Selasa, 03 Februari 2015



Disusun Oleh Suhaimi


BAB I
PENDAHULUAN


Al-qur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada manusia dengan bahasa yang dapat dipahami oleh manusia, sosok manusia pilihan yang jadi sasaran pilihan pewahyuan Al-qur’an itu adalah putra Abdullah yang dilahirkan  di Mekkah (Muhammad Amin).
Nabi Muhammad SAW, beliau di gelar dengan Al-amin (kepercayaan), yakni terhadap segala sesuatu apapun yang disamapaikannya kepada masyarakat. Setelah menerima Al-qur’an Muhammad berupaya menjelaskan kepada ummat nya maksud-maksud isi kandungan Al-qur’an,  sehingga para sahabat yang hidup bersama Nabi tidak pernah kesulitan dalam memahami Al-qur’an. Hal nin karena mereka memahami bahasa arab, dan selalu mendapat pengajaran dan pemjelasan maksud-maksud atau isi kandungan kitab suci Al-Qur’an.
Setelah Nabi dan para sahabat meninggal, para Tabi’in kembali berupaya menelusuri penafsiran Nabi dan para sahabat sebai guru mereka, dalam hal ini terkadang para Tabi’in terkadang juga dituntut untuk melakukan ijtihat secara terbatas dalam memahami ayat-ayat tertentu.
Kendatipun semakin banyaknya alat komunikasi antar ummat dan antar bangsa serta berkembangnya kemajuan Manusia, Al-Qur’an tetap pada posisinya, yaitu dengan dua metode dasar penafsiranya, bil ma’tsur, dan bil ra’yi. Yang diantara keduanya memiliki karakter dan spesifikasi yang berbeda
Maksud utama Alquran sebagai pembangkit kesadaran tertinggi manusia ada hubungan gandanya dengan Allah dan alam semesta ini. Lahirnya ilmu-ilmu Alquran merupakan bagian usaha dari pengkaji muslim terhadap Alquran. Ulum Alquran dikonotasikan sebagai pokok bahasan yang berkaitan dengan Alquran dari aspek-aspek asbab al nuzul, tertib surat dan ayat, pentadwinan dan penulisannya, cara membaca dan menafsirkannya, daya kemu’jizatannya, nasikh mansukhnya, bantahan terhadap berbagai kritik yang dialamatkan kepadanya, dan hal-hal lain, yang sebenamya telah ada semenjak masa Rasulullah saw dan para sahabatnya. Oleh karena kebutuhan yang belum mendesak, aspek-aspek bahasan tersebut belum disusun secara sistimatis dalam karya tulis, melainkan baru dalam bentuk periwayatan. Dalam perkembangan selanjutnya, timbullah berbagai aspek pembahasan ulum Alquran dalam bentuk karya tulis yang sistimatis.Seperti asbab al nuzul, Makkiy dan Madaniy, Metode-metode Tafsir.Salah satu di antara metode tafsir ialah tafsir bil ma’tsur atau tafsir bi al-riwayat.Metode tafsir ini penting artinya karena berkaitan dengan penjelasan Allah terhadap kitabnya, posisi dan kedudukan Rasulullah sebagai penafsir Alquran, dan kedudukan para sahabat dan tabi’in berkaitan dengan penjelasan mereka terhadap Alquran. Cara kerja tafsir bil ma’tsur, apa yang dikemukakan oleh Nabi saw, sahabat atau tabi’in dijadikan dasar oleh si mufassir dalam mengungkap maksud dan peran Alquran. Konsekwensinya penjelajahan nalar mufassir untuk mencari makna atau pesan lain yang berbeda dengan penjelasan terutama penjelasan sahabat dan tabi’in kurang leluasa, karena si mufassir sangat tergantung kepada riwayat, bahkan selama ada riwayat, si mufassir cenderung tidak mencari penjelasan lain. Sementara itu tidak sedikit riwayat-riwayat tersebut lemah, bahkan diselipi dengan kisah-kisah israiliyat.Maka tulisan ini berusaha menjawab hakekat tafsir bil ma’tsur, muatan dan kedudukan nalar mencari tafsir dalam tafsir bil ma’tsur dan hal-hal lain yang dianggap memperjelas. Dan jawaban  tersebut diperoleh gambaran bahwa suatu hasil penafsiran bukanlah semuanya merupakan “kata putus” yang harus diterima, tetapi sebagai perangkat yang membantu seseorang dalam memahami pesan-pesan Alquran. Yang jelas kuranglah bijaksana kalau seseorang menerima begitu saja atau mengkritik begitu saja tanpa menelusuri metode tafsir apa yang digunakan oleh si mufassir dalam tafsirnya.
Tafsir Al-Qur'an adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan dalam memahami dan menafsirkan sesuatu hal yang bersangkutan dengan Al-Qur'an. isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an, didalamnya terdapat dua bentuk penafsiran yaitu at-tafsîr bi al- ma’tsûr dan at-tafsîr bi- ar-ra’yi, dengan empat metode, yaitu: ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.[1]
Sejarah penafsiran diawali dengan masa Rasulullah SAW ketika masih hidup seringkali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada Rasulullah SAW. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an:
  1. Al-Qur’an itu sendiri karena kadang-kadang satu hal yang dijelaskan secara global di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
  2. Rasulullah SAW semasa masih hidup para sahabat dapat bertanya langsung pada Beliau SAW tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
  3. Ijtihad dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang Arab asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah SAW terutama pada masalah asbabul nuzul Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi maka statusnya terhenti pada sahabat itu sendiri selama tidak disandarkan pada Rasulullah SAW.






















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tafsir Bil Ma’tsur
Dalam bahasa Arab, kata tafsir berasal dari akar kata al-fasr yang berarti penjelasan atau keterangan.[5] Sedang al-ma’tsur berasal dari akar kata atsara yang berarti mengutip. Pada dasarnya Tafsir bil-ma’tsur adalah terdiri dari dua gabungan kata ( al-tafsir dan  al-ma’tsur ) yang bila dipisahkan mengandung makna masing-masing yang berbeda. Kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian sedangkan menurut pengertian bahasa adalah al-kaysf wa al-izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.Pengertian Al-ma’tsur adalah berasal dari kata atsar yang berarti bekas, yakni segala sesuatu yang ditinggal oleh generasi sebelumnya. Kata al-ma’tsur adalah isim maf’ul (obyek) dari kata atsara yu’tsiru atau yuastiru atsran wa-atsaratan yang secara etimlogi berarti menyebutkan atau naqal   (mengutip), memuliakan atau akrama (menghormati).al-atsara juga berarti sunnah, hadits, jejak, bekas, pengaruh dan kesan, dimana Pada hakikatnya mengacu pada makna yang sama yaitu: mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang ada pada orang lain atau masa lalu.[1]
B.     Sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang bersumber dari nash Al-Quar’an yang fungsinya menjelaskan, Memperinci terhadap sebagian ayat lain  Dan bersumber dari apa yang diriwayatkan oleh rasulullah; para sahabat; dan para tabi’in, semua itu merupakan penjelasan terhadap nash-nash al-Qur’an. Sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT.[2]

            Tafsir Bil Ma’tsur adalah tafsir yang di ambil dari Rasulullah SAW, atau Sahabat, atau Thabi’in yang mencakup tafsir dari dari tiga generasi yang membawa Ilmu dan memindahkannya.[2] Tafsir ini bagian dari ilmu riwayat hadits sama halnya marfu’ kepada Nabi SAW atau mauquf atas sahabat, atau maqtu’ atas Thabi’in. disyaratkan didalamnya seperti syarat ilmu hadits dalam ketentuan penetapan, riwayat dan kesahihannya,atau boleh juga kita artikan sebagai rangkaian keterangan yang terdapat dalam Alquran, sunah atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan terhadap firmanAllah.Dinamai dengan nama ini (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadist, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi SAW. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar tabi'in karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.
Faudah menjelaskan bahwa tafsir bil ma’tsur meliputi tafsir Alquran dengan Alquran, tafsir dengan nukilan dari Nabi saw, tafsir dengan nukilan dari para sahabat dan tafsir dengan nukilan para tabi’in. Sementara al-Zahabi dan as­-Sayuti mengatakan bahwa tafsir bil ma’tsur adalah penjelasan dan perincian Alquran sendiri terhadap sebagian ayat-ayatNya, penafsiran yang dilakukan Rasulullah saw, para sahabat dan tabi’in yang berupa penjelasan terhadap firman Allah swt dalam Alquran.
Dari pengertian diatas dapat sedikit kami jelaskan bahwa jenis klasifikasi tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik itu berasal dari nash al-Quran; sunnah Rasulullah; aqwal para sahabat; atau pun aqwal para tabi’in. Dapat pula dijelaskan pengerian tafsir bi al-ma’tsur dengan kesimpulan bahwa al-tafsir bil al-ma’tsur adalah penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan mempergunakan:
a) ayat-ayat Al-Qur’an,
b) riwayat yang berasal dari Rasulillah Saw,
         c) riwayat dari sahabat
d) riwayat dari para tabi’in.


B. Bentul-bentuk Tafsir Bilma’tsur
  1. Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an
firman Allah ‘Azza wa jalla :
فَتَلَقّٰٓى اٰدَمُ مِنۡ رَّبِّه كَلِمٰتٍ فَتَابَ عَلَيۡهِ‌ اِنَّه هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيۡمُ‏ ﴿ البَقَرَة:  ۳۷
Artinya :“Kemudian Adam memperoleh beberapa kalimat dari tuhannya (ia mohon ampun), lalu Allah menerima tobatnya”. QS. Al-Baqarah : 37.
Ditafsirkan dengan firman Allah :
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِينَ (الاٴعرَاف: ٢٣)
Artinya :“Keduanya berkata, ya tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika engkau tidak ampuni kesalahan kami dan tidak engkau asihi kami, tentulah kami orang yang merugi”. QS. Al-A’raf : 23.[3]
firman Allah ‘Azza wa jalla :
إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةٍ۬ مُّبَـٰرَكَةٍ‌ۚ (الدّخان:٣)
Artinya :“Sesungguhnya kami menurunkan dia pada malam yang penuh berkah”. QS. Ad-Dukhan : 3.
Ditafsiri dengan firman Allah :
إِنَّآ أَنزَلۡنَـٰهُ فِى لَيۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ (القَدر: ١)
Artinya :“Sesungguhnya telah kami turunkan Al-qur’an pada malam Qadar (malam mulia atau taqdir”. QS. Al-Qadar : 1.

Penafsiran Al-qur’an dengan Al-qur’an adalah bentuk tafsir yang tertinggi.Keduannya tidak diragukan lagi untuk diterimanya yang pertama, karena Allah SWT.Adalah sumber berita yang paling benar, yang tidak mungkin tercampur perkara batil dari-Nya.Adapun yang kedua, karena himmah Rasul adalah Al-qur’an, yakni untuk menjelaskan dan menerangkan.


2. Penafsiran Al-qur’an dengan Hadits
Allah ‘Azza wa jalla berfirman :
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٍ۬) … (الاٴنفَال:٦٠)
Artinya :“Hendaklah kamu sediakan untuk melawan mereka, sekedar tenaga kekuatanmu … “. QS. Al-Anfal : 60.
Nabi SAW. Menafsirkan kata Al-quwwah (قُوَّةٍ۬ ) dengan Ar-Ramnya ( الرَّمْيُ ) yang artinya panah. Sabda Nabi :“ingat, sesungguhnya kekuatan adalah anak panah, ingat, sesungguh-Nya kekuatan adalah anak panah”.
الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم آولئك لهم الأمن وهم مهتدون....(الأنعام 82)
Artinya: “Orang-orang yang beriman tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedhaliman(syirik), mereka itulah orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang yang mendapat petunjuk” QS. Al-An’am: 82
Rasulullah menafsirkan kata Dhulmin dalam ayat tersebut dengan syirik, penafsiran tersebut sesuai dengan penegasan Allah dalam surat Luqman, yang berbunyi:
إن الشرك لظلم عظيم....(لقمان 13)
Artinya: “Sesungguhnya syirik itu adalah kedhaliman yang besar” QS Luqman: 82.[4]

3. Tafsir sahabat, tabi’in dan tabi’it-tabi’in
Sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu dan turunya adalah memiliki hukuman marfu’ artinya, bahwa tafsir para sahabat mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan Hadits Nabawi yang diangkat dari Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, tafsir sahabat itu termasuk ma’tsur.[5]
Dalam kitab Mustadrak Al-hakim mengatakan bahwasanya: “ penafsiran dari sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dihukumi baginya sebagai marfu’ (dipandang sebagai tafsir nabi sendiri).[6]
Adapun tafsir para tabi’in dan tabi’it-tabi’in ada perbedaan pendapat dikalangan ulama.Sebagian ulama berpendapat, tafsir itu termasuk ma’tsur, karena tabi’in itu bejumpa dengan sahabat. Ada pula yang berpendapat, tafsir itu sama saja dengan tafsir bi ra’yi (penafsiran dengan pendapat). Artinya, para tabi’in dan tabi’it-tabi’in itu mempunyai kedudukan yang sama dengan Mufasyir yang hanya menafsirkan berdasarkan kaidah bahasa arab.
Untuk melihat contoh penggunaan aqwalush shahabah dalam menafsirkan ayat-ayat al-qura’an, dapat diamati tafsir ibnu Jarir ath-thabary, disana tidak saja banyak dinukilkan dari para sahabat, tetapi juga dari kalangan tabi’in.[7]
Diantara kitab tafsir yang memuat tentang tafsir bil ma’tsur yakni :[8]
  • Tafsir Jami’ul Bayan ( Ibnu Jarir Ath Thabary)
  • Tafsir Al Bustan (Abul Laits as Samarqandy)
  • Tafsir Baqy Makhlad
  • Tafsir Ma’limut Tanzil (Al Baghawy)
  • Tafsir Al– Qur- anul ‘Adhim ( Al Hafidh ibnu Katsir)
  • Tafsir Asbabun Nuzul (Alwahidy)
  • Tafsir An Naskh wal mansukh (Abu Ja’far An Nahas)
  • Tafsir Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)
  • Aljawahiral–Hassanfitafsiral-qur’an(Abdurrahman Atsa’libi)
C.    Sumber-sumber Tafsir Bil Ma’tsur dan urutan penggunaanya
Penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qura’an ataupun dengan sunnah adalah sebagi fungsi kitabullah, dan juga menggunakan perkataan para sahabat ataupun tokoh-tokoh tabi’in karena mereka mengetahui dan menerimanya dari rasul kemudian sahabat lalu tabi’in.
Tafsir yang disebutkan pertama dan kedua; yang merupakan penafsiran dengan ayat dan dengan sunnah sangat jelas jauh dari keraguan bagi umat untuk  menerimanya. Karena, Allah SWT lebih mngetahui terhadap yang dikehendaki dari ayat yg diturukan; kemudian sebaik-baik perkatan adalah kitabullah; ketiga sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW yang tugas beliau menerangkan juga menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Nahl ayat 44.
Untuk kemudian dengan jenis yang ketiga adalah mengunakan aqwal para sahabat dapat dihukumi sebagia marfu’, atau sama dengan tafsir Nabi sendiri. Jadi dalam prosesnya masih terdapat sedikit keraguan yang timbul dari bentuk ini, karena secara lebih lanjut ada bebrapa ulama’ menjelaskan bahwa kapasitas dari kebenaran tafsir dari sahabat dapat diterima keberadaanya.
Dalam penjelasan al-hafidz ibnu khajar, bahwa perkatan para sahabat dapat dikategorikan marfu’ atau akan diterima ketika seorang sahabat tersebut memiliki atau memenuhi:
(1). tidak menggunakan ra’yi (seperti ucapan-ucapan tentag sebab-sebab turunya, atau hal ikhwal tentang hari kiamat dan lain sebagainya);
 (2). Sahabat yang bersangkutan tidak dikenal sebagai seorang yang senang mengambil riwayat dari orang-orang ahlul kitab yang masuk islam.[4]
Sehubungan dengan tafsir yang terakhir masih menjadi kontroversi dari beberapa ulama karena, sebagian dari ulama’ mempermasalahkan karena kategori ini hampir dekat dengan tafsir bil ra’yi. Permasalahan yang timbul adalah karena meragukan bahwa sebenarnya para ulam tabi’in tidak mungkin mengetahui secara benar atau nyata sebab dan proses turunya sebuah ayat. Namun, meski terajdi kontroversi tafsir ini masih dikategorikan kedalam bil ma’tsur asalkan didalamnya tidak didominasi oleh akal fikiran dan tidak terdapat keraguan dan juga telah merupakan kesepakatan ulama’.


Dari gambaran di atas memberi kesan bahwa ada perbedaan pendapat mengenai, apakah tafsir tabi’in terhadap Alquran termasuk dari tafsir bil ma’tsur.Pertama bahwa hal itu termasuk tafsir bil ma’tsur.Kedua, mengatakan bahwa komentar tabi’in tersebut merupakan ta’wil dan ijtihad.Bagi pendapat pertama, memberi alasan bahwa para tabi’in pernah bertemu dengan sahabat dan dalam kitab-kitab tafsir tabi’in yang awal ternyata pada umumnya para tabi’in juga hanya mengutip ucapan sahabat saja.Dalam hal ini Muhammad Abu Syuhbah mengatakan, jika para tabi’in itu bermufakat mengenai suatu masalah, maka pendapat mereka itu bisa dijadikan hujjah, sekalipun pendapat mereka itu hanya bersumber dari pendapat para sahabat saja.Adapun jika mereka berselisih pendapat, maka pendapat sebagian dari mereka tidak dapat diterima sebagai hujjah, baik terhadap kalangan mereka sendiri (tabi’in) maupun terhadap generasi sesudahnya.[10]
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa tafsir bil ma’tsur dapat dilelompokkan menjadi empat, yaitu: (1) tafsir Alquran dengan Alquran (2) tafsir Alquran dengan as-Sunah (3) tafsir Alquran dengan riwayat sahabat (4) tafsir Alquran dengan riwayat tabi’in.
Pertama: Tafsir Alquran dengan Alquran.
Sebagaimana diketahui bahwa Alquran itu, sebagian ayatnya merupakan penjelas terhadap sebagian ayat yang lain hanya Allah saja yang Maha Mengetahui apa yang dikehendaki dengan firmanNya.[11] Di antara contoh­-contohnya sebagai berikut:
ا. فتلقى آدم من ربه كلمات فتاب عليه إنه هو التواب الرحيم
Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya.Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah [2]: 37).
Kata “‘Kalimaatun” (beberapa kalimat) tersebut dijelaskan oleh ayat yang lain di surat yang lain, yaitu:
قالا ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين
“Adam dan Hawa berkata : Rabbana wahai Tuhan kami, kami telah berbuat aniaya terhadap diri kami. Dan kalau Engaku tidak mengampuni kami dan tidak memberikan kasih sayang kepada kami, pasti kami akan menjadi orang­orang merugi”. (Al-A’raf [7]:23)
Demikian juga QS Al-Maidah  (5): 1:
ب. يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود أحلت لكم بهيمة الأنعام إلا ما يتلى عليكم غير محلي الصيد وأنتم حرم إن الله يحكم ما يريد
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Penggalan ayat Illa Maa Yutlaa ‘alaikum dijelaskan oleh Allah dalam firman QS. Al-Maidah (5): 3):
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير وما أهل لغير الله به…..
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) dan yang disembelih atas nama selain Allah… Demkian juga FirmanNya:

اهدنا الصراط المستقيم  صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين
“Tunjukkanlah kami pada jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau karuniai nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat” (QS Al-Fatihah [1]: 6-7).
Kalimat “orang-orang yang Engkau karuniai nikmat” pada ayat di atas, dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya:
ومن يطع الله والرسول فأولئك مع الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسُن أولئك رفيقا
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan RasulNya maka mereka adalah bersama orang-orang yang mendapatkan nikmt dart Allah, yaitu para Nabi, orang-orang yang selalu membenarkan apa-apa yang benar, orang-orang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah sebaik-baik teman/sahabat” (QS An-Nisa: 69).
Demikian juga FirmanNya:
إنا أنزلناه في ليلة مباركة إنا كنا منذرين
“sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan” (QS Ad-Dukhan [44]: 3).
Kata “malam yang diberkahi” dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya:
إنا أنزلناه في ليلة القدر
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada kemuliaan (Qadar)” (QS Al-Qadr [97]: 1)
Kedua: tafsir ayat Alquran dengan as-Sunah.
Dalam hal ini as-Sunah menjelaskan Alquran jika dalam Alquran itu sendiri tidak terdapat penjelasan karena kedudukan/fungsi as-Sunah sebagai penjelas terhadap Alquran.[12] Hal tersebut sesuai dengan firmanNya:
…. وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan, (QS An-Nahl (16): 44).
Di antara contoh as-Sunah menjelaskan Alquran adalah:
(a)    Firman Allah dalam QS. Al-An’am (6): 82:
الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
“orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk.
Kata “al-zulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh Rasul Allah saw dengan pengertian “al-syirk” (kemusyrikan).
(b)   Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 238:
حافظوا على الصلوات والصلاة الوسطى وقوموا لله قانتين
Peliharalah segala shalat dan shalat wustha” (QS Al-Baqarah [2]:238). ”Shalat wustha” dijelaskan oleh Nabi dengan ”shalat Asar”.
(c) Firman Allah:
صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS Al-Fatihah:7). Kata “al-Magdlubi `alaihim dan al-Dhaalliin”ditafsirkan oleh Nabi dengan orang-orangYahudi dan Nasrani.
(d) Firman Allah QS. Al-Anfaal [8]:60:
وأعدوا لهم ما استطعتم من قوة ……
”dan siapkan untuk menghadapi mereka kekuatan-kekuatan apa saja yang kamu sanggupi. Kata ”Maastatha’tum” ditafsirkan oleh Nabi SAW dengan ”alramyu yaitu anak panah.
e). Firman Allah dalam QS. Ghafir (40): 60:
وقال ربكم ادعوني أستجب لكم إن الذين يستكبرون عن عبادتي سيدخلون جهنم داخرين
Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina”.
Rasulullah menafsirkan kata ”ibadah” dalam ayat tersebut dengan ”al-du’aa”.
Ketiga: Tafsir Alquran dengan riwayat sahabat.
Apabila tidak ditemukan penafsiran dalam Alquran maupun as-Sunnah, maka hendaklak kita kembali kepada keterangan sahabat terkemuka yang saheh, karena merekalah yang pernah bersama Nabi, bergaul dengan beliau dan menghayati petunjuk-petunjuknya.[13]
Para sahabat yang terkenal sebagai mufassir ada 10 orang, yaitu empat Khulafa al-Rasyidin ditambah dengan Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Sabit, Abu Musa al-`Asy’ari dan Abdullah bin Zubair. Namun demikian Khulafa al-Rasyidin hanya sedikit yang mewartakan asar (penjelasan sahabat) kecuali Ali bin Abu Thalib. Dan pada saat ketiga khalifah pertama masih hidup, ketika itu masih banyak sahabat yang ahli dalam kitabullah.[14]
Di antara contoh mengenai penafsiran sahabat terhadap Alquran ialah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu AN Halim dengan Sanad yang saheh dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menerangkan QS. Al-Nisaa’(4) : 2:
وآتوا اليتامى أموالهم ولا تتبدلوا الخبيث بالطيب ولا تأكلوا أموالهم إلى أموالكم إنه كان حوبا كبيرا
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.”
Kata ” HUB ” ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dengan dosa besar.[15] Juga penjelasan Ibnu Abbas mengenai firman Allah QS. Al-Fatihah:7:
صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين
yaitu ketaatanmu, ibadatmu di antara para malaikat, para Nabi, para siddiqiin, syuhada dan orang-orang saleh.[16]
Kempat: Tafsir Alquran dengan penjelasan tabi’in.
Sebagai bahan rujukan dalam dalam penulisan Alquran, penjelasan tabi’in tetap diperhitungkan untuk dapat menafsirkan Alquran.Sekalipun mereka bukan generasi sahabat yang langsung mendapat penafsiran dari Nabi, tetapi mereka memperoleh penjelasan dari para sahabat. Sebagai contoh penafsiran Mujahid bin Jabbar tentang ayat: Shiraat al-Mustaqim yaitu kebenaran. Mujahid sering menemui Ibnu Abbas dalam memperoleh keterangan.

Fase tafsir bil ma’sur :
 Tingkat yang pertama
Pada fase ini fase riwayat dan bertemu langsung dari seorang Syeikh kepada anak muridnya dan fase ini adalah fase biasa dalam kehidupan umat islam yang pertama. Sebagai mana yang diketahui bahwasanya umat islam tidak diperintahkan untuk membuat dan menulis kecuali  menulis al-qur’an saja. Ketika sampai masa pemerintahan khilafah umar bin khatab beliau takut dengan bilangnya ilmu dengan meninggalnya para sahabat dan pembesar Thabi’in dan perluasan islam kenegeri non arab.
Tingkat yang kedua
Fase ini mulai pembuatan dan penulisan, pada fase ini mulai dari khalifah umar bin abdul aziz memerintahkan untuk membuat pada awal abad kedua hijriah dan meluas sampai sekarang, dan ini adalah masa yang sangat besar dan sangat penting jika kita bisa membedakan dua hal tersebut:
1. Menyebarnya tafsir bil ma’tsur dalam fase pembentukan tafsir yang kita jaga tafsir tersebut dengan sandaran sanad, metodenya, periwayatannya, dan perawi pada masa pembentukannya yang sangat luas sampai saat ini dan sampai hari kiamat.
2. terbukanya setiap sesuatu bentuk gambaran dari corak warna tafsir tersbut dengan bentuk bacaan menurut perawinya, melihat silsilah perawinya, teks, dan semuanya itu dengan mengembalikan kepada kesesuaian ketetapan sejarah perawinya dan mengetahui keadaan mer

eka dari kebenaran riwayat dalam segi adil dan tidak cacat.[9]

D. Profil Tafsir al-Thabari dan tafsir Ibnu Katsir sebegai representative dan tafsir bilma’tsur
A. Al-Thabari
1. Nama karangan : Jami’ al-bayan fi tafsir  al-qur’an
Nama pengarang: Abu Ja’far: Muhammad bin Jarir bin yazid bin katsir bin Ghalib at-thabari meninggal tahun 310 H, jumlah karangan: 30 Juz, jumlah halaman lebih kurang 8000 halaman.
Muhammad bin Jaris Thabari lahir pada tahun 224 H di Tibristanyang menjadi nama nasabnya, beliau menuntut ilmu pada usia dua belas tahun, berpergian ke Mesir, Syam, dan Irak.[10]
Ada juga yang mengatakan beliau lahir di Amil pada tahun 225 H[11]
Beliau belajar pada gurunya diantaranya:
Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Syawarib, ishaq bin Israi, Ahmad bin Mani’ Al-Baghawi, Muhammad bin Hamid ar-razi, Abu Hamam al-walid bin Syuja’, Abu Karib Muhammad ibnu al-Ala, ya’qub bin Ibrahim Ad-Durqi, Abu Sa’id al Asyaj, Muhammad bin Basyar, Muhammad bin Masna, ‘Amru bin ali, dan lain-lain, pada abad yang ia jalani dalam tiga kota tersebut.
Perjalanan belajar beliau berakhir  di Mesir, beliau berguru dengan ulam-ulam ayang terkenal seperti: Muhammad bin Abdullah al-Hakam, Muhammad bin Ishak al-Khuzaimah dan kepada murid-murid Ibn Wahab. Perjalanan beliau kembali ke Thabrasan kemudian beliau mengajar di Baghdad samapi meninggal dunia pada hari ahad akhir syawal dua hari sebelum bulan Zulka’dahtahun 310 H. beliau dikuburkan dalam rumahnya sendiri dengan kemurahan hai Ya’qub hingga kubur beliau tidak diubah
2. Karya-karya Ibn jarir al tahabari
Beliau banyak mengarang kitab, diantaranya: kitab at-tafsir, kitab al-Tarikh, kitab al-Iktilaf al-Fuqaha, kitab Tahzib al-Atsar, tafsir al-Tsabit ‘an rasulullah SAW minal akhbar, yang diberi nama dengan Qutufi dengan Syarhul Atsar, Dzail al-Mudzil.[12]Sebagian dari rujukan kitab yang menjadi perdebatan para Fuqaha adalah dari kitab Dzail al-Mudzil.


3. pendapat para Ulama tentang Ibn Jarir al-Thabari
Para Ulama sangat banyak membicarakan beliau baik dari kepribadian maupun kehidupan beliau yang ditinjau dari berbagai sisi dan sudt pandang. Al-Khatib berkata: “Ibnu Jarir adalah salah satu imam dan pemimpin umat, perkataannya dapat dijadikan rujukan. Hal ini karena keilmuan dan kelabihan yang beliau miliki.Beliau mengumpulkan berbagai macam ilmu pengetahuan yang tidak ada bandingnya pada masa itu.Beliau adalah seorang yang hafiz (hafal) Al-qur’an, mengetahui makna ayat-ayatnya serta paham dan mengenal hukum-hukum al-qur’an.Beliau mengena Sunnah-sunnah baik dari segi perawinya maupun kedudukannya baik shahih ataupun tidak, nasakh dan mansukh.Beliau juga mengetahui perkataan para sahabat dan tabi’in serta ulama penerusnya.Beliau juga mngetahui tentang masalah yang diharamkan dan yang dihalalkan.Selain itu juga beliau juga tahu tentang sejarah dan kisah masa lalu.
Abu al-Abbas bin Juraij berkata: “Muhammad bin Jarir adalah seorang yang faqih yang alim”.
Dalam tafsir beliau terlihat beberapa kelebihan antara lain: kehati-hatian beliau dalam mengarang, kerajinan belaiu dalam mempersiapkan, kegembiraan ketika sudah selesai. Kehati-hatian beliau dapat dilihat dari perkataan beliau: “Aku beristikarah kepada Allah SWT, sebelum mengarang kitab tafsir ini, aku sudah berniat tiga tahun sebelum membuat buku tafsir ini dan aku meminta pertolongan Allah SWT., lalu kemudian Allah SWT menolongku hingg aku bisa membuat buku tafsir ini
Ketika beliau ingin mendiktekan tafsir ini kepada para sahabatnya beliau berkata: “Apakah kalian akan rajin dalam menyusun karanganku?” mereka bertanya: “berapakah banyaknya?” lalu beliau menjawab: “sebanyak tiga puluh ribu lembar kertas.” Mereka berkata: “Ini akan hancur sebelum selesai.” Lalu Ibn Jarir al-thabari meringkasnkannya menjadi tiga ribu lembar kertas.[13]
  4. Model Tafsir Imam Ibn Jarir al-thabari
            Beliau berkata dalam mempersembahkan buku tersebut, dengan mukaddimah puji-pujian kepada Allah SWT., kemudian beliau berkata: Sesungguhnya keutamaan yang paling besar dan kemuliaan yang paling agung diberikan kepada umat nabi Muhammad SAW, dan yang dilebihkan Allah SWT terhadap umat-umat sebelumnya dengan kedudukan dan martabat yang tinggi, dan diberikan kecintaan kepada sunnah-sunna nabi-Nya adalah dengan menjaga atau memelihara wahyu yang diturunkan sebagai tanda yang paling jelas akan kebenaran Rasul SAW sebagai hujjah yang paling lengkap terhadap mereka yang mendustakan dan yang membangkang. Wahyu yang menjelaskan kafir dan musyrik. Wahyu yang menentang mereka baik dari golongan jin atau manusia untuk mendatangkan seumpama wahyu dan mereka tidak mampu untuk melakukannya walaupun mereka tolong menolong. Wahyu dapat membuat gelap gulita menjadi cahaya yang terang benderang.Wahyu yang memberikan terang dalam kegelapan yang dapat meuntun orang kepada hidayah danjalan yang benar serta keselamatan.
Ibnu Jarir juga berbicara masalah perkara penting dalam Al-qur’an yang berhubungan dengan penafsiran beliau misalnya, beliau berbicara tentang kerapihan makna-makna logika terhadap ayat al-quran yang tersusun dan makna-makna logika terhadap hamba yang diturunkan padanya al-qur’an.Hal ini sebagai bukti bahwa al-quran itu turun dari Allah SWT dengan hikmah yang sangat dalam, serta penjelasan keutamaan makna yang diungkapkan ayat-ayatnya.Selain itu, alquran juga menjelaskan kalam Allah SWT.
            Beliau menjelaskan huruf-huruf alquran yang sama penuturannya dengan bahasa-bahasa lain dan menjelaskan huruf-huruf yangberbeda dengan bahasa lain. Kemudian beliau berbicara masalah bahasa-bahasa alquran yang mana diturunkan dengan bahasa-bahasa arab yang bermacam-macam.
            Kemudian pembicaraan beliau seputar hadits tentang sabda Nabi SAW: “Al qur’an diturunkan melalui tujuh pintu syurga”. Beliau juga meriwayatkan hadits dengan lengkap, kemudian beliau menjelaskan sudut pandang yang dipakai agar bisa memahami ta’wil alquran.Kemudian beliau menyebutkan beberapa riwayat tentang anjuran mencari pengetahuan dengan penafsiran alqur’an, dan beliau menyebutkan para sahabat yang telah menafsirkan alqur’an.Beliau juga memnyebutkan ta’wil yang salah dalam memahami alquran.Yaitu mereka yang mengingkari atau tidakboleh ta’wil terhadap ayat-ayat alquran.Beliaua menyebutkan sebagian ulama tafsir terdahulu, dianatara mereka ada yang terpuji dan tidak terpuji, daiantara mereka ada yang terpuji dalam menafsirkan alquran adalah Ibbnu Abbas r.a.
            Abdullah bin Mas’ud berkata: “Sebaik-baik yang memahami alquran adalah Ibnu abbas r.a
Kemudian Ibnu Jarir menyebutkan penjelasan terhadapa nama-nama Alquran, nama-nama surah dan nama-nama ayat.Setelah semua itu barulah pindah kepada penafsiran ayat-ayat alquran.Dalam menafsirkan ayat beliau menngemukakan pendapatnya denganberlandaskan pada riwayat atsar dan akhbar serta kaidah dan ucapan-ucapan ulama terdahulu.
            Tafsir beliau tentang firman Allah SWT., hai manusia, sembahlah Tuham-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa (Qs Albaqarah 2:21). Beliau berkata, “Allah SWT menyuruh kedua golongan untuk mengamalkan demikian, yang mana satu golongan telah Allah SWT gambarkan dalam ayat: sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. ( Qs al-baqarah 2:6) Allah menggambarkan demikian karena tabiat hati pendengaran mereka yang tidak mau patuh terhadap seruan itu.[14]
            Adapun riwayat  yang kita temukan dari Ibnu Abbas r.a berbeda sedikit dengan apa yang kita katakana diatas. Ibnu Abbas r.a berkata bahwa yang dimaksud dengan U’budullah (sembahlah Allah) adalah esakan Tuhanmu. Padahal kita sudah datangkan dalil yang dimaksud dengan ibadah adalah patuh, tunduk, taat, dan mengagunggkan tuhan, tetapi boleh kita mengomentari bahwa barangkali yang diinginkan oleh Ibnu Abbas r.a adalah esakan Tuhanmu dalam ibada (patuh, tunduk…) jangan beribadah kepada makhluk lain cipta-Nya.
            Muhammad bin Hammid telah meriwayatkan kepada kita beliau berkata: “salmah telah meriwayatkannya kepada kita dari Ibn Ishak dari muhammad bin abu Muhammad dari Ikrimah atau dari Sa’id bin Jabir dari Ibnu Abbas r.a: Allah SWT berfirman, hai manusia, sembahlah Tuhanmu (Qs Al-Baqarah 2: 21). Ayata ini adalah untuk kedua golongan, yaitu kafir dan munafik. Maksudnya adalah esakan Tuhanmu  yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu.
            Kemudian Ibnu Abbas r.a menambahkan: bahwa ini adalah dalili yang paling nyata tentang tidak benarnya sangkaan yang menyatakan taklif yang tidak mampu dikerjakan kecuali dengan pertolongan allah SWT, itu tidak dijadikan taklif kecuali Allah SWT sudah memberikan kemempuan kepada hambanya dalam mengerjakannya, padahal sebenarnya Allah SWT, menyuruh ibadah dan taubat kepada orang-orang kafir dan kepada mereka yang munafik setelah memberitahukan bahwa mereka tidak akan beriman dan tidak akan berpaling dari kesesatan.[15]
B. Ibnu Katsir
1. Nama karangan: tafsir Al-quran al-Adhim
 Nama pengarang: Imaduddinn  Ismail bin umar bin Katsir al-bashri, al-Dimisqi, al-faqih, al-syafi’I Ibnu Katsir lahir pada tahun 701 ditimur bashri yang merupakan wilayah bagian Damaskus. Ketika berusia dini, ibnu katsir sudah memulai kembara ilmiahnya. Di usia tujuh tahun ia mengunjungi damaskus bersama saudaranya pada tahun 706.[16]
            Ayahnya meninggal pada tahun 703 takkala Ibnu Kasir masih belia, kehidupannya kemudian diabntu oleh saudaranya, seluruh waktunya dihabiskan untuk ilmupengetahuan.Ia mengkaji, mempelajari, dan mengenal berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Ibnu katsir menghafal dan menulis banyak buku dirinya mempunyai memori yangkuat dan kemampuan memahami.Disamping menguasai perangkat bahasa dan merangkai syair.
            Setelah berguru denganbayak ulama, semisal syeikh burhanuddin al-fazari dan kamaluddin bin qadhi syuhbah, ibnu katsir mengokohkan keilmuannya, kemudian ia menyunting putrid al-hafiz Abu hajjaj al-Muzzi, membiasakan mengaji dengannya. Dalam bidang hadits ibnu katsir mengembil banyak dari Ibnu Taimiyah.Membaca ushul hadits dengan al-Ashfahani. Disamping itu juga ia menyimak banyak ilmu dari berbagai ulama menghafal banyak matan, mengenali sanad, cacat, biografi tokoh dan sejarah diusia muda.

2. Karya-karya Ibnu Katsir
Al-Bidayah wa al-Nihayah, al-Tabaqat al-Syafi’iyah.

3. pendapat para Ulama tentang Ibnu Katsir
Dalam al-Mu’jam, Imam al-Dzahabi mengungkapkan tentang Ibnu Katsir, “ Adalah seorang imam, mufti, pakar hadits, special fiqih, ahli hadits yang cermat dan mufassir yang kritis.
            Ibnu Hajar dalam al-Durar menulis, “menyi,ak dari Ibnu al-Syahnah, Ibnu al-Zarrad, Ishaq al-Amidi, Ibnu Asakir, al-Muzzi dan Ibnu al-Ridha. Ia mendapatkan ijazah dari ulama Mesir seumpama al-Dabusi, al-Wani, al-Khatani dan lainnya. Ia menggeluti hadits dengan mengkaji matan dan tokoh-tokohnya dan menghimpun tafsir.
Al-Hafiz Syihabuddin bin Haji pernah menjadi santri ibnu Katsir menyatakan: “Tidak seorangpun yang kami ketahui lebih memiliki kekuatan memori dengan matan-matan Hadits, mengenali tokoh-tokohnya, menyetakan kesahihan dan ketidak sahihannya selin Ibnu Katsir.
Ibnu hajar mengungkapkan, “ seorang yang memiliki wawasan yang luas dan humoris. Karya-karyanya dikonsumsi banyak orang semasa hidup dan sepeninggalnya.[17]
 4. Model Tafsir Imam Ibnu Katsir
Menurut Ibnu Katsir metodologi tafsir yang paling tepat dalam menafsirkan alquran adalah:
1. tafsir alquran dengan alquran sendiri
2. alternative yang kedua jika tidak dijumpai ayat lain yang menjelaskan, mufassir harus menelisik sunnah yang merupakan penjelasan alquran
3. selanjutnya jika tidak didapati tafsir baik dalam alquran dan hadits, kondisi ini menuntut kita untuk merujuk kepada referensi sahabat, sebab mereka lebih mengetahui karena menyaksikan langsung kondisi dan latar belakang penurunan ayat. Disamping pemahaman, keilmuan dan amal saleh mereka.
4. referensi tabi’in kemudian menjadi alternative selanjutnya ketika tidak ditemukan tafsir didalam alquran, hadist dan referensi sahabat.
Menurut beliau terdapat banyak perbedaan pendapat dikalangan mereka. Namun dirinya cenderung lebih merujuk pada pendapat-pendapat tabi’in
Contoh tafsir ibnu kasir dalam firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 254 yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman , belanjakanlah (dijalan Allah) sebagian dari rezeki yangtelah kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafor itulah orang-orang yang zalim.
Allah memerintahkan hamba-hambanya menginfakkan sebagian rezeki yang dianugaerahkan Allah dijalan kebajikan.Sebagai perbendaharaan pahala disisi Tuhan yang memiliki mereka.Merupakan anjuran agar mereka segera menginfakkan hartanya semasa didunia.
“sebelum datang hari” yaitu hari kiamat.
“yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa’at.” Tidak seorangpun yang menjual diri dan menggadaikan harta meski ia memiliki emas seluas dunia. Tidak ada lagi koneksi bahkan hubungan kekerabatan.
“dan tidak ada lagi syafa’at” pertolongan mereka yang menolong sama sekali tidak berarti”.



BAB III
PENUTUP

Tafsir Bil Ma’tsur adalah tafsir yang di ambil dari Rasulullah SAW, atau Sahabat, atau Thabi’in yang mencakup tafsir dari dari tiga generasi yang membawa Ilmu dan memindahkannya.Tafsir ini bagian dari ilmu riwayat hadits sama halnya marfu’ kepada Nabi SAW atau mauquf atas sahabat, atau maqtu’ atas Thabi’in.
Tafsir bil ma’tsur harus diikuti dan dipedomani karena berdasar pada yang shahih seperti Al – qur’an dan Hadits nabi, maka bisa digunakan agar tidak tergelincir dalam kesesatan pengetahuan dalam memahami kitab Allah. Diriwayatkan oleh ibnu Abbas, ia berkata : “tafsir itu ada empat macam ; tafsir yang yang dapat diketahui oleh orang arab melalui bahasa mereka, tafsir yang harus diketahui oleh setiap orang, tafsir yang hanya bisa diketahui para ulama dan tafsir yanga sama sekali tidak mungkin diketahui oleh siapapun selain Allah.
Ibnu Abbasmengatakan bahwa ada beberapa tafsir yang tidak bisa dirtikan secara gamblang dan masih disembunyikan oleh Allah yang hanya bisa diuraikan oleh utusannya yakni Nabi Muhammad saw, seperti dalam hal- hal seperti ayat – ayat yang mengandung perintah wajib,anjuran dan himbauan, larangan, fungsi – fungsi hak, hukum–hukum, batas–batas kewajiban, kadar keharusan bagi sebagian makhluk terhadapa sebagian lain dan hukum- hukum lain yang terkandung dalam ayat- ayat Al- qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan Rassulullah. Maka dari itu tafsir Ma’tsur dianjurkan untuk dipedomani karena metode tafsir jenis ini merujuk pula pada Sunnah Nabi Muhammad SAW.






DAFTAR PUSTAKA
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir.Jakarta:Bulan Bintang, 1980
Al-‘Aridi,‘Ali Hasan Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom. Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1994
Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo persada, ed 1, 2006.
Abu Bakar, Sejarah Alquran, Cet. III, Sinar Pujangga, Jakarta, 1952.
Ahmad Warson Munawir, Kumus al-Mamawwir, Yogyakarta, 1984.
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir AI- Qur’an, Jakarta, 1970.
Dzahabi al, Muhammad Husein, al-Tafsir wal Mufarssiruun, Dar al-Kutub al­Haditsah, Kairo, 1978.
Faudah, Muhammad Basuni, al-Tafsir wa Manajihuhu, M. Muchtar Zoerni dan Abd. Qadir Hamir (penterjemah), Pustaka, Bandung, 1987.
Fazlur Rahman, Tema Pokok Alquran, Mahyuddin dan Anwar Haryono (penterjemah), Pustaka, Bandung, 1983.
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, Dar Alquran al-Azim, Kuwait, 1971.
lqbal, Sir Muhammad, The Reconstruction of Religious “Thought in Islam, Javis Igbal & Sir Muhaamad Asraf, Lahore, 1962.


مدخل إلى التفسير و علوم القرآن, الدكتور عبد الجواد خلف, دار البيان للطباعة و النشر, القاهرة: 2003


[1] Wikipedia diakses tanggal 25 november 2014.


[2]مدخل إلى التفسير و علوم القرآن, الدكتور عبد الجواد خلف, دار البيان للطباعة و النشر, القاهرة: 2003, ص 110
[3] Rif’at Syauqi Nawawi & M. Ali Hasan, Pengantar ilmu tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang), hal 151
[4] Rif’at Syauqi Nawawi & M. Ali Hasan, Pengantar ilmu tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang), hal 152-153.

[5]‘Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj.Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1994) hal. 44
[6] Rif’at Syauqi Nawawi & M. Ali Hasan, Pengantar ilmu tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang), hal 153

[7] Rif’at Syauqi Nawawi & M. Ali Hasan, Pengantar ilmu tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang), hal 151

[8]Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran /Tafsir,(Jakarta: Bulan Bintang),hal. 252-253.
[4] Nor Ichwan Muhammad, belajar Al-Qur’an, menyikab khazanah ilmu-ilmu al-Qur’anmelalui pendekatan historis-metodologis, (Semarang: RaSAIL, 2005, h. 169)
[9]مدخل إلى التفسير و علوم القرآن, الدكتور عبد الجواد خلف, دار البيان للطباعة و النشر, القاهرة: 2003, ص  110– 113            
[10]مدخل إلى التفسير و علوم القرآن, الدكتور عبد الجواد خلف, دار البيان للطباعة و النشر, القاهرة: 2003, ص 118
[11] Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo persada, ed 1, 2006, Hal 68
[12] Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo persada, ed 1, 2006, Hal 69
[13] Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo persada, ed 1, 2006, Hal 69-70
[14] Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo persada, ed 1, 2006, Hal 73-74
[15] Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo persada, ed 1, 2006, Hal 74-75
[16] Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo persada, ed 1, 2006, Hal 64
[17] Metodologi Tafsir, Mani’ Abd Halim Mahmud, Jakarta: Raja Grafindo persada, ed 1, 2006, Hal 65

1 komentar:

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!