sebab dan proses
turunya sebuah ayat. Namun, meski terajdi kontroversi tafsir ini masih
dikategorikan kedalam bil ma’tsur asalkan didalamnya tidak didominasi oleh akal
fikiran dan tidak terdapat keraguan dan juga telah merupakan kesepakatan
ulama’.
Dari gambaran di atas memberi kesan bahwa ada perbedaan pendapat
mengenai, apakah tafsir tabi’in terhadap Alquran termasuk dari tafsir bil
ma’tsur.Pertama bahwa hal itu termasuk tafsir bil ma’tsur.Kedua, mengatakan
bahwa komentar tabi’in tersebut merupakan ta’wil dan ijtihad.Bagi pendapat
pertama, memberi alasan bahwa para tabi’in pernah bertemu dengan sahabat dan
dalam kitab-kitab tafsir tabi’in yang awal ternyata pada umumnya para tabi’in
juga hanya mengutip ucapan sahabat saja.Dalam hal ini Muhammad Abu Syuhbah
mengatakan, jika para tabi’in itu bermufakat mengenai suatu masalah, maka
pendapat mereka itu bisa dijadikan hujjah, sekalipun pendapat mereka itu hanya
bersumber dari pendapat para sahabat saja.Adapun jika mereka berselisih
pendapat, maka pendapat sebagian dari mereka tidak dapat diterima sebagai
hujjah, baik terhadap kalangan mereka sendiri (tabi’in) maupun terhadap
generasi sesudahnya.[10]
Dari
beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa tafsir bil ma’tsur dapat
dilelompokkan menjadi empat, yaitu: (1) tafsir Alquran dengan Alquran (2)
tafsir Alquran dengan as-Sunah (3) tafsir Alquran dengan riwayat sahabat (4)
tafsir Alquran dengan riwayat tabi’in.
Pertama: Tafsir Alquran dengan Alquran.
Sebagaimana diketahui bahwa Alquran itu, sebagian ayatnya
merupakan penjelas terhadap sebagian ayat yang lain hanya Allah saja yang Maha
Mengetahui apa yang dikehendaki dengan firmanNya.[11] Di antara contoh-contohnya
sebagai berikut:
ا. فتلقى آدم من ربه
كلمات فتاب عليه إنه هو التواب الرحيم
Kemudian
Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima
tobatnya.Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS
Al-Baqarah [2]: 37).
Kata
“‘Kalimaatun” (beberapa kalimat) tersebut dijelaskan oleh ayat yang lain di
surat yang lain, yaitu:
قالا ربنا ظلمنا أنفسنا
وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين
“Adam
dan Hawa berkata : Rabbana wahai Tuhan kami, kami telah berbuat aniaya terhadap
diri kami. Dan kalau Engaku tidak mengampuni kami dan tidak memberikan kasih
sayang kepada kami, pasti kami akan menjadi orangorang merugi”. (Al-A’raf
[7]:23)
Demikian
juga QS Al-Maidah (5): 1:
ب. يا أيها الذين آمنوا
أوفوا بالعقود أحلت لكم بهيمة الأنعام إلا ما يتلى عليكم غير محلي الصيد وأنتم حرم
إن الله يحكم ما يريد
Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Penggalan ayat Illa Maa Yutlaa ‘alaikum dijelaskan
oleh Allah dalam firman QS. Al-Maidah (5): 3):
حرمت عليكم الميتة
والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به…..
Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) dan yang
disembelih atas nama selain Allah… Demkian juga FirmanNya:
اهدنا الصراط
المستقيم صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين
“Tunjukkanlah kami pada
jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau karuniai nikmat,
bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang
sesat” (QS Al-Fatihah [1]: 6-7).
Kalimat
“orang-orang yang Engkau karuniai nikmat” pada ayat di atas, dijelaskan oleh
Allah dalam firmanNya:
ومن يطع الله والرسول
فأولئك مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسُن
أولئك رفيقا
“Dan
barang siapa yang taat kepada Allah dan RasulNya maka mereka adalah bersama
orang-orang yang mendapatkan nikmt dart Allah, yaitu para Nabi, orang-orang
yang selalu membenarkan apa-apa yang benar, orang-orang mati syahid dan
orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman/sahabat” (QS An-Nisa: 69).
Demikian
juga FirmanNya:
إنا أنزلناه في ليلة
مباركة إنا كنا منذرين
“sesungguhnya
Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah
yang memberi peringatan” (QS Ad-Dukhan [44]: 3).
Kata
“malam yang diberkahi” dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya:
إنا أنزلناه في ليلة
القدر
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Alquran) pada kemuliaan (Qadar)” (QS Al-Qadr [97]: 1)
Kedua: tafsir ayat Alquran dengan as-Sunah.
Dalam hal ini as-Sunah menjelaskan Alquran jika dalam Alquran
itu sendiri tidak terdapat penjelasan karena kedudukan/fungsi as-Sunah sebagai
penjelas terhadap Alquran.[12] Hal tersebut
sesuai dengan firmanNya:
….
وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون
Dan
Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (QS An-Nahl
(16): 44).
Di
antara contoh as-Sunah menjelaskan Alquran adalah:
(a)
Firman Allah dalam QS. Al-An’am (6): 82:
الذين آمنوا ولم يلبسوا
إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
“orang-orang
yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka
itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka orang-orang yang
mendapat petunjuk.
Kata
“al-zulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh Rasul Allah saw dengan
pengertian “al-syirk” (kemusyrikan).
(b)
Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 238:
حافظوا على الصلوات
والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين
Peliharalah
segala shalat dan shalat wustha” (QS Al-Baqarah [2]:238). ”Shalat wustha”
dijelaskan oleh Nabi dengan ”shalat Asar”.
(c) Firman Allah:
صراط الذين أنعمت عليهم
غير المغضوب عليهم ولا الضالين
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat
kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat. (QS Al-Fatihah:7). Kata “al-Magdlubi `alaihim dan
al-Dhaalliin”ditafsirkan oleh Nabi dengan orang-orangYahudi dan Nasrani.
(d) Firman Allah QS.
Al-Anfaal [8]:60:
وأعدوا لهم ما استطعتم
من قوة ……
”dan
siapkan untuk menghadapi mereka kekuatan-kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.
Kata ”Maastatha’tum” ditafsirkan oleh Nabi SAW dengan ”alramyu yaitu anak
panah.
e).
Firman Allah dalam QS. Ghafir (40): 60:
وقال ربكم ادعوني أستجب
لكم إن الذين يستكبرون عن عبادتي سيدخلون جهنم داخرين
Dan
Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk
neraka Jahanam dalam keadaan hina dina”.
Rasulullah
menafsirkan kata ”ibadah” dalam ayat tersebut dengan ”al-du’aa”.
Ketiga: Tafsir Alquran dengan riwayat sahabat.
Apabila tidak ditemukan penafsiran dalam Alquran maupun
as-Sunnah, maka hendaklak kita kembali kepada keterangan sahabat terkemuka yang
saheh, karena merekalah yang pernah bersama Nabi, bergaul dengan beliau dan
menghayati petunjuk-petunjuknya.[13]
Para sahabat yang terkenal sebagai mufassir ada 10 orang, yaitu
empat Khulafa al-Rasyidin ditambah dengan Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin
Ka’ab, Zaid bin Sabit, Abu Musa al-`Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Namun
demikian Khulafa al-Rasyidin hanya sedikit yang mewartakan asar (penjelasan
sahabat) kecuali Ali bin Abu Thalib. Dan pada saat ketiga khalifah pertama
masih hidup, ketika itu masih banyak sahabat yang ahli dalam kitabullah.[14]
Di
antara contoh mengenai penafsiran sahabat terhadap Alquran ialah diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir dan Ibnu AN Halim dengan Sanad yang saheh dari Ikrimah, dari
Ibnu Abbas yang menerangkan QS. Al-Nisaa’(4) : 2:
وآتوا اليتامى أموالهم
ولا تتبدلوا الخبيث بالطيب ولا تأكلوا أموالهم إلى أموالكم إنه كان حوبا كبيرا
Dan
berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama
hartamu.Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa
yang besar.”
Kata ” HUB ” ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan dosa besar.[15] Juga penjelasan
Ibnu Abbas mengenai firman Allah QS. Al-Fatihah:7:
صراط الذين أنعمت عليهم
غير المغضوب عليهم ولا الضالين
yaitu ketaatanmu, ibadatmu di antara para malaikat, para Nabi,
para siddiqiin, syuhada dan orang-orang saleh.[16]
Kempat: Tafsir Alquran dengan penjelasan tabi’in.
Sebagai bahan rujukan dalam dalam penulisan Alquran, penjelasan
tabi’in tetap diperhitungkan untuk dapat menafsirkan Alquran.Sekalipun mereka
bukan generasi sahabat yang langsung mendapat penafsiran dari Nabi, tetapi
mereka memperoleh penjelasan dari para sahabat. Sebagai contoh penafsiran
Mujahid bin Jabbar tentang ayat: Shiraat al-Mustaqim yaitu
kebenaran. Mujahid sering menemui Ibnu Abbas dalam memperoleh keterangan.
Fase tafsir bil
ma’sur :
Tingkat yang pertama
Pada fase ini fase riwayat dan bertemu langsung dari seorang Syeikh
kepada anak muridnya dan fase ini adalah fase biasa dalam kehidupan umat islam
yang pertama. Sebagai mana yang diketahui bahwasanya umat islam tidak diperintahkan
untuk membuat dan menulis kecuali menulis al-qur’an saja. Ketika sampai masa
pemerintahan khilafah umar bin khatab beliau takut dengan bilangnya ilmu dengan
meninggalnya para sahabat dan pembesar Thabi’in dan perluasan islam kenegeri
non arab.
Tingkat yang kedua
Fase ini mulai pembuatan dan penulisan, pada fase ini mulai dari
khalifah umar bin abdul aziz memerintahkan untuk membuat pada awal abad kedua
hijriah dan meluas sampai sekarang, dan ini adalah masa yang sangat besar dan
sangat penting jika kita bisa membedakan dua hal tersebut:
1. Menyebarnya tafsir bil ma’tsur dalam fase pembentukan tafsir
yang kita jaga tafsir tersebut dengan sandaran sanad, metodenya,
periwayatannya, dan perawi pada masa pembentukannya yang sangat luas sampai
saat ini dan sampai hari kiamat.
2. terbukanya setiap sesuatu bentuk gambaran dari corak warna
tafsir tersbut dengan bentuk bacaan menurut perawinya, melihat silsilah
perawinya, teks, dan semuanya itu dengan mengembalikan kepada kesesuaian
ketetapan sejarah perawinya dan mengetahui keadaan mer
eka dari kebenaran riwayat dalam segi adil dan tidak cacat.[9]
D. Profil
Tafsir al-Thabari dan tafsir Ibnu Katsir sebegai representative dan tafsir
bilma’tsur
A. Al-Thabari
1. Nama karangan : Jami’ al-bayan fi tafsir al-qur’an
Nama pengarang: Abu Ja’far: Muhammad bin Jarir bin yazid bin katsir
bin Ghalib at-thabari meninggal tahun 310 H, jumlah karangan: 30 Juz, jumlah
halaman lebih kurang 8000 halaman.
Muhammad bin Jaris Thabari lahir pada tahun 224 H di Tibristanyang
menjadi nama nasabnya, beliau menuntut ilmu pada usia dua belas tahun, berpergian
ke Mesir, Syam, dan Irak.[10]
Ada juga yang mengatakan beliau lahir di Amil pada tahun 225 H[11]
Beliau belajar pada gurunya diantaranya:
Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Syawarib, ishaq bin Israi, Ahmad
bin Mani’ Al-Baghawi, Muhammad bin Hamid ar-razi, Abu Hamam al-walid bin
Syuja’, Abu Karib Muhammad ibnu al-Ala, ya’qub bin Ibrahim Ad-Durqi, Abu Sa’id
al Asyaj, Muhammad bin Basyar, Muhammad bin Masna, ‘Amru bin ali, dan
lain-lain, pada abad yang ia jalani dalam tiga kota tersebut.
Perjalanan belajar beliau berakhir di Mesir, beliau berguru dengan ulam-ulam
ayang terkenal seperti: Muhammad bin Abdullah al-Hakam, Muhammad bin Ishak
al-Khuzaimah dan kepada murid-murid Ibn Wahab. Perjalanan beliau kembali ke
Thabrasan kemudian beliau mengajar di Baghdad samapi meninggal dunia pada hari
ahad akhir syawal dua hari sebelum bulan Zulka’dahtahun 310 H. beliau
dikuburkan dalam rumahnya sendiri dengan kemurahan hai Ya’qub hingga kubur
beliau tidak diubah
2. Karya-karya Ibn jarir al tahabari
Beliau banyak mengarang kitab, diantaranya: kitab at-tafsir, kitab
al-Tarikh, kitab al-Iktilaf al-Fuqaha, kitab Tahzib al-Atsar, tafsir al-Tsabit
‘an rasulullah SAW minal akhbar, yang diberi nama dengan Qutufi dengan Syarhul
Atsar, Dzail al-Mudzil.[12]Sebagian
dari rujukan kitab yang menjadi perdebatan para Fuqaha adalah dari kitab Dzail
al-Mudzil.
3. pendapat para Ulama tentang Ibn Jarir al-Thabari
Para Ulama sangat banyak membicarakan
beliau baik dari kepribadian maupun kehidupan beliau yang ditinjau dari
berbagai sisi dan sudt pandang. Al-Khatib berkata: “Ibnu Jarir adalah salah
satu imam dan pemimpin umat, perkataannya dapat dijadikan rujukan. Hal ini
karena keilmuan dan kelabihan yang beliau miliki.Beliau mengumpulkan berbagai
macam ilmu pengetahuan yang tidak ada bandingnya pada masa itu.Beliau adalah
seorang yang hafiz (hafal) Al-qur’an, mengetahui makna ayat-ayatnya serta paham
dan mengenal hukum-hukum al-qur’an.Beliau mengena Sunnah-sunnah baik dari segi
perawinya maupun kedudukannya baik shahih ataupun tidak, nasakh dan
mansukh.Beliau juga mengetahui perkataan para sahabat dan tabi’in serta ulama
penerusnya.Beliau juga mngetahui tentang masalah yang diharamkan dan yang
dihalalkan.Selain itu juga beliau juga tahu tentang sejarah dan kisah masa
lalu.
Abu al-Abbas bin Juraij berkata:
“Muhammad bin Jarir adalah seorang yang faqih yang alim”.
Dalam tafsir beliau terlihat
beberapa kelebihan antara lain: kehati-hatian beliau dalam mengarang, kerajinan
belaiu dalam mempersiapkan, kegembiraan ketika sudah selesai. Kehati-hatian
beliau dapat dilihat dari perkataan beliau: “Aku beristikarah kepada Allah SWT,
sebelum mengarang kitab tafsir ini, aku sudah berniat tiga tahun sebelum membuat
buku tafsir ini dan aku meminta pertolongan Allah SWT., lalu kemudian Allah SWT
menolongku hingg aku bisa membuat buku tafsir ini
Ketika beliau ingin mendiktekan
tafsir ini kepada para sahabatnya beliau berkata: “Apakah kalian akan rajin
dalam menyusun karanganku?” mereka bertanya: “berapakah banyaknya?” lalu beliau
menjawab: “sebanyak tiga puluh ribu lembar kertas.” Mereka berkata: “Ini akan
hancur sebelum selesai.” Lalu Ibn Jarir al-thabari meringkasnkannya menjadi
tiga ribu lembar kertas.[13]
4. Model Tafsir Imam Ibn
Jarir al-thabari
Beliau berkata
dalam mempersembahkan buku tersebut, dengan mukaddimah puji-pujian kepada Allah
SWT., kemudian beliau berkata: Sesungguhnya keutamaan yang paling besar dan
kemuliaan yang paling agung diberikan kepada umat nabi Muhammad SAW, dan yang
dilebihkan Allah SWT terhadap umat-umat sebelumnya dengan kedudukan dan
martabat yang tinggi, dan diberikan kecintaan kepada sunnah-sunna nabi-Nya
adalah dengan menjaga atau memelihara wahyu yang diturunkan sebagai tanda yang
paling jelas akan kebenaran Rasul SAW sebagai hujjah yang paling lengkap
terhadap mereka yang mendustakan dan yang membangkang. Wahyu yang menjelaskan
kafir dan musyrik. Wahyu yang menentang mereka baik dari golongan jin atau
manusia untuk mendatangkan seumpama wahyu dan mereka tidak mampu untuk
melakukannya walaupun mereka tolong menolong. Wahyu dapat membuat gelap gulita
menjadi cahaya yang terang benderang.Wahyu yang memberikan terang dalam
kegelapan yang dapat meuntun orang kepada hidayah danjalan yang benar serta
keselamatan.
Ibnu Jarir juga berbicara masalah
perkara penting dalam Al-qur’an yang berhubungan dengan penafsiran beliau
misalnya, beliau berbicara tentang kerapihan makna-makna logika terhadap ayat
al-quran yang tersusun dan makna-makna logika terhadap hamba yang diturunkan
padanya al-qur’an.Hal ini sebagai bukti bahwa al-quran itu turun dari Allah SWT
dengan hikmah yang sangat dalam, serta penjelasan keutamaan makna yang
diungkapkan ayat-ayatnya.Selain itu, alquran juga menjelaskan kalam Allah SWT.
Beliau menjelaskan
huruf-huruf alquran yang sama penuturannya dengan bahasa-bahasa lain dan
menjelaskan huruf-huruf yangberbeda dengan bahasa lain. Kemudian beliau
berbicara masalah bahasa-bahasa alquran yang mana diturunkan dengan
bahasa-bahasa arab yang bermacam-macam.
Kemudian
pembicaraan beliau seputar hadits tentang sabda Nabi SAW: “Al qur’an diturunkan
melalui tujuh pintu syurga”. Beliau juga meriwayatkan hadits dengan lengkap,
kemudian beliau menjelaskan sudut pandang yang dipakai agar bisa memahami
ta’wil alquran.Kemudian beliau menyebutkan beberapa riwayat tentang anjuran
mencari pengetahuan dengan penafsiran alqur’an, dan beliau menyebutkan para
sahabat yang telah menafsirkan alqur’an.Beliau juga memnyebutkan ta’wil yang
salah dalam memahami alquran.Yaitu mereka yang mengingkari atau tidakboleh
ta’wil terhadap ayat-ayat alquran.Beliaua menyebutkan sebagian ulama tafsir
terdahulu, dianatara mereka ada yang terpuji dan tidak terpuji, daiantara
mereka ada yang terpuji dalam menafsirkan alquran adalah Ibbnu Abbas r.a.
Abdullah bin
Mas’ud berkata: “Sebaik-baik yang memahami alquran adalah Ibnu abbas r.a
Kemudian Ibnu Jarir menyebutkan
penjelasan terhadapa nama-nama Alquran, nama-nama surah dan nama-nama
ayat.Setelah semua itu barulah pindah kepada penafsiran ayat-ayat alquran.Dalam
menafsirkan ayat beliau menngemukakan pendapatnya denganberlandaskan pada
riwayat atsar dan akhbar serta kaidah dan ucapan-ucapan ulama terdahulu.
Tafsir beliau
tentang firman Allah SWT., hai manusia, sembahlah Tuham-mu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa (Qs Albaqarah
2:21). Beliau berkata, “Allah SWT menyuruh kedua golongan untuk mengamalkan
demikian, yang mana satu golongan telah Allah SWT gambarkan dalam ayat:
sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan
atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. ( Qs
al-baqarah 2:6) Allah menggambarkan demikian karena tabiat hati pendengaran
mereka yang tidak mau patuh terhadap seruan itu.[14]
Adapun
riwayat yang kita temukan dari Ibnu
Abbas r.a berbeda sedikit dengan apa yang kita katakana diatas. Ibnu Abbas r.a
berkata bahwa yang dimaksud dengan U’budullah (sembahlah Allah) adalah esakan
Tuhanmu. Padahal kita sudah datangkan dalil yang dimaksud dengan ibadah adalah
patuh, tunduk, taat, dan mengagunggkan tuhan, tetapi boleh kita mengomentari
bahwa barangkali yang diinginkan oleh Ibnu Abbas r.a adalah esakan Tuhanmu
dalam ibada (patuh, tunduk…) jangan beribadah kepada makhluk lain cipta-Nya.
Muhammad bin
Hammid telah meriwayatkan kepada kita beliau berkata: “salmah telah
meriwayatkannya kepada kita dari Ibn Ishak dari muhammad bin abu Muhammad dari
Ikrimah atau dari Sa’id bin Jabir dari Ibnu Abbas r.a: Allah SWT berfirman, hai
manusia, sembahlah Tuhanmu (Qs Al-Baqarah 2: 21). Ayata ini adalah untuk kedua
golongan, yaitu kafir dan munafik. Maksudnya adalah esakan Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang
sebelummu.
Kemudian Ibnu
Abbas r.a menambahkan: bahwa ini adalah dalili yang paling nyata tentang tidak
benarnya sangkaan yang menyatakan taklif yang tidak mampu dikerjakan kecuali
dengan pertolongan allah SWT, itu tidak dijadikan taklif kecuali Allah SWT
sudah memberikan kemempuan kepada hambanya dalam mengerjakannya, padahal
sebenarnya Allah SWT, menyuruh ibadah dan taubat kepada orang-orang kafir dan
kepada mereka yang munafik setelah memberitahukan bahwa mereka tidak akan
beriman dan tidak akan berpaling dari kesesatan.[15]
B.
Ibnu Katsir
1. Nama karangan: tafsir Al-quran al-Adhim
Nama pengarang:
Imaduddinn Ismail bin umar bin Katsir
al-bashri, al-Dimisqi, al-faqih, al-syafi’I Ibnu Katsir lahir pada tahun 701
ditimur bashri yang merupakan wilayah bagian Damaskus. Ketika berusia dini,
ibnu katsir sudah memulai kembara ilmiahnya. Di usia tujuh tahun ia mengunjungi
damaskus bersama saudaranya pada tahun 706.[16]
Ayahnya meninggal
pada tahun 703 takkala Ibnu Kasir masih belia, kehidupannya kemudian diabntu
oleh saudaranya, seluruh waktunya dihabiskan untuk ilmupengetahuan.Ia mengkaji,
mempelajari, dan mengenal berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Ibnu katsir
menghafal dan menulis banyak buku dirinya mempunyai memori yangkuat dan
kemampuan memahami.Disamping menguasai perangkat bahasa dan merangkai syair.
Setelah berguru
denganbayak ulama, semisal syeikh burhanuddin al-fazari dan kamaluddin bin
qadhi syuhbah, ibnu katsir mengokohkan keilmuannya, kemudian ia menyunting
putrid al-hafiz Abu hajjaj al-Muzzi, membiasakan mengaji dengannya. Dalam
bidang hadits ibnu katsir mengembil banyak dari Ibnu Taimiyah.Membaca ushul
hadits dengan al-Ashfahani. Disamping itu juga ia menyimak banyak ilmu dari
berbagai ulama menghafal banyak matan, mengenali sanad, cacat, biografi tokoh
dan sejarah diusia muda.
2. Karya-karya Ibnu Katsir
Al-Bidayah wa al-Nihayah, al-Tabaqat al-Syafi’iyah.
3. pendapat para Ulama tentang Ibnu Katsir
Dalam al-Mu’jam, Imam al-Dzahabi
mengungkapkan tentang Ibnu Katsir, “ Adalah seorang imam, mufti, pakar hadits,
special fiqih, ahli hadits yang cermat dan mufassir yang kritis.
Ibnu Hajar dalam
al-Durar menulis, “menyi,ak dari Ibnu al-Syahnah, Ibnu al-Zarrad, Ishaq
al-Amidi, Ibnu Asakir, al-Muzzi dan Ibnu al-Ridha. Ia mendapatkan ijazah dari
ulama Mesir seumpama al-Dabusi, al-Wani, al-Khatani dan lainnya. Ia menggeluti
hadits dengan mengkaji matan dan tokoh-tokohnya dan menghimpun tafsir.
Al-Hafiz Syihabuddin bin Haji pernah menjadi santri ibnu Katsir
menyatakan: “Tidak seorangpun yang kami ketahui lebih memiliki kekuatan memori
dengan matan-matan Hadits, mengenali tokoh-tokohnya, menyetakan kesahihan dan
ketidak sahihannya selin Ibnu Katsir.
Ibnu hajar mengungkapkan, “ seorang yang memiliki wawasan yang luas
dan humoris. Karya-karyanya dikonsumsi banyak orang semasa hidup dan
sepeninggalnya.[17]
4. Model Tafsir Imam Ibnu
Katsir
Menurut Ibnu Katsir metodologi tafsir yang paling tepat dalam
menafsirkan alquran adalah:
1. tafsir alquran dengan alquran sendiri
2. alternative yang kedua jika tidak dijumpai ayat lain yang
menjelaskan, mufassir harus menelisik sunnah yang merupakan penjelasan alquran
3. selanjutnya jika tidak didapati tafsir baik dalam alquran dan
hadits, kondisi ini menuntut kita untuk merujuk kepada referensi sahabat, sebab
mereka lebih mengetahui karena menyaksikan langsung kondisi dan latar belakang
penurunan ayat. Disamping pemahaman, keilmuan dan amal saleh mereka.
4. referensi tabi’in kemudian menjadi alternative selanjutnya
ketika tidak ditemukan tafsir didalam alquran, hadist dan referensi sahabat.
Menurut beliau terdapat banyak perbedaan pendapat dikalangan
mereka. Namun dirinya cenderung lebih merujuk pada pendapat-pendapat tabi’in
Contoh tafsir ibnu kasir dalam firman Allah SWT surat Al-Baqarah
ayat 254 yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman , belanjakanlah (dijalan Allah)
sebagian dari rezeki yangtelah kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang
pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang
akrab dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafor itulah orang-orang
yang zalim.
Allah memerintahkan hamba-hambanya menginfakkan sebagian rezeki
yang dianugaerahkan Allah dijalan kebajikan.Sebagai perbendaharaan pahala
disisi Tuhan yang memiliki mereka.Merupakan anjuran agar mereka segera
menginfakkan hartanya semasa didunia.
“sebelum datang hari” yaitu hari kiamat.
“yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi
persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa’at.” Tidak seorangpun yang
menjual diri dan menggadaikan harta meski ia memiliki emas seluas dunia. Tidak
ada lagi koneksi bahkan hubungan kekerabatan.
“dan tidak ada lagi syafa’at” pertolongan mereka yang menolong sama
sekali tidak berarti”.
BAB III
PENUTUP
Tafsir Bil Ma’tsur adalah tafsir yang di ambil dari Rasulullah SAW,
atau Sahabat, atau Thabi’in yang mencakup tafsir dari dari tiga generasi yang
membawa Ilmu dan memindahkannya.Tafsir ini bagian dari ilmu riwayat hadits sama
halnya marfu’ kepada Nabi SAW atau mauquf atas sahabat, atau maqtu’ atas
Thabi’in.
Tafsir bil ma’tsur harus diikuti dan
dipedomani karena berdasar pada yang shahih seperti Al – qur’an dan Hadits
nabi, maka bisa digunakan agar tidak tergelincir dalam kesesatan pengetahuan
dalam memahami kitab Allah. Diriwayatkan oleh ibnu Abbas, ia berkata : “tafsir
itu ada empat macam ; tafsir yang yang dapat diketahui oleh orang arab melalui
bahasa mereka, tafsir yang harus diketahui oleh setiap orang, tafsir yang hanya
bisa diketahui para ulama dan tafsir yanga sama sekali tidak mungkin diketahui
oleh siapapun selain Allah.
Ibnu Abbasmengatakan bahwa ada
beberapa tafsir yang tidak bisa dirtikan secara gamblang dan masih
disembunyikan oleh Allah yang hanya bisa diuraikan oleh utusannya yakni Nabi
Muhammad saw, seperti dalam hal- hal seperti ayat – ayat yang mengandung
perintah wajib,anjuran dan himbauan, larangan, fungsi – fungsi hak,
hukum–hukum, batas–batas kewajiban, kadar keharusan bagi sebagian makhluk
terhadapa sebagian lain dan hukum- hukum lain yang terkandung dalam ayat- ayat
Al- qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan Rassulullah.
Maka dari itu tafsir Ma’tsur dianjurkan untuk dipedomani karena metode tafsir
jenis ini merujuk pula pada Sunnah Nabi Muhammad SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir.Jakarta:Bulan
Bintang, 1980
Al-‘Aridi,‘Ali
Hasan Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom. Jakarta: PT. Raja
Grafindo persada, 1994
Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo
persada, ed 1, 2006.
Abu Bakar, Sejarah Alquran, Cet. III, Sinar
Pujangga, Jakarta, 1952.
Ahmad Warson Munawir, Kumus al-Mamawwir, Yogyakarta,
1984.
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Penafsir AI- Qur’an, Jakarta, 1970.
Dzahabi al, Muhammad Husein, al-Tafsir wal
Mufarssiruun, Dar al-Kutub alHaditsah, Kairo, 1978.
Faudah, Muhammad Basuni, al-Tafsir wa Manajihuhu,
M. Muchtar Zoerni dan Abd. Qadir Hamir (penterjemah), Pustaka,
Bandung, 1987.
Fazlur Rahman, Tema Pokok Alquran, Mahyuddin
dan Anwar Haryono (penterjemah), Pustaka, Bandung, 1983.
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, Dar
Alquran al-Azim, Kuwait, 1971.
lqbal, Sir Muhammad, The Reconstruction of Religious
“Thought in Islam, Javis Igbal & Sir Muhaamad Asraf, Lahore, 1962.
[1] Wikipedia diakses tanggal 25 november 2014.
[2]مدخل إلى التفسير و علوم القرآن, الدكتور عبد
الجواد خلف, دار البيان للطباعة و النشر, القاهرة: 2003, ص 110
[3] Rif’at Syauqi Nawawi & M. Ali Hasan, Pengantar ilmu tafsir,
(Jakarta: Bulan Bintang), hal 151
[4] Rif’at Syauqi Nawawi & M. Ali Hasan, Pengantar ilmu tafsir,
(Jakarta: Bulan Bintang), hal 152-153.
[5]‘Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan
Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada,
1994) hal. 44
[6] Rif’at Syauqi Nawawi & M. Ali Hasan, Pengantar ilmu tafsir,
(Jakarta: Bulan Bintang), hal 153
[7] Rif’at Syauqi Nawawi & M. Ali Hasan, Pengantar ilmu tafsir,
(Jakarta: Bulan Bintang), hal 151
[8]Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir,(Jakarta: Bulan Bintang),hal.
252-253.
[4] Nor Ichwan Muhammad, belajar Al-Qur’an, menyikab khazanah ilmu-ilmu
al-Qur’anmelalui pendekatan historis-metodologis, (Semarang: RaSAIL, 2005, h.
169)
[9]مدخل إلى التفسير و علوم القرآن, الدكتور عبد
الجواد خلف, دار البيان للطباعة و النشر, القاهرة: 2003, ص 110– 113
[10]مدخل إلى التفسير و علوم القرآن, الدكتور عبد
الجواد خلف, دار البيان للطباعة و النشر, القاهرة: 2003, ص 118
[11] Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo
persada, ed 1, 2006, Hal 68
[12] Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo
persada, ed 1, 2006, Hal 69
[13] Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo
persada, ed 1, 2006, Hal 69-70
[14] Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo
persada, ed 1, 2006, Hal 73-74
[15] Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo
persada, ed 1, 2006, Hal 74-75
[16] Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo
persada, ed 1, 2006, Hal 64
[17] Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo
persada, ed 1, 2006, Hal 65
trims.. sangat mmbantu
BalasHapus